I. Cimetière de Montparnasse
Hamparan makam seluas 18,7 hektar ini adalah tempat persemayaman terakhir sejumlah tokoh besar Prancis. Di sini tertidur dengan tenang sastrawan Jean Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Charles Baudelaire, Guy de Maupassant, Marie Duras, Simone Beckett, hingga Julio Cortazar. Juga para dedengkot di berbagai bidang lain macam Pierre Larousse (penyusun kamus dan ensiklopedia besar Prancis Abad 19), Serge Gainsbourg (musisi legendaris Prancis), Henri Langlois (pionir industri perfilman Prancis), Emile Durkheim (salah satu pencetus teori sosiologi modern), hingga Jean Baudrillard (filsuf hiperrealitas dan simulakra).
Tempat tersebut adalah Cimetière de Montparnasse.
Saya mengenal pemakaman ini sejak 5 tahun lalu. Waktu itu, saya mendapat tugas kuliah untuk membuat presentasi tentang salah satu destinasi wisata di Prancis. Barangkali karena tak ingin mempresentasikan destinasi yang sudah mainstream, saya pun memilih salah satu destinasi wisata alternatif: plesir di kuburan.
Kalau dibandingkan dengan Indonesia, wisata ziarah sebenarnya juga bukan hal baru. Khusnul Bayu, teman saya yang kini jadi akademisi pariwisata, pernah bilang bahwa salah satu bisnis tour and travel terbesar adalah bisnis ziarah makam Wali Songo. Fakta itu pernah bikin kami bercita-cita punya bisnis wisata religius meski akhirnya gagal total karena klien pertama kami mengalami tragedi ban bus mbledos saat perjalanan ke Magelang.
Tetapi meskipun bukan hal baru, wisata ziarah di Prancis punya kekhasannya tersendiri. Misalnya, disini orang lebih lumrah nyekar ke makam para sastrawan dibanding tokoh agama. Hal ini saya lihat secara langsung ketika 31 Agustus 2019 lalu, saya berkesempatan ziarah ke Cimetière de Montparnasse.
Ditemani Hasbi, Idham (mahasiswa Master Discours di Universite Paris 13), dan Mbak Anggi (sekretaris KWRI UNESCO Paris), kami datang di siang bolong dengan perasaan penuh bungah. Tak ada hawa duka atau muram. Barangkali saya kelewat senang karena akhirnya bisa mewujudkan tugas perkuliahan jadi nyata. Tapi yang jelas, pemakaman ini memang tidak menimbulkan hawa angker sama sekali. Pepohonan berjajar rapi meneduhkan jalan. Nisan-nisan dipahat dengan indah dan tak ada yang berlumut. Sepanjang trotoar, bangku-bangku taman dipasang rapi. Di salah satu bangku yang kami lewati, sepasang kekasih duduk berpangkuan dan berciuman dengan lembut. Romantis dan mesra. Tapi seandainya adegan ini terjadi di Indonesia, barangkali pasangan itu akan kena azab. Mungkin tewas jadi tumbal seperti pasangan mesum di Desa Penari. Mungkin ketempelan pocong atau kuntilanak. Atau minimal, alat genital mereka bakal menyonyor.
II. Sartre dan Beauvoir
Di Cimetière de Montparnasse, makam yang paling ramai dikunjungi adalah makam salah satu pasangan kekasih paling dikenang sepanjang masa. Mereka adalah Jean Paul Sartre dan Simone di Beauvoir, sepasang filsuf yang dikuburkan di bawah nisan yang sama. Makam ini pula yang menjadi tujuan utama kami. Terutama Bu Anggi yang memang senang membaca karya-karya mereka.
Jean Paul Sartre (1905-1980) dan Simone de Beauvoir (1908-1986) adalah filsuf maha kondang pada pertengahan abad 20. Sartre dikenal sebagai seorang penggagas gerakan filosofis yang disebut eksistensialisme. Ia juga termasuk golongan intelektual kiri yang paling dihormati di zamannya. Sepanjang hidupnya, ia tak segan mengambil sikap atas berbagai peristiwa politik. Mulai dari menentang kolonialisme Prancis di Aljazair, menuntut penyelidikan kejahatan perang di Vietnam, bahkan turut serta dalam demonstrasi Revolusi Mahasiswa 1968 di Paris. Sementara itu, Simone de Beauvoir dikenal sebagai salah satu tokoh gerakan feminisme paling penting di dunia. Terutama setelah ia menerbitkan buku Le Deuxième Sexe (The Second Sex), sebuah studi besar tentang gender yang telah menginspirasi berbagai gerakan pembebasan perempuan.
Dua sejoli ini bertemu tahun 1929 saat keduanya masih menjadi mahasiswa filsafat di Universitas Sorbonne. Saat itu, Sartre adalah mahasiswa peringkat satu dalam Agrégation de Philosophie, ujian tesis filsafat di Sorbonne. Sementara Beauvoir meraih peringkat dua. Pertemuan mereka di kampus inilah yang nantinya akan membawa mereka pada sebuah hubungan cinta yang menjadi cerita besar: Sartre dan Beauvoir saling mencintai, memutuskan hidup bersama, berjanji tak pernah saling bohong, namun sama sekali tak pernah menikah. Sebab, mereka percaya bahwa cinta tak butuh lembaga pernikahan yang sebenarnya hanya tradisi kaum borjuis.
Sampai hari ini, Sartre dan Beauvoir kerap dianggap sebagai lambang kekuatan cinta. Terutama bagi mereka yang percaya bahwa cinta tak membutuhkan ijab kabul. Jika kita berkunjung ke Cimetière de Montparnasse, kita bisa melihat besarnya rasa kagum itu di atas nisan mereka, di mana ratusan bekas kecup bibir tersemat dengan berbagai warna dan warni.
Mafhum bila mereka punya banyak pemuja. Lagipula, adakah yang lebih kudus daripada terus di samping kekasih, bahkan setelah mati?
III. Nelson Algren
Saat sedang berada di depan makam dua filsuf ini, ingatan saya tiba-tiba terlempar pada salah seorang teman dekat yang suatu hari pernah berseloroh di depan pacarnya bahwa ia tak ingin menikah.
“Mending cohabitation alias kumpul kebo”. Ujarnya.
Sang pacar kemudian menanggapi cowoknya itu dengan raut kecut. “Bilang aja males tanggung jawab”.
Menariknya, tak butuh dua tarikan nafas bagi teman saya untuk kemudian melakukan serangan balik yang telak. “Sartre dan Beauvoir nggak nikah juga, tapi saling tanggung jawab”.
Obrolan tersebut lalu saya ceritakan pada teman-teman dan secara tak terduga mendapat tanggapan menggelikan dari Bu Anggi.
“Lo, siapa bilang saling tanggung jawab? Sartre dan Beauvoir punya banyak pacar lo”.
Sejenak kemudian, Bu Anggi mengeluarkan dua buah buku yang sengaja ia bawa dari rumah. Masing-masing berjudul Lettres à Sartre dan Lettres à Nelson Algren. Keduanya adalah kumpulan surat yang ditulis Simone de Beauvoir namun ditujukan untuk dua orang berbeda. Nama pertama tentu sudah tak asing lagi. Tapi, siapakah nama kedua? Siapakah Nelson Algren?
Kebanyakan dari kita mungkin tidak tahu bahwa Simone de Beauvoir pernah menjalin hubungan asmara dengan Nelson Algren, sastrawan Amerika yang sangat masyhur pada periode 1950-an. Karya-karyanya banyak membahas tentang keadaan orang-orang marjinal di Chicago, dengan nuansa cerita yang kerapkali muram.
Beauvoir dan Algren bertemu di Leetle Café, Chicago, pada suatu malam di tahun 1947. Saat itu Beauvoir tengah mendapat undangan dari pemerintah Amerika untuk memberi serangkaian kuliah umum. Di antara jeda mengajar itulah Beauvoir menelfon Algren dan mengajaknya bertemu.
Pertemuan pertama mereka dimulai dengan kecanggungan. Sebab, keduanya mengalami kendala komunikasi. Algren hanya sedikit paham Bahasa Prancis, sementara Beauvoir juga tak pandai berbahasa Inggris. Mereka bercakap dengan bahasa campur-campur, di sebuah lounge yang sepi, di mana keduanya hanya memahami setengah dari apa yang dikatakan lawan bicaranya.
Namun pesona Algren yang penuh kejutan lah yang membuat Beauvoir kemudian jatuh hati. Bermula dari percakapan yang kaku, Algren lalu mengajak Beauvoir ke luar kafe, berjalan kaki menyusuri tepian Sungai Chicago, lalu memasuki gang-gang sempit nan kotor. Di sana, mereka melihat pengemis-pengemis yang mendengkur di tepi jalan, juga para gelandangan yang menjual apapun demi sekeping uang. Termasuk salah seorang yang menawarkan sebatang pensil pada Algren.
Bagi Beauvoir yang terlahir di lingkungan borjuis dan senantiasa hidup serba kecukupan—termasuk saat menjadi mahasiswi Sorbonne—, pengalaman menyusuri sela-sela gedung Chicago ini tentu menjadi momentum tak terlupakan. Barangkali petualangan macam inilah yang tak ia temukan pada sosok Sartre.
Algren dan Beauvoir lalu masuk ke sebuah bar kecil, menenggak bir, mendengarkan jazz yang dimainkan musisi-musisi kulit hitam, lalu bertukar cerita dengan lebih lepas. Saat itu, Algren mengatakan bahwa ia adalah satu-satunya penulis Amerika yang serius setelah mangkatnya Richard Wright. Ia juga bercerita bahwa semua orang yang ada di bar itu kejam dan hobi kisruh. Tapi segera Beauvoir menggoda Algren dengan mengatakan bahwa Algren adalah satu-satunya orang yang berbahaya baginya.
Malam itu, mereka pulang dalam keadaan setengah mabuk. Saat waktu menunjuk pukul dua dan udara Chicago semakin dingin, Algren dan Beauvoir memilih menghabiskan sisa pagi untuk bercinta di atas ranjang reot di dalam apartemen Algren.
Kisah cinta Beauvoir dan Algren sebenarnya tak kalah menarik dibanding Beauvoir dan Sartre. Kata Bu Anggi, kalau Sartre adalah kekasih intelektual, Algren adalah kekasih bucin-nya Beauvoir.
Pernyataan Bu Anggi tentu cukup beralasan. Terlebih jika kita membaca surat tertanggal 19 Juli 1948 di mana Beauvoir menulis untuk Algren:
Vous devez comprendre, Nelson, je dois être sûre que vous comprenez bien la vérité : je serais heureuse de passer jours et nuits avec vous jusqu’à ma mort, à Chicago, à Paris ou à Chichicastenango, il est impossible de ressentir plus d’amour que je n’en ressens pour vous, amour du corps, du cœur et de l’âme. Mais je préférerais mourir plutôt que de causer un mal profond, un tort irréparable à quelqu’un qui a tout fait pour mon bonheur. Kau harus tahu, Nelson, aku yakin kau benar-benar paham kenyataan ini: bahwa aku akan sangat bahagia menghabiskan siang dan malam bersamamu sampai mati. Di Chicago, Paris, atau Chichicastenango. Tak mungkin aku bisa merasakan lagi cinta yang sama seperti cinta yang kurasakan padamu, kekasih tubuh, jiwa, dan ragaku. Tapi, aku lebih baik mati daripada melukai dan menimbulkan sakit tak terobati untuk seorang yang mau melakukan apapun demi kebahagiaanku.
Hubungan Beauvoir, Sartre, dan Algren adalah hubungan yang rumit. Di satu sisi, Beauvoir begitu mencintai Algren dan bahkan kerap bercerita padanya tentang sisi buruk Sartre. Termasuk perihal buruknya Sartre di atas ranjang—hal yang juga diakui Sartre dengan ungkapan «je faisais l’amour souvent, mais sans un très grand plaisir» dan « J’étais plutôt un masturbateur de femmes qu’un coïteur. ». “Aku sering sekali bercinta, tapi tanpa gairah yang besar-besar amat. Dan aku lebih sering memasturbasi perempuan daripada mempenetrasinya”.
Namun di sisi lain, Beauvoir tetap menolak pinangan Algren untuk menjalani hubungan tradisional—menikah dan berkomitmen pada satu pasangan. Pada akhirnya, Beauvoir lebih memilih Sartre dan enggan berkhianat meskipun dalam surat yang sama, Beauvoir juga menulis “je ne l’aimais plus d’amour”. “Cintaku pada Sartre sudah tak ada lagi”.
Yang kemudian jadi pertanyaan, bagaimana Sartre menyikapi hubungan ganjil tersebut?
Jawabannya: Sartre mah sebenarnya biasa-biasa aja.
Mengapa? Sebab…
IV. Bianca Lamblin
Sedari mula, akar dari segala hubungan yang rumit ini adalah ‘aturan main’ yang ditawarkan Sartre kepada Beauvoir.
1 Oktober 1929 saat Sartre menyatakan cinta di Jardin de Luxembourg, Sartre mengusulkan perjanjian cinta yang disebutnya “cinta esensial”. «Sans institution, sans mariage, dans une liberté mutuelle et dans le souci de translucidité ». “Sebuah hubungan yang bebas institusi, tanpa pernikahan, dalam kebebasan yang setara, tanpa ada yang ditutup-tutupi”.
Lebih jauh lagi, mereka boleh punya selingkuhan, tetapi harus berterus terang dan menceritakan dengan detil setiap tindak dalam hubungannya. Perjanjian inilah yang di kemudian hari menyeret banyak sekali nama yang terlibat dalam hubungan Sartre dan Beauvoir.
Tak cuma Nelson Algren, Beauvoir juga pernah menjalin hubungan dengan Claude Lanzmann, Fernando Gerassi, Arthur Koestler, René Maheu, dan Olga Kosakiewicz. Sementara Sartre justru lebih banyak lagi. Ia pernah berselingkuh dengan Wanda Kosakiewicz, Martine Bourdin, Dolorès Vanetti, Arlette Elkaïm, Michelle Vian, Évelyne Rey, Liliane Siegel, hingga Lena Zonina.
Selain nama-nama di atas, tercatat pula nama Bianca Lamblin yang saya kira merupakan orang ketiga paling kontroversial dalam hubungan mereka. Sebab, Lamblin adalah pasangan lesbian Beauvoir—ya, Beauvoir adalah seorang biseksual—sekaligus kekasih Sartre. Kisah mereka diceritakan dalam catatan yang ditulis Lamblin berjudul Mémoires d’une jeune fille dérangée (The Disgraceful Affair).
Dalam catatan tersebut, gadis keturunan Yahudi ini menceritakan relasi asmaranya dengan Sartre dan Beauvoir sejak ia masih berumur 16 dan menjadi siswi di Lycée Molière, Paris. Kala itu, Lamblin adalah murid Beauvoir di kelas filsafat. Ia begitu mengagumi Beauvoir sebagai perempuan yang brilian. Ia terutama terpesona pada cara Beauvoir mengubah sudut pandangnya tentang perempuan sebagai manusia yang juga bisa mandiri, cerdas, dan berani melawan. Lamblin bahkan mendeskripsikan Beauvoir dengan penuh kekaguman. «L’intelligence de son regard d’un bleu lumineux nous frappa dès le début », “Kecerdasan yang memancar dari mata birunya seperti menghujam sejak awal bertemu”.
Rasa kagum itu kemudian ia layangkan melalui sepucuk surat yang tanpa sangka mendapat balas. Sejak itu, mereka sering bertemu entah di kafe, taman, kantor, atau hotel, hingga akhirnya menjalin hubungan asmara. Hubungan ini terus berlanjut hingga Lamblin menjadi mahasiswi filsafat di Sorbonne di mana Beauvoir memperkenalkan Lamblin pada Sartre dan menyarankan Lamblin melakukan bimbingan dengannya.
Kesempatan inilah yang digunakan Sartre untuk merayu Lamblin dengan rentetan surat cinta yang akhirnya membuat Lamblin luluh.
Sartre, Beauvoir, dan Lamblin menjalin cinta segitiga dengan saling terbuka sampai tahun 1940. Hubungan ini berakhir saat Beauvoir mulai merasa cemburu dan membuat kedua filsuf ini memutuskan Lamblin lewat sepucuk surat. Sepucuk surat tersebut tak hanya membuat Lamblin hancur. Ia juga mengalami depresi berat. Ia merasakan betul apa yang disebut habis manis sepah dibuang. Terlebih satu tahun sesudahnya, Lamblin dan keluarganya menjadi incaran Gestapo. Saat Lamblin meminta pertolongan pada Beauvoir dan Sartre untuk melindunginya, Lamblin bahkan tak mendapat jawaban apapun selain perasaan terhinakan. Di kemudian hari, perlakuan Sartre dan Beauvoir kepada Lamblin membuat banyak orang berpikir bahwa kedua filsuf ini cukup durjana dan mengerikan.
Sartre dan Beauvoir adalah cerita cinta ganjil yang tak ada habisnya. Namun, terlepas dari sudut pandang benar-salah atau indah-buruk hubungan mereka, yang jelas mereka telah membuktikan tiga hal. Pertama, mereka bisa memegang janji yang sejak awal telah disepakati. Kedua, mereka telah menjadi pasangan intelektual yang banyak mengubah dunia. Ketiga, hingga detik ini mereka masih bersama dan tak bakal lagi ada orang ketiga di liang lahat mereka.
Yang jadi pikiran saya, justru teman saya yang sangat mengidolai Sartre dan Beauvoir. Sebab, saya ingat satu hal. Bahwa suatu hari, sebelum menjalin hubungan dengan kekasihnya yang sekarang, teman saya pernah menjadi korban perselingkuhan. Dan alih-alih bisa bertahan atau tumbuh bersama menjadi filsuf kondang, teman saya justru tercatat sebagai pasien langganan di klinik psikiatri.