Tuhan tak menyuruhmu masuk surga. Tuhan hanya menunjukkan bagaimana berproses dengan baik #panuntun
Bulan lalu saya ikut Forbiminas
2014, acara forum anak bidikmisi gitu, dan disana ketemu SBY,Muhammad Nuh,
Fatin, dan pejabat-pejabat lain lah. Biasa wae si. Yang saya senang adalah
bertemu teman-teman baru.
Menyenangkan memang moment punya
teman baru. Eh, itu dulu.
Sekarang? Tetap menyenangkan sih.
Tapi ada 1 moment yang mungkin membuat saya kawus.
Haha, nggak tau kawus?
Pokoknya perasaan yang ngokk
mbanget lah. Semacam “mampus, modyar awakku!!”.
Itu moment pas kenalan. Pas
ngajak kenalan teman cewek. Pas kita ngulurin tangan dan si cewek membalas
“Sinanggar tulo tulo atulo o..o..”. :D
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Eh, jangan sensi lo. Orang Indonesia
terlalu sensi sih, bahkan kepada kritik. Saking fanatisnya pada suatu hal,
sampai-sampai kritik nggak mau didengarkan. Semoga siapapun yang baca ini tidak
menganggap saya ngenyek. Karena saya
memang nggak ngenyek.
Saya hanya mencoba jujur
menyampaikan apa yang sering saya rasakan, bahkan banyak yang juga merasakan
hal serupa.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kemarin saya juga merasakan di
sinanggar tulo atulo sama teman baru saya. Namanya Anita, dia anak FEB UGM.
Sehari setelah kejadian tersebut,
saya tanya Anita, “Nit, kalau Pak SBY ngajak salaman kamu, kamu mau nggak?”.
Dengan lugu, dijawabnya “yo gelem lah, Pak SBY, kapan meneh jal.........”.
-___-*
Jawabku, “hehh, yo ojo ngono, Seorang terpelajar
harus adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan (Pramoedya Ananta Toer)”.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sinanggar tulo atulo ini adalah
fenomena yang menurut saya masih belum terlalu lama. Saat saya kecil, saya
diajari untuk bersalaman dengan orang yang lebih tua. Menjelang remaja, saya
belajar kalau kita ini salaman dulu sebelum saling memperkenalkan diri. Sejak
kuliah? Saya belajar jangan kepedean ngajak kenalan gadis berjilbab. Haha, :D .
Ya sudahlah. Jangan
dipermasalahkan kalau ada cewek-cewek atau cowok-cowok yang nggak mau salaman
saat diajak kenalan. Mereka juga punya alasan, pasti. Semuanya punya maksud
baik kok.
Kalau
prinsip saya, tak baik untuk menolak keramahtamahan seorang hamba Allah.
Toh kita ini di Indonesia. Bukan
di timur tengah.
Setahu saya, salaman itu
dihindari di Arab karena bisa menimbulkan fitnah. Di hadist pun dijelaskan
kenapa lelaki dan wanita lebih baik tidak bersentuhan, karena bisa menimbulkan
fitnah.
Ya iyalah, jangankan bersalaman.
Bertatap mata saja kalau disana bisa nafsu kok.
Tapi ini di Indonesia man!
Salaman disini itu untuk keramahtamahan.
Disini nggak akan muncul fitnah
jika kita salaman pas diajak kenalan. Iya nggak sih?hehe..
Tapi saya juga kadang nggak mau
diajak salaman sama cewek kok. Kenapa?
Karena saya malas wudlu lagi...
:D ,
Tapi katanya sehabis wudlu
salaman pun nggak papa. Nggak batal. Asalkan nggak nafsu.
Tapi ya seumur-umur nggak pernah
sih ada cewek ngajak kenalan di tempat wudlu mushola.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Saya nggak masalah sih. Saya
menghormati mbak-mbak yang nggak mau salaman sama beda muhrim kok. Mungkin
mereka merasa lebih aman dengan berbuat seperti itu. Tapi kasihan ya
wanita-wanita di Indonesia, mereka ini merasa tidak aman dimanapun berada.
Padahal mereka nggak punya salah apa-apa lo.
Saya juga menghormati mas-mas
yang nggak mau salaman sama beda muhrim. Mungkin takut timbul nafsu kalau pas
salaman.
Saya sendiri? Libido saya nggak
tinggi-tinggi amat. Sekedar salaman beberapa detik, saya belum muncul nafsu
birahuiii...
Jadi buat saya, saya masih
percaya kalau salaman adalah salah satu kebudayaan di Indonesia yang perlu kita
jaga. Orang Indonesia terkenal akan keramahtamahannya. Jadi, saya sih bangga
saja dengan budaya salaman ini.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kita tahu, semua itu demi
kebaikan.
Tapi lebih dari itu...
Mari belajar membaca dunia. :)
Lanjutan dari tulisan sebelumnya :
Kalian Tahu Kan? #HapuskanUN1 dan Sekolah opo Les-lesan? #HapuskanUN2
Saya sering diskusi dengan teman 1 kos saya. Indra, Andre, dan Bram. Salah satu diskusi kita adalah tentang pendidikan, khususnya UN.
Kalian Tahu Kan? #HapuskanUN1 dan Sekolah opo Les-lesan? #HapuskanUN2
Saya sering diskusi dengan teman 1 kos saya. Indra, Andre, dan Bram. Salah satu diskusi kita adalah tentang pendidikan, khususnya UN.
Hal paling utama yang tidak kita
setujui dari UN adalah “UN sebagai standar kelulusan”.
Seperti dituliskan sebelumnya di
catatan pertama, UN sebagai standar kelulusan membuat siswa menghalalkan segala
cara untuk lulus. Akibatnya, banyak anak membeli kunci jawaban.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sepertinya saya (harus) bisa
mengerti mengapa anak-anak SMA membeli kunci jawaban UN.
Meskipun dulu saya jengkel ketika
teman-teman saya beli kunci jawaban UN dan nilainya pada jauh lebih tinggi dari
saya. Hehe. Saat itu saya bilang mereka “munafik”. Bersenang-senang dan puas
dengan pujian sana sini, namun nilainya hanya dari kunci jawaban yang dibeli
seharga 100ribu.
Saya mengerti bukan berarti saya
membenarkan. Saya berprinsip, hal yang benar adalah hal yang suatu saat akan
saya ajarkan pada anak saya. Dan saya tidak akan menyuruh anak saya beli kunci
jawaban saat hendak menghadapi ujian.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Saya mengerti bagaimana perasaan
anak SMA ketika UN hampir tiba.
Mereka sudah belajar setiap hari.
Di drill dengan soal-soal UN dari pagi sampai sore.
Namun, ketika ada try out ujian,
sering kali mereka tidak bisa lulus.
Rasa khawatirpun semakin menjadi.
Banyak yang berusaha mengatasi kekhawatirannya dengan berbagai cara. Ada yang
terus berdoa, sholat semakin rajin, puasa senin-kamis, dan belajar jadi sangat
giat. Namun tidak sedikit pula yang akhirnya memilih jalan pintas, yaitu membeli
kunci jawaban. Ada beberapa pula yang shalatnya jadi tambah rajin, tambah nurut
dengan orang tua, tambah rajin belajar, tapi akhirnya beli kunci UN juga.
Waduh..
Apalagi bagi beberapa anak,
mereka berpikir, “halah yang lain saja beli kunci jawaban kok !” , daripada
“sok” jujur tapi nilainya kalah, mending ikut aja lah beli kunci jawaban.
Nah ! Yang begini ini jumlahnya
banyak sekali.
Orang baik dan pinter seharusnya
punya konsistensi untuk jadi diri sendiri. Kalau nggak punya ya begini jadinya.
Tapi bagaimana lagi, lingkungan memang bisa membentuk mental para mulut besar
jadi generasi-generasi cemen.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Akhirnya tulisan 3 seri ini akan
selesai juga. Dalam tulisan ini saya banyak menyampaikan kritik saya terhadap
UN. Mungkin tidak banyak solusi yang saya berikan. Kalau masalah solusi,
biarkan para praktisi yang mengambil keputusan bagaimana selanjutnya mengubah
sistem yang bobrok ini. Bisa belajar dari Revolusi hijau di pendidikan China,
belajar dari pendidikan di Finlandia, atau baca solusi yang menurut saya sangat
keren di blognya Pak Edi Subhan.
Ini linknya, silahkan baca :
Tapi setidaknya, saya punya
solusi untuk adik-adik saya yang sebentar lagi mau UN dan sudah kepikiran atau
mungkin sudah pesan kunci jawaban ke para mafia UN.
Saya tahu, kalian dituntut
sekolah, dituntut guru-guru kalian untuk harus lulus UN. Ya, mungkin almameter
kalian itu sekolah favorit. Sekolah teladan. Kalian dilarang membuat malu
sekolah. Kalian tak boleh mencoreng nama baik almameter.
Saya tahu, kalian dituntut
keadaan. Takut akan penilaian masyarakat, orang-orang yang tak sekalipun pernah
memberi sesuap nasi itu akan mengatakan kalian bodoh jika tidak lulus UN.
Tapi yang paling berat adalah
tuntutan orang tua. Ini yang pasti paling menekan. Ada semacam ketakutan. Takut
mengecewakan orang tua jika hasinya buruk. Takut mempermalukan nama keluarga.
Takut dimaki-maki ayah ibu sendiri. Lalu bagaimana?
Menurut saya. Kalian hanya perlu
berkomunikasi lebih menjelang UN.
Yang pertama, mohon doa restunya
untuk sukses UN. Dapat nilai bagus.
Yang kedua, mohon restunya jika
dapat nilai jelek, bahkan jika tidak lulus. Maaf. Maksud saya, mohonlah
restunya untuk jujur dalam mengerjakan. Apapun akibat dari kejujuran itu,
mohonlah restunya.
Saya yakin. Orang tua yang baik
akan mendukung kejujuran yang kalian pilih.
Saya ingat ketika dulu hendak UN.
Jujur saja, dulu saya juga merasa khawatir kalau nilai saya tidak bagus. Saya
juga khawatir kalau rangking saya turun. Saat itu banyak yang menawari untuk
beli kunci jawaban. Namun selalu saya jawab “nggak lah. Curang. Percuma sekolah
3 tahun kalau akhirnya gini. Ntar pasti lulus kok” . Hehe. Tapi dengan jawaban
itu saya malah dibilang “munafik”. Bahkan banyak yang bilang “pokoknya kunci
jawaban yang sudah kita beli, jangan sampai bocor ke anak yang nggak mau beli”.
-_-*
Dalam kekhawatiran itu saya
bilang ke mamah saya, “mah, saya nggak mau beli kunci jawaban UN. Mungkin
rangking saya akan menurun. Tapi setidaknya saya jujur. Saya juga akan berusaha
semaksimal mungkin biar dapat nilai bagus.”.
Kata mamah saya, “kalau kamu beli
kunci jawaban, percuma ngaji dari kecil sampai sekarang. Percuma didikan dari
Pak Maksum (Pak Kyai). Mending jangan pernah ngaji dan ke mushola sekalian. Nilai
itu nomor 2 lah, yang penting jangan korupsi.”
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lalu bagaimana endingnya?
Ternyata benar. Usaha saya kurang
maksimal. Ya, saya nggak dapat nilai tertinggi di kelas. Banyak sekali
teman-teman saya yang nilai UN nya mengejutkan.
Tapi karena sebelumnya kami sudah
berkomunikasi seperti yang saya tulis diatas, mamah saya dapat menerima
penurunan rangking saya. Beliau menjadi tidak (begitu) kecewa. Hehehe...
Orang yang hanya kenal kita mungkin bilang “jujur marake ajur(Jujur
membuat hancur)”. Tapi orang yang benar-benar sayang kita akan selalu bilang “jujur
marake mujur(Jujur membuat mujur)”.
Untuk kalian yang mau UN,
setidaknya temui dahulu orang tua kalian, katakan “mak, ijinkan aku jujur”.
Tulisan ini ditulis tanggal 9 Februari beneran. Tapi baru keupload karena males ngunggah foto yang banyak. hehe, kelihatan pemalasnya.
Alhamdulillah... Akhirnya saya
sampai juga di Jogja setelah 1 bulan tinggal di Kampung Pare, Kediri.
Malam ini, 9 Februari 2014,
sekitar jam 7 malam saya sampai di stasiun Lempuyangan bersama Riris.
Senang sekali,
sangat.......senang. hehe,
Rasanya seperti sampai di kampung
halaman sendiri.
Mungkin alasannya karena selama 1
bulan di Kediri, banyak banget hal-hal yang membuat kita ingin balik Jogja.
Nanti saya cerita.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kemarin saya dan Riris baru saja
seharian berwisata ke Gunung Bromo Pasuruan, dan Air Terjun Cubanrondo
Malang. Kemudian hari ini kita harus
bangun pagi-pagi karena harus packing, dan sekitar jam 11 siang sudah berangkat
ke stasiun Kediri. Tentunya dengan barang bawaan yang super berat.
Ini foto-foto waktu di Bromo dan Air terjun Cubanrondo,Malang.
Sangar lah pokok'e..
Sekarang pukul setengah 10 malam,
kira-kira 2 jam setelah saya sampai di kost-kost an.
Tubuh masih terasa lelah, efek
dari wisata kemarin dan perjalanan pulang hari ini. Tapi saya belum ingin
tidur. Benak saya masih penuh dengan Kampung Pare. Saya ingin menulis tentang
apa yang saja yang saya rasakan selama disana. Perasaan-perasaan selama 1 bulan
mengikuti program TOEFL Camp di Elfast.
Akhirnya saya putuskan, saya mau
minum Kopi ! Minum kopi sambil menyelesaikan tulisan ini !
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nggak betah !!!
Haha, hal ini yang pertama kali
ingin saya ungkapkan. Mungkin tulisan ini akan terkesan menyebalkan, karena
belum-belum saya sudah membagikan aura-aura negatif saya selama disana. Tapi
bener, saya nggak betah tinggal di Pare.
Ada beberapa alasan kenapa saya
nggak begitu suka dengan kampung Pare. Hal ini mungkin akan sangat bertentangan
dengan kebanyakan tulisan orang di blog, karena kalau kita cari tulisan tentang
Kampung Inggris Pare, semua pasti menuliskan hal-hal yang menyenangkan. Seperti
bisa belajar bahasa Inggris dengan menyenangkan, bertemu dengan teman-teman baru
yang berasal dari berbagai penjuru di Indonesia, makanannya murah-murah, dll.
Apa saya nggak betah karena nggak
merasakan apa yang mereka-mereka rasakan??
Mereka benar !! Saya merasakan
hal itu juga.
Saya merasa senang dengan cara
belajar di Elfast. Kita di gembleng belajar TOEFL dengan metode yang sangat
tertata. Bertahap, pelan tapi pasti. Dari TOEFL saya yang sebelumnya hanya 460,
Alhamdulillah saya bisa pulang dengan skor diatas 550, J .
Bertemu dengan teman-teman baru
se Indonesia raya. Iya. Saya juga merasakan itu, dan senang sekali rasanya.
Kita juga sangat akrab. Mungkin alasannya karena intensitas waktu kita untuk
saling bertemu itu banyak banget. Program TOEFL Camp dimulai pukul 5 pagi. Dari
jam 5 sampai 6, kita menghafal Vocab yang sering keluar di Tes TOEFL. Kemudian
istirahat sampai jam 7. Nah, mulai pukul 7 pagi sampai setengah 12 siang, kita
ada 3 kelas, Listening, Structure, dan Reading. Setelah itu kita istirahat dan
setengah 3 sore sampai jam 4, kita belajar structure lagi. Kemudian setengah 8
malam, kita ada test TOEFL sampai jam setengah 10 setiap hari. Begitu terus
setiap hari senin sampai Jumat. Capek?? Capek banget !! hehe. Tapi justru
karena hal ini kita jadi akrab dengan teman-teman. Bahkan dengan
pengajar-pengajar disanapun kita sangat akrab.
Lho? Kok bilang nggak betah??
Nah nanti akan saya ceritakan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumat, 10 Januari. 1 bulan yang
lalu, saya dan Riris sampai di Kampung Pare. Kampung Pare itu Kampung di Kediri
yang dijuluki kampung Inggris. FYI, di 1 kampung ini ada sekitar 300 tempat les
bahasa Inggris. Banyak banget, bener banyak banget ! Kalau disana, tiap 5
meter, kita akan menemukan les-lesan bahasa Inggris. Dimana-mana juga kita akan
dengar orang-orang berbicara dengan bahasa Inggris. Jadi pantas kalau Kampung
Pare dapat julukan Kampung Inggris.
Tapi kita ngasih julukan lain.
Untuk Kediri sih khususnya. Kediri itu Kota Klaxon.
Haha, maaf ini bukan mau
jelek-jelekin lo. Tapi hari pertama kita disana, begitulah yang kami rasakan.
Dari awal kita naik angkot, sepanjang perjalanan Kediri-Pare, Pak Sopirnya
puluhan kali mencet klaxon. Tiap mau nyalip mobil didepannya, klaxon. Tiap mau
disalip, di klaxon. Hobi banget mainin klaxon. Apalagi kalau di traffic lamp.
Wiiih.. Pesta Klaxon !
Lebih kagetnya lagi pas kita lagi
jalan di gang menuju asrama wanita. Posisi kita jalan udah di pinggir, masih
muat banget lah kalau motor mau lewat di samping kita. Tiba-tiba ada pemuda
setempat naik motor, dan kita di klaxon lebih dari 1 kali, 3 kali !. Nggak
nyantai banget. Haha...
Atau kalau kita lagi ngontel
sepeda di sepanjang jalan Brawijaya di Kampung Pare. Sering, sering banget kita
di klaxon biar minggir. Ya Allah. Inilah kenapa kita kasih julukan Kediri, Kota
Klaxon.
Awalnya bete. Tapi lama-lama kita
terbiasa dengan keadaan itu. Dan ya sudahlah. Jangan terlalu dipikir.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1 minggu setelah di Pare, saya
sakit. Perut saya yang awalnya sakit. Saya kira saya sekedar masuk angin karena
rasanya pusing, perut mules, dan eek nya air. *ups.
Satu malam saya hampir nggak bisa
tidur, tiap setengah jam harus ke kamar mandi. Ini nggak sekedar mules, belum
pernah saya seperti ini sebelumnya. Bahkan kalaupun masuk angin parah setelah
kemah seminggu, rasanya nggak gini-gini amat.
Sedih banget, jauh dari orang
tua, sendirian di kamar semalaman. Malam itu saya merasa menjadi manusia
termalang di dunia, haha lebay. Memang benar, sedih-sedihnya orang itu pas lagi
sakit, jauh sama orang tua. Iya kan?
Saya baru ingat, kalau beberapa
jam sebelum saya sakit, saya baru saja makan rica-rica ayam yang rasanya agak
aneh. Saya pikir awalnya memang nggak enak, karena memang warung makanan disini
banyak banget yang kurang enak masakannya. Mungkin lidah saya yang kurang
cocok. Tapi... #ahsudahlah... Intinya saya setengah yakin, kalau sakit entah
apa ini penyebabnya adalah rica-rica tadi yang rasanya aneh. Mungkin agak basi.
Tapi memang, ketika kita di Pare,
mending jangan terlalu sering ganti-ganti warung makanan deh. Pilih aja 1 atau
2 warung yang menurut kita paling enak. Soalnya banyak banget warung disana yang
masakannya rasanya aneh. Kayak nasi goreng yang rasanya Cuma saos, mie ayam
yang rasa kecap doang, dsb. Saya rasa alasan makanan inilah faktor utama yang
bikin saya nggak betah.
Meskipn memang, Kampung Pare ini ladang usaha yang sangat menjanjikan. Bayangkan perbulannya mungkin ada 1000 orang pendatang yang belajar bahasa Inggris ke Pare.. Tapi. Please, utamakan kualitas. Kalau kualitas sudah baik, orang juga bisa menilai dengan bijak apakah harga yang ditawarkan terlalu mahal atau tidak. Jangan jualan yang asal murah tapi kualitas 0 besar. Sedikit menyayangkan akan hal ini.
Oh ya, tapi.. Sakit kali ini
bikin saya makin sayang sama Riris, hehe.. Soalnya waktu saya lagi sakit dan
bahkan saking lemesnya,kalau jalan kaya mau pingsan, Riris lah yang ngerawat
dari pagi sampai sore. Dia yang beli makanan, minuman, dan cari apotek yang jaraknya
cukup jauh dari asrama. Mungkin sekitar UGM sampai Lempuyangan. Nggak tau
gimana kalau nggak ada dia. J
.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudahlah, sebenarnya terlalu
banyak hal yang bikin saya nggak betah disana. Tapi banyak juga kok
moment-moment indah selama di Pare, banyak banget malah. Terutama moment
jalan-jalan, hehe.. Ya sudah. Saya sudah nggak mood manjang-manjangin tulisan
ini. Bagi foto yang banyak saja lah. Biarkan foto bercerita.
Ini sepeda yang kita pakai kemana-mana pas lagi di Pare
Ini di Monumen Simpang Lima Gumul, Kediri. Mirip L'arc de Triomphe kan?
Ini di Gunung Kelud. Ya benar Gunung Kelud yang meletus itu.
Ini 3 minggu sebelum meletus.
Pas kesana, Riris lagi sakit. Kasihan ya.
Nah ini dia Gua Surowono.
Lihat ada pintu di sungai kecil itu. Nah itu pintu guanya.
Kalau masuk kesana, kita seperti masuk di terowongan ghoib. :D
Itu seperti sungai bawah tanah. Kemudian kita berjalan di dalamnya.
Sedangkan ini foto di Candi Surowono.
Untuk kesini kita harus pakai sepeda onthel sekitar 1 jam.
Saya suka sekali 2 foto ini. Keren nggak?hehe..
Namanya Dik Doank. Saya rasa sebagian dari kita kenal pada sosok ini. Sekitar 2 minggu yang lalu, saya melihat aktor ini diundang ke acara Talkshow nya Ari Untung di Net.TV.
Dalam acara kali ini, ia tidak datang untuk memperkenalkan film atau lagu terbarunya. Bukan pula untuk berbicara soal kehidupan pribadinya sebagai seorang artis. Malam itu, ia datang untuk memberikan opini-opininya mengenai pendidikan di Indonesia. Pendidikan !
Dik Doank menceritakan tentang sekolah alam yang ia bentuk, yaitu “Kandank Jurang Doank”. Konsep sekolahnya begini, anak-anak boleh datang ke kandank jurank doang untuk belajar menggambar, bermain perkusi, outbond, olahraga, dan pelajaran-pelajaran lain yang sangat jarang didapat anak di sekolah. Saat ditanya apakah alasan Dik Doank membangun sekolah itu, ia menjawab karena sistem pendidikan di Indonesia saat ini begitu memprihatinkan.
Menurutnya, sistem pendidikan disini sangat menghambat kekreatifan anak, karena sejak kecil telah diterapkan bahwa anak yang pintar adalah anak yang pandai mengerjakan soal-soal tipe hapalan dan pilihan. Sedangkan anak yang tidak bisa mengerjakannya dianggap bodoh.
Selain itu ia berpendapat seharusnya pendidikan di Indonesia itu fleksibel dan disesuiakan dengan tempatnya. Contohnya, anak yang tinggal di daerah pedesaan, biarkan ia mendapat pelajaran menanam dan berkebun. Anak yang tinggal di pantai, ajari mereka memancing, mengolah garam, dsb. Hal ini penting, karena jika tidak dilakukan, tidak akan ada lagi anak desa yang mau jadi petani, tidak lagi ada anak pesisir yang minat menjadi ahli di bidang perikanan atau kelautan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Genius ! Benar juga ya kata Dik Doank. Saya sendiri sampai sekarang sama sekali belum tahu bagaimana cara bertanam bertanam singkong yang baik, apalagi padi ! Padahal disekitar saya, banyak sekali orang tua yang melakukan hal-hal tersebut. Setiap harinyanya lo. Setiap hari ! Waduh, gimana jadinya kalau petani-petani ini tidak ada penerusnya? (Silahkan baca tulisan saya“Petani, Dari Lempuyangan-Kediri) .
Memang minat anak untuk bertani sangat kecil, padahal bertani pun bisa menjadi mata pencaharian yang menjanjikan bila kita memang memiliki minat dan passion di bidang itu. Bahkan kalau banyak petani yang berpendidikan, bukan tidak mungkin akan muncul penemuan-penemuan baru di bidang pertanian yang diciptakan anak-anak bangsa. Super !
Menurut saya, sistem pendidikan kita juga memang membuat siswa lebih menjadi peniru daripada pencipta. Kita dituntut menghafal, menghafal, dan menghafal. Kita tidak dilatih untuk mengkonsep sesuatu.
Padahal saya yakin, James Watt bisa menemukan mesin uap karna awalnya ia mengkonsep dan menggambar, penuh corat-coret di atas kertas. Begitu pula Iwan Fals, ia mencipta lagu-lagunya yang luar biasa dengan awal corat-coret diatas kertas. Benar kan seperti itu?
Bukti lain kita dibikin jadi anak peniru adalah, dari Sabang –Merauke, gambar pemandangan adalah gambar Gunung Kembar dengan matahari, burung, dan sawah. Sampai seorang standup comedian bernama Arie Kriting bingung, kenapa gambar pemandanggannya anak SD di Rajaampat pun gambar Gunung Kembar. Padahal disana nggak ada gunung, hanya laut, pesisir, dan pohon kelapa ! Bukan sawah ! haha, lucu memang. Tapi semua itu karena guru di Indonesia memberi pelajaran menggambar di kelas 1 SD dengan gambar tersebut. Setiap tahun, guru kelas 1 SD akan memberi contoh gambar gunung kembar, kemudian guru menyuruh siswa untuk meniru gambarnya. Terus, terus, dan terus seperti itu.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jangan terus salahkan dasarnya, sudah-sudah. Dasar memang hal yang sangat penting. Tapi tujuan juga sangat sangat penting.
Kyai menyuruh muridnya sholat 5 waktu, berakhlak baik, dan beramal agar murid-muridnya bisa masuk surga. Soekarno mengijinkan pemuda Indonesia ikut PETA agar mereka mendapat pendidikan pendidikan militer dan menang perang. Sedangkan sekolah-sekolah di Indonesia, sudahkah sekolah ditujukan untuk memanusiakan manusia? Sudahkan ditujukan untuk mewujudkan cita-cita Tan Malaka? Atau sekedar agar lulus UN?
Kita yang bisa menilainya.
Namun, berdasarkan pengalaman saya, apalagi ketika di SMA, sebagian besar guru hanya menghargai murid yang memiliki nilai tinggi dalam ulangan dan UN nya. Akibatnya, banyak siswa yang takut untuk mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, seperti OSIS, musik, atau pecinta alam. Padahal justru dengan berorganisasi, siswa akan memiliki jiwa sosial yang tinggi dan peka terhadap kejadian-kejadian disekitarnya.
Nah kenapa takut berorganisasi? Karena khawatir nilai ulangannya jelek. Meskipun dia tahu kalau dengan berorganisasi, ia akan jadi lebih kritis, peka, dan memiliki jiwa leadership yang tinggi. Dengan berorganisasi, siswa menjadi generasi yang memiliki kemampuan hebat dalam solving problem. Cerdas, kreatif.
Pertanyannya, seorang siswa memiliki jiwa leadership tinggi dan kritis, namun nilainya pas-pasan, akankah dia dihargai oleh sebagian besar guru-gurunya?
Tidak.
Padahal dukungan moral adalah hal yang sangat dibutuhkan saat seseorang sedang berusaha menemukan passion dan jatidirinya.
Sulit rasanya menemukan passion disaat semua pihak memaksa kita hanya untuk baik dalam mengerjakan soal-soal. Padahal passion orang berbeda-beda, ada yang hebat di hafalan, pemahaman, melukis, musik, olahraga, berbicara, dsb. Tapi tanpa support untuk mengembangkannya?
Sulit rasanya menemukan passion disaat semua pihak memaksa kita hanya untuk baik dalam mengerjakan soal-soal. Padahal passion orang berbeda-beda, ada yang hebat di hafalan, pemahaman, melukis, musik, olahraga, berbicara, dsb. Tapi tanpa support untuk mengembangkannya?
Apalagi dengan adanya UN. Siswa terus didrill dengan soal-soal, terutama saat kelas 3. Wah, betapa bosannya mengingat masa-masa kelas 3 SMA. Tiap hari menghafalkan rumus, latihan,latihan dan latihan soal. Semua distandarkan seperti ini. Mulai pagi jam 7 pagi sampai jam 2 siang kita sudah belajar di kelas, dan sorenya masih ada les latihan soal. Edan !
Dibanding nilai UN 9, tugas sekolah yang lebih penting sebenarnya adalah menjadikan siswanya menjadi murid yang cerdas dan yang menghargai proses. Membentuk murid yang berakhlak baik, mau puasa senin kamis dan tahajud bukan hanya saat menjelang UN. Hehe, aneh juga kan? Guru minta murid-muridnya mujahadah bersama Cuma saat menjelang UN. Kebiasaan yang pekok. Semuanya diharapkan serba instan, bahkan ridho tuhan diharapkan datang dengan instan.
Kenapa membentuk siswa yang berkarakter tidak dibentuk sejak lebih dini? Dukung anak-anakmu berorganisasi lo pak, bu. Kalau drilling soal, latihan mengerjakan soal, itu sih nggak beda dengan bimbingan belajar. Iki Sekolah opo les-lesan?
@aribagoez
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Inspired by : Dik Doank
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Inspired by : Dik Doank