SASTRA FRANCOPHONE

Sebenarnya ini adalah tugas kuliah sastra dari Mbak Arum. Rabu kemarin tanggal 19 November sekitar jam 6 lebih seperempat, saya mendapat sms dari teman sekelas kalau kuliah sastra hari itu kosong. Namun sebagai gantinya, kami mendapat tugas untuk membuat esai singkat maksimal 2 halaman mengenai sastra francophone, termasuk contoh-contoh didalamnya. Tugas ini harus dikumpulkan sebelum jam 9 pagi. Masuk akal? Hmm.. yang jelas, ini ngawur. Untungnya di kamar kos, saya punya beberapa koleksi novel-novel francophone. Maka hanya dalam waktu kurang dari satu jam, jadilah tulisan dibawah ini.

-------------------------------------------------------------------------------------------
            
Kesastraan Prancis selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, dalam salah satu perkembangannya, pada tahun tujuh puluhan muncul jenis kesastraan Prancis yang disebut sastra francophone. Sebuah cabang  dalam kesastraan  yang ditulis dalam bahasa Prancis, namun dihasilkan oleh pengarang  dari negara-negara bekas jajahan Prancis, seperti negara-negara Timur-Tengah, Afrika, dan beberapa negara di kepulauan Pasifik. Sastra francophone digolongkan pula sebagai sastra pasca kolonial. Dalam artian, sastra francophone mempermasalahkan persoalan bahwa meskipun penjajahan telah lama berlalu, namun  trauma-trauma akibat penjajahan  terus berlangsung hingga saat ini (Combe, 2010: 64).

            
Para pengarang francophone yang  berhasil dalam karirnya, antara lain adalah Léopold Sédhar Sénghor (1906-2001), penyair yang kemudian menjadi Presiden Republik  Senegal (1960-1980), Amin Maalouf (Libanon),  Tahar Ben Jelloun (Maroko), Atiq Rahhimi (Afganistan) dan Abd al Malik (Kongo). Sastra Francophone banyak membicarakan tentang krisis identitas yang dimiliki seorang tokoh akibat dua latar belakang lingkungan yang berbeda. Seperti diceritakan dalam novel Qu’Allah benisse la France ! karya Abd al Malik. Karya ini tergolong karya baru karena baru terbit pada tahun 2004. Penghargaan yang pernah diraih dari karya ini adalah Prix Laurence Trân 2004. Penghargaan bagi karya penulis muda yang berkontribusi bagi hubungan antar budaya.

            
Novel Qu’Allah benisse la France ! adalah autobiografi yang ditulis Abd al Malik dan bercerita tentang perjalanan batinnya sebagai seorang mualaf dan musisi Prancis. Abd el Malik, atau Régis Fayette Mikano sebenarnya berasal dari Kongo. Ia lahir dan mengalami masa kecil disana. Tinggal di negara yang penuh dengan konflik, keluarganya memutuskan untuk pindah ke Prancis untuk memperbaiki kehidupan mereka. Ternyata sang ayah menelantarkan mereka. Régis pun hidup di Prancis bersama seorang ibu dan 5 orang saudara kandungnya. Mereka tinggal di La Cité du Neuhof, daerah kumuh di pinggiran Paris. Disana, Régis mengenal kehidupan kelam dan ia terpengaruh oleh lingkungannya. Régis melakukan berbagai kejahatan, ia mencopet, mencuri, bahkan menjadi pengedar narkoba. Meski demikian, hidupnya selalu gelisah menanyakan apa makna hidup sebenarnya. Ia pun mencurahkan segala protes dan kritik terhadap lingkungannya melalui lagu-lagu rap yang ia ciptakan. Namun, kedamaian batin baru dia rasakan setelah mengenal Islam. Régis juga mengganti namanya menjadi Abd al Malik. Menjadi Islam ternyata belum menjadi akhir pencarian dari Abd al Malik. Islam yang ia pelajari adalah Islam garis keras dan fanatik. Hal ini menimbulkan benturan antara karir bermusiknya dengan pilihan agamanya. Ia pun mencari ilmu tentang Islam dengan menemui banyak tokoh-tokoh muslim, seperti Yusuf Islam atau Cat Stevens, Tariq Ramadhan, hingga para sufi di Maroko. Berkat pencariannya yang panjang, ia berhasil menemukan kedamaian dalam Islam yang sesungguhnya.

            
Dalam novel Francophone, banyak ditemukan konflik-konflik identitas antara identitas Barat dengan identitas Timur. Selain dalam novel Qu’Allah benisse la France ! konflik semacam ini juga ada dalam karya-karya Ben Jelloun. Dalam novel La Nuit Sacrée, tokoh utama juga mempertanyakan banyak hal tentang budaya-budaya negara aslinya (Maroko), yang ia anggap kaku dan sempit, tidak seperti budaya Barat yang modern dan penuh kebebasan. Hal ini adalah efek yang ditimbulkan dari trauma kolonialisme yang dialami oleh masyarakat dari negara-negara francophone. Disatu sisi, bahasa Prancis yang mereka gunakan memberikan mereka identitas Barat, namun disisi lain negara asli mereka memiliki budaya yang benar-benar berbeda dengan budaya Prancis. Kontestasi inilah yang dipertentangkan dalam karya-karya francophone. Contoh lain dari karya-karya francophone adalah Cadas Tanios karya Amin Maalouf, Batu Kesabaran karya Atiq Rahimi, atau Le Nez sur la vitre karya Abdelkader Djemai.

DAFTAR PUSTAKA
Combe, Dominique, 2010, Les Littératures francophones, questions, débats, polémiques, Presses  Universitaires de France, Paris         
Jelloun, Tahar Ben, 1978, La Nuit Sacrée, Seuil, Paris


Malik, Abd al, 2008, Bulan Sabit di atas Eiffel, Mizan Pustaka, Bandung

Share:

0 komentar