Nonton Raisa

“Mahasiswa itu keren ya, turun ke jalan, berani mengkritik pemerintah, memakai nama rakyat, mirip pahlawan-pahlawan gitu”, begitu ucap salah satu kawan saya hari ini ketika kami sedang berbincang di kantin bonbin FIB mengenai tradisi demo mahasiswa.

“Iya lah, apalagi kampus kita ini kan kampus kerakyatan, hidup mahasiswa Indonesia ! Hidup rakyat Indonesia !”, teman saya yang lain menanggapi perbincangan tersebut, tapi dia nggak teriak-teriak kok, justru malah ngguyoni tradisi tersebut.

Satu lagi teman, nyeletuk, “Iya sih, kampus kerakyatan. Jadi kita ini dalam setiap langkah harus membela rakyat bro. Eh, tapi kita ini juga rakyat kan? Eh, rakyat itu rakyat yang mana sih?”.
“Wis lah bro, nggak usah dipikir mumet. Yo paling juga rakyat cilik lah maksudnya”, jawab saya agar arah pembicaraan ini nggak kemana-mana.

“Oke sip. Sepakat ya rakyat cilik? Jadi mahasiswa yang turun ke jalan mengkritik pemerintah itu atas nama rakyat kecil ya? Tapi kok banyak yang malah bakar-bakar ban? Kok malah pada selfie sih waktu demo? Lha kalo memang membela rakyat kecil kok kelakuan mereka di jalan kayak malah kayak gitu? Cari eksistensi barang kali !”, satu lagi teman saya menanggapi sekaligus sedikit menghujat. Sudah sedari dulu dia memang nggak suka demo.

Saya pun jadi ingin balik menanggapi, kali ini dengan panjang lebar macam sorbannya Aji Saka “gini lo bro. Nggak semua orang demo itu kayak yang kamu bilang kok. Kampus kita ini bahkan sudah meninggalkan sama sekali tradisi membakar ban, kalau yang selfie ya sedikit-sedikit ada lah. Tapi kan aksi salah satu bentuk cara menyampaikan pendapat. Ayo lah kita berjuang saja dengan cara dan minat kita masing-masing tanpa perlu mengkerdilkan bentuk perjuangan lain macam demo atau aksi atau apa lah sebutannya. Tapi masalahnya gini, kita itu kebanyakan menuntut pemerintah, kebanyakan mengkritik para pemangku kebijakan, dan lagi-lagi dan selalu atas nama rakyat ! Iya sih, wakil-wakil rakyat kita ini memang sudah kebangetan, menyebut mereka bajingan atau taik seperti Ahok juga nggak apa-apa lah kalau saya, bahkan kalau mahasiswa mau lanjut mengkritik mereka terus-terusan pun juga saya nggak masalah asal juga seimbang dan sesuai fakta. Wong salah satu fungsi mahasiswa itu sebagai pihak yang mengkontrol pemerintah dengan intelektualitasnya kok. Sek-sek bentar tak minum dulu.”

Saya pun minum dulu wedang Adem Sari Fresh yang saya beli di warungnya Mas Yat. Ah seger tenan... “Oke, lanjut ya? Kita ini mengkritik pemerintah terus, mengkritik alumni-alumni kita terus, tapi apa posisi mahasiswa kampus kerakyatan ini sudah pro banget po sama rakyat? Sudah mencerminkan sikap mahasiswa kampus kerakyatan banget apa? Kalau mahasiswa mengkritik pemerintah terus, kapan mengkritik dirinya sendiri? Ngakunya pro rakyat cilik tapi kalau lihat lapangan GSP kok isinya penuh dengan mobil-mobil merk joss guandos yang dikendarai anak-anak 20 tahun kebawah? Kerakyatan piye mahasiswa ini? Jangan-jangan BBM yang dipakai yang subsidi juga? Kok ya nggak ada sih mahasiswa yang mengkritik pola hidup kita? Wah, nah kita juga langganan bikin event musik jazz-jazzan dengan tiket paling murah 100 ribunan e. Nah ini juga pro rakyat dimananya? Kok nggak pernah ada mahasiswa yang turun ke jalan mengkritik harga tiket jazz yang terlalu mahal ini? Kampus kerakyatan juga berkali-kali ngundang Raisa kayaknya, tapi piye harga tiketnya paling murah harga 50? Nah ini mencerminkan kerakyatan nggak? Kok mahasiswa yang turun ke jalan nggak pernah protes soal harga tiket konser yang mahal? Enggak... saya enggak kontra dengan mahasiswa yang suka buat event. Apalagi yang bisa ngundang Raisa ! Mereka jozz ! Wong rakyat cilik juga suka Raisa kok ! Tapi kapan rakyat kecil dapat kesempatan menikmati lantunan merdu suara plus senyum manis menggodanya Mbak Raisa ini kalau kampus kerakyatan aja matok harga semahal itu? Heuheu...sedih ya... Nah posisinya sekarang, kalau mahasiswa masih mau ngotot kita ini kampus kerakyatan, mbok ayo jangan cuma pemerintah yang kita kritik. Sekali-kali protes yuk harga tiketnya Raisa? Seperti biasanya lah bro, kita pakai nama rakyat dong ! Siapa tahu tiketnya jadi gratis. Kan rakyat seneng. Hidup Raisa !”

......................................





Ari Bagus Panuntun sebagai mahasiswa jelata yang nggak kelakon-kelakon nonton konser jazz internesyenel




Share:

1 komentar