Saya sudah beberapa kali mengikuti acara, entah seminar, talk show, sosialisasi, atau acara apapun modelnya yang mengambil tema pendidikan. Dalam tiap acara yang saya ikuti, selalu ada sambutan dari panitia yang mana dalam sambutan tersebut selalu ada pernyataan bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk bangsa.
Saking seringnya kalimat ini terlontar dalam acara-acara bertema pendidikan, teman saya bahkan mengatakan ia bosan mendengar kalimat tersebut. Terlalu mainstream, ujarnya.
Kebetulan, 2 Mei kemarin, tepat pada hari Pendidikan Nasional,, saya justru diberi mandat untuk memberikan sambutan di acara yang diselenggarakan oleh LEM FIB, yaitu talk show Ayo Mengajar.
Waduh.. Jangan-jangan saya juga akan berkicau bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi bangsa? Wah, saya ikutan mainstream dong. Tapi gimana lagi, setidaknya ada dua hal yang mendasari saya untuk ikut-ikutan mengatakan hal tersebut. Yang pertama, karena pernyataan tersebut memang benar. Yang kedua, karena saya punya alasan tersendiri untuk mengatakan bahwa pendidikan itu penting.
Mengapa pendidikan itu penting?
Menurut saya, pendidikan sangatlah penting karena pendidikan lah jalan terbaik untuk menambah referensi.
Lho, emang penting ya seseorang punya banyak referensi?
Bayangkan, jika seorang anak sejak kecil hingga umur 25 tahun hanya pernah melihat kambing. Maka pasti ia akan berpikir bahwa hewan yang bisa dimakan adalah kambing, hewan yang bisa dijadikan kendaraan adalah kambing, bahkan hewan yang bisa dipelihara di rumah untuk diajak kelon di kamar pun kemungkinan juga kambing.
Berbeda halnya ketika referensinya bertambah. Ia tahu bahwa ada kambing, tapi ia juga tahu bahwa ada ayam, kuda, serangga, anjing, babi, dan sebagainya. Maka bisa kita pastikan bahwa ia tak akan menggunakan kambing lagi sebagai kendaraannya. Mengapa? Karena ia tahu, bahwa kuda cepat dan nyaman untuk dinaiki. Ia juga tak akan memelihara kambing di dalam rumahnya, melainkan lebih memilih anjing, yang mana lebih mudah untuk dijinakkan, bahkan diajak sahabatan.
Maka, di masalah ini lah kita harus merefleksikan pendidikan di Indonesia. Sudahkah pendidikan di Indonesia memberi banyak referensi bagi kaum terpelajarnya?
Atau ternyata kita masih berputar-putar saja di referensi yang tak jauh dari masalah uang, perut, atau selakangan. Ya, terlebih media yang seharusnya menjadi salah satu sarana paling efektif untuk mendidik bangsa juga tak jauh dari referensi itu-itu saja. Uang, perut, selangkangan. Selangkangan, perut, uang. Perut, selakangan, selakangan.
Jika memang pendidikan disini sudah mampu memberi banyak referensi, mengapa makin banyak orang berebut uang lalu korupsi?
Jika memang sudah banyak referensi, mengapa fanatisme buta makin menyebar disana-sini?
Sudahkah pendidikan mampu membuat kita belajar banyak, selain banyak belajar?