bagus panuntun

berubah!


Ah matahari !
Cahaya matahari silau betul saat aku keluar dari lab. Hari yang cerah pada musim panas di New York dengan pohon-pohon, dedaunan hijau, cuaca lembab, juga asap yang membumbung tinggi dari gedung-gedung pencakar langit dan membuat langit nampak abu-abu. Aku sebenarnya punya hasrat konyol untuk berjingkrak-jingkrak sampai Stasiun Central Park, tapi aku tak punya banyak waktu. Kerja, kereta. Persimpangan jalan. Lampu masih hijau dan aku belum bisa menyeberang. Baris demi baris mobil perlahan-lahan melewatiku. Darah kehidupan mengalir sepanjang jalan. Sinar matahari memantul di kaca depan sebuah mobil dan membuatku silau. Ah, kalau saja aku punya kacamata hitam seperti para penjaga bioskop. O.K kids, hands up! Para polisi nampak begitu menggelikan dengan tongkat lalinnya. Seorang pria kekar dari Irlandia terus mengunyah permen karet. Lampu merah. Dan aku mulai menyeberang. Loket stasiun. Antrian mengular seperti yang biasa terjadi pada jam-jam sibuk. Seorang perempuan tua di depanku mengeluarkan beberapa keping receh dari sakunya dan salah satunya jatuh. Ia nampak sedih melihatnya menggelinding dan lenyap di antara kaki-kaki calon penumpang. Aku tersenyum. Kini giliranku. Petugas loket langsung meminta 2 keping uang 10 sen tanpa senyum sedikitpun. Aku membalas tindakannya dengan lewat begitu saja tanpa berterima kasih. Aku turun tangga dan mengikuti petunjuk arah menuju pusat stasiun. Semakin turun, keadaan jadi semakin gelap. Aku sempat berhenti beberapa kali supaya mataku terbiasa dengan gelap. Dari kejauhan, terdengar suara gemuruh kereta yang entah sedang menuju kemana. Akhirnya aku tiba juga di peron. Ada tiga bangku dan dua gadis sedang duduk di salah satunya. Dengan sengaja aku duduk di bangku tersebut tepat di sebelah gadis pirang yang paling cantik; dia cuek. Aku pun pindah ke bangku sebelahnya, mengambil jarak dan menatapnya sejenak lalu berusaha melempar senyumku yang paling manis. Sia-sia! Demi apapun aku tak suka orang blonde, aku suka orang brunette! Sudahlah.  Stasiun nampak dekil: puntung rokok, kertas-kertas koran, tutup dan botol bir, semua bertebaran. Aku melihat sekeliling dan membaca sebuah peringatan di dinding “Dilarang Meludah”. Mendadak aku langsung ingin meludahinya. Sebuah mesin minuman kaleng memajang tulisan “Mau gaul? Minum coke !” Hmm. Tak terasa stasiun menjadi penuh sesak. Seorang perempuan usia 80 atau 90-an berdiri tepat di depanku. Tubuh bungkuknya yang disangga tongkat nampak lelah dan ringkih. Ia menyeringai padaku dengan gigi yang mulus ompong, betul-betul mengerikan! Aku bangkit dari tempat duduk dan menawarkan tempatku pada seorang gadis pirang nan cantik yang berdiri persis di sebelah nenek tua tadi. Aku sungguh suka perempuan, terutama perempuan blonde. Awalnya ia menolak namun akhirnya mau juga. Oh perempuan, tak pernah “iya” saat pertama. La donna è mobile! (Perempuan sungguh membingungkan!) Aku kembali memandang sekeliling dan memperhatikan dinding-dinding sepanjang stasiun. Dimana-mana ada reklame dan tulisan-tulisan grafiti. Aku rabun jauh sehingga tak bisa membaca tulisan-tulisan itu dengan jelas; aku mendekat dan membaca salah satunya “Mending jadi komunis daripada nikah!” Ha ha ha, apaan sih. Aku mulai lelah, bosan, dan jengkel. Aku kembali mendekat ke arah bangku namun secara tak sengaja sepatuku menginjak permen karet dan aku hampir terjatuh. Kugosok-gosokkan sepatuku ke lantai namun permen karet ini tak mau lepas. Menjijikkan. Aku kembali ke dekat bangku. Gadis pirang yang tadi menoleh ke arahku; aku tersenyum padanya. Ia diam saja. Dia sudah lupa aku?!? Sungguh, aku benci perempuan, terutama perempuan blonde! Tepat di saat itu, seseorang bertanya padaku, “Eh bung, kereta ini ke arah mana ya?” “Ke Neraka bos,” jawabku. Ia marah dan mengumpat. Bajingan. Bodo amat, pikirku.
Stasiun benar-benar penuh sekarang. Panas sekali. Ternyata segerah ini musim panas di New York. Aku kembali berjalan dengan kedua tangan kumasukkan ke dalam saku. Sebuah kaleng coke kosong tergeletak di depanku. Aku menyepaknya sekencang-kencangnya. Kaleng itu berkelontang dengan suara yang amat berisik. Saat itulah orang-orang menoleh ke arahku, memperhatikanku: akhirnya aku ada! Orang-orang aneh, entah yang berkacamata, entah yang tidak. Tak ada yang kukenal, dan aku tak peduli juga. Biarkan aku menyukai orang-orang, kebebasan, demokrasi, sosialisme, keadilan, dan sebagainya, dan  sebagainya. Oke, aku akan pergi menuju mesin coke dan aku siap menjadi gaul. Mereka kembali melihatku. Aku benar-benar suka orang New York, mereka memang jempolan, aku bahkan bersedia mampus demi mereka. Aku mengambil sekeping koin 10 sen dan memasukannya ke lubang mesin kemudian memencet tombolnya. Sebuah paper cup terlepas dan mulai terisi dengan coke. Sialan, kereta! Aku langsung tergesa dan meninggalkan coke-ku begitu saja. Orang gaul berikutnya akan dapat minuman gratis! Ada barang gratis di Amerika! Sebentar lagi seseorang akan menganggap dunia ini menakjubkan! Pintu kereta terbuka. Kereta yang lengang mendadak penuh sesak. Kami berdesakan dengan kacau, saling tendang, saling sikat, saling sikut. Voilà, beginilah orang New York dan aku sungguh benci ! Mereka selalu berebut tempat untuk kepentingannya sendiri. Pintu kereta tertutup. Berangkat. Kereta tiba-tiba menghentak dan membuatku terlempar ke belakang dan orang-orang di depanku ikut jatuh menindihku. Sembari berusaha menemukan lagi keseimbangan aku berpapas muka dengan seorang perempuan (lagi-lagi) blonde. Aku mengernyitkan dahi tanpa tersenyum padanya. Aku mendekat, mencuri kesempatan sebisa mungkin untuk menyenggol tetek mudanya yang menyembul. Goncangan kereta lagi-lagi membuatku terlempar mundur dan saat aku kembali ke posisi tadi, tiba-tiba sudah ada seseorang di antara kami. Ah, selalu saja ada seseorang –atau sesuatu— di antara kita dan hal yang paling kita sukai di dunia. “C’est la vie”, “beginilah hidup”, kata orang Prancis. Seseorang menghujamkan sikunya ke kepalaku, sedang yang lain menjotos lambungku. Seorang tentara meremukkan jempol kakiku dengan pantofelnya. Aku menatapnya tajam dengan murka: ia berbisik minta maaf namun dengan setengah hati. Jagoan di depanku mencoba membaca koran. Maha akrobat! Orang-orang mendorong, memepet, menyikutnya, namun ia tak peduli dan tetap membaca. Seorang perempuan paruh baya gendut ngorok di tempat duduknya dengan mulut melompong; tubuhnya berpeluh keringat. Aku benar-benar benci perempuan gendut, terutama yang tidur di métro dengan mulut melompong. Aku merasa gerah juga. Lelaki di depanku berbau busuk dan seluruh dunia mendadak ikut busuk. Aku berbalik, mengamankan hidungku ke arah lain. Kini aku bertatap muka dengan seorang lelaki berwajah mengesankan. Seorang badut. Ia pasti seorang aktor atau pelawak, atau apalah. Keringat mengalir di dahi, pipi, dan mulutnya dan melelehkan make up, mascara, cat merah, cat hijau, dan cat putihnya. Wajahnya yang warna-warni terasa benar-benar aneh. Seperti apa wajah aslinya? Aku hanya melihat bulu matanya; Kedua sayap hidungnya kembang kempis butuh udara. Apa dia akan mati lemas? Ia menatapku, aku bergidik melihat topengnya. Topeng kematian. Ia menginginkanku. Tapi aku masih mau hidup. Keringatku mengalir deras dan semakin deras. Bunyi rel menderit, lampu kereta mati, hidup lagi, mati lagi. Topeng itu kembali menatapku tajam seolah ingin menyeret, menyerapku dalam ketiadaan. Aku mencoba memejamkan mata, tidak, aku tidak bisa  melihat lagi. Kereta ini berputar, aku ketakutan, kereta ini cepat sekali, ini kereta hantu, ia tak berhenti, tak mau berhenti, terus turun dalam lingkaran, berputar, berputar, berputar...
.
.
.
Judul karya asli: Mon Métro Phantôme
Penulis: Emmanuel Boundzeki Dongala
Bahasa sumber: Prancis
Emmanuel Boundzéki Dongala, lahir 14 Juli 1941, adalah seorang Profesor kimia cum sastrawan Kongo. Cerpen Mon Métro Phantôme menggambarkan alienasi yang dialami imigran kulit hitam di Amerika, di tengah arus modernisasi dan stereotype yang melekat padanya. Cerpen yang diceritakan dengan gaya orang mengoceh ini terdapat dalam kumpulan cerpen Jazz et Vin de Palme (1982) yang terbit ketika Kongo masih menganut Marxist-Leninist otoritarian dan sempat dilarang di negaranya karena isinya yang satir dan penuh olok-olok.
Sumber:
Dongala, Emmanuel Boundzeki. 1982. Jazz et Vin de Palme. Paris: Hatier
Thomas, Dominic. 2002. Nation-Building, Propaganda, and Litterature in Francophone Africa. Indiana University Press


Coba luangkan sejenak waktumu, ambil gawaimu, buka instagram-mu, menujulah ke kolom pencarian dan ketikkan tagar #ComeBex. Selanjutnya simak sejenak foto-foto yang muncul dari tagar tersebut. Maka kau akan melihat sosok lelaki berkacamata dengan jidat bersih nan lebar, kulit kuning langsat, bermata sipit, lalu berambut panjang gimbal.
Ia adalah Subex, mahasiswa Sejarah UGM, head crew band parodi Sastro Moeni, juga kawan saya yang sejak minggu lalu dipastikan mengalami gagal ginjal dan musti menjalani terapi cuci darah dua kali seminggu. Duka menyeruak ketika kabar tersebut datang begitu mendadak. Dua minggu sebelumnya, saya masih terbahak ketika kawan-kawan memberinya julukan baru “candi” sebab hobi barunya mendekam diam di kamar selama berbulan-bulan. Seminggu sebelumnya, saya mendengar kabar bahwa Subex sengaja menjadi “candi” untuk merenungkan skripsinya mengenai sejarah perdagangan kopra di kepulauan Talaud.
Tiga hari sebelumnya, saya dibuat kagum sekaligus terkejut mendengar kabar bahwa ia telah mengelarkan bab 2-nya. Siapapun yang mengenal Subex tentu paham bahwa menyelesaikan bab 2 adalah sebuah pencapaian luar biasa untuk seorang yang lebih kerap menggulung kabel dan datang ke gigs indie dibanding membaca buku dan masuk ke ruang kuliah. Akan tetapi tepat pada Kamis minggu lalu, tersebarlah kabar bahwa Subex positif gagal ginjal, dan lebih ironisnya kabar itu jatuh tepat pada tanggal 9 Maret yang merupakan peringatan Hari Ginjal Sedunia.
Kabar sakitnya Subex yang awalnya hanya diketahui beberapa gelintir orang lantas menyebar begitu cepat seiring bertambahnya foto dan hashtag #ComeBex yang merupakan modifikasi dari terma #ComeBack, sebuah ungkapan yang akhir-akhir ini dimaknai para pecinta sepak bola sebagai “bangkit kembali setelah jatuh”.
Berawal dari satu, menjadi sepuluh, menjadi seratus, lalu menjadi seribu, simpati pada Subex pun terus mengalir. Setelah hashtag #ComeBex, berikutnya hadir pula charity “Cuci Darah untuk Subex”, dan selang beberapa hari kemudian aksi solidaritas untuk Subex pun digelar di Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Budaya, dan Fakultas Filsafat UGM dengan campaign #minumairputih. Dan dari campaign #minumairputih inilah sebenarnya kita dapat belajar banyak hal.
Semua orang tentu tahu bahwa air memang sangat penting bagi tubuh. Akan tetapi, nyatanya masih banyak di antara kita, terlebih para mahasiswa dan kelas pekerja, yang kelewat abai pada hal tersebut.
Berapa gelas air yang biasa kita minum dalam sehari?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya jika kita menjawab dahulu pertanyaan ini “Berapa gelas air yang sebaiknya kita minum dalam sehari?”. Sebagian besar orang mungkin akan dengan mantap menjawab “8 gelas air atau 2 liter !”. Padahal, saran umum tersebut adalah bentuk salah kaprah yang brutal. Nyatanya, penelitian terbaru yang dilakukan International Marathon Medical Directors Association (IMMDA) menyarankan agar kita mengkonsumsi air minum hanya pada saat kita merasa haus dan dahaga. Konsumsilah air minum secukupnya, yaitu tidak lebih dari 0.03 liter per kg berat badan. Jadi, misalnya kita memiliki berat badan 100 kg, maka konsumsilah air minum kurang lebih 3 liter per hari. Heinz Valtin, spesialis ginjal dari Dartmouth Medical School, juga mengatakan bahwa saran umum minum 8 gelas air per hari sebenarnya sama sekali tidak benar. Ia lebih jauh lagi mengingatkan bahwa minum air dalam jumlah terlalu banyak justru dapat menyebabkan hiponatremia yaitu kondisi di mana jumlah air dalam tubuh berlebihan sehingga ia akan masuk ke dalam sel-sel tubuh dan menyebabkan pembengkakan otak.
Kembali ke pertanyaan sebelumnya, “Berapa gelas air yang biasa kita minum dalam sehari?”. Kemudian mari kita tambahi dengan pertanyaan, “Sudah tepatkah?”. Jika sejak membaca tulisan ini kita sadar bahwa selama ini kita minum air dengan cara yang kurang tepat, maka mulailah meminum dengan takaran yang tepat. Saya sendiri selama ini meminum lebih dari 10 gelas air per hari. Bagaimana bisa? Ya bisa, wong saya baru mengetahui penelitian dari IMMDA dan Heinz Valtin ketika proses menulis artikel ini. Hehehehe…
Berapa kali kita menunda mengisi galon yang sudah habis?
Seringkali kita begitu berat kaki melangkah ke depo air minum isi ulang yang jaraknya paling hanya beberapa kilometer dari rumah. Malasnya orang mengisi ulang galon saya kira setara dengan malasnya orang ikut jamaah subuh. Padahal berdasarkan pengalaman pribadi, telat mengisi galon akan berdampak pada berkurangnya secara drastis jumlah air yang kita minum. Bukankah kencing kita biasanya kekuningan tepat pada momen ketika kita kehabisan air di galon? Parahnya lagi, kita terus menundanya sampai akhirnya kita merasa bak di gurun sahara: kerongkongan kerontang, kepala nyut-nyutan, penglihatan berkunang-kunang.
Dan pertanyaan terakhir, “Berapa kali kita enggan memesan air putih di rumah makan sebab merasa gengsi atau setidaknya nggakenak hati?”.
Perihal terakhir ini saya kira menjadi perihal yang paling membuat hati masygul. Tentu itu bukan semata kesalahan kita. Akhir-akhir ini saya mengamati semakin banyak kafe, kedai, rumah makan, atau restoran yang sengaja menghapus air putih dari daftar menu minumnya. Saya punya pengalaman yang buruk terkait hal ini. Suatu hari, saya pernah janjian dengan seorang teman di sebuah kafe dekat kampus. Malam itu saya hanya membawa uang dua belas ribu rupiah. Pas, tidak kurang tidak lebih. Sebab teman saya belum datang dan waitress kafe sudah menghampiri, saya pun memilih untuk memesan makanan terlebih dahulu dengan menu makanan yang harganya tak lebih dari dua belas ribu namun tetap dapat membuat perut kenyang. Alhasil, saya pun memesan Indomie goreng telur yang harganya tepat sejumlah uang yang saya bawa dan meminta tambahan air putih supaya makan saya tetap nikmat tanpa keseretan. Namun betapa kaget dan wirangnya saya ketika waitress tersebut tiba-tiba menagih uang sebesar tujuh belas ribu rupiah.
“Lho, kan Indomie telur cuma dua belas ribu mbak?”,
“Iya mas, tambahan air mineral botolnya 5.000 rupiah”,
“Saya nggak mau air botolan mbak. Saya minta air segelas kecil aja.”,
“Maaf mas, nggak ada, adanya air mineral botol”,
“Segelas aja nggak bisa mbak?”,
“Maaf mas, nggak ada..”,
“Beneran mbak?”
“Iya mas, nggak ada”
“Nggak ada mbahmu koprol, la njuk piye le mu ngecor kopi kalau air nggak ada?”, batin saya emosi. Namun apa daya, akhirnya saya mengalah dan jadilah malam itu saya mengubah menu jadi Indomie rebus telur. Kalau keseretan, paling tidak saya bisa minum kuahnya.
Fenomena penghapusan menu air putih sebenarnya pernah menimbulkan kontroversi di Amerika. Kontroversi tersebut dimulai dari sebuah campaign  Coca Cola bertajuk “Cap the Tap” atau “Matikan Keran”, yang merupakan ajakan bagi restoran-restoran di Amerika untuk mematikan keran restoran (di Amerika, air keran bisa langsung diminum) dan memberi pelatihan bagi para pegawai untuk memberikan tawaran alternatif seperti air mineral botol (Ingat, Coca-cola memiliki brand air mineral botol bernama Dasani), teh hijau, diet soda, atau smoothies. Campaign tersebut tentu saja dilakukan dengan demi motif profit semata. Akan tetapi, campaigntersebut segera ditentang banyak pihak.
Sebuah petisi bahkan muncul di forcechange.com untuk mengajak warga Amerika menolak campaign “Cap the Tap”. Alasan penolakan tersebut pun bukan hanya didasari alasan kesehatan saja, namun juga motif ekonomi di mana disebutkan bahwa air kran telah membantu warga Amerika menjaga dompetnya.
Lantas, bagaimana dengan di Indonesia? Adakah tanda-tanda penolakan terhadap kebijakan semacam itu? Saya kira sulit. Kebijakan semacam itu bahkan kini nampak merambah ke warung-warung pinggiran yang dahulu nampak membumi dan sederhana.  Bukankah kita sering melihat aa’ warung burjo atau bapak warung soto bermuka masam kala kita memesan air putih?.
Ini mungkin agak merepotkan, namun daripada kita sering merasa kehausan atau kekurangan cairan di tengah aktivitas yang padat, alangkah baiknya jika kita mulai rajin membawa air minum dari rumah di manapun kita berada. Setidaknya jika kita sedang bokek dan tidak ingin memesan minuman berbayar, kita bisa mengurangi probabilitas meminum kuah Indomie atau mendapati muka masam bapak penjual soto.
Kembali pada campaign #minumairputih yang dilakukan teman-teman UGM, nampaknya lagi-lagi kita musti banyak belajar dalam memandang kehidupan. Mendengar kabar tentang seorang karib yang musti melewatkan 12 jam per minggu bersama mesin dialiser, selang panjang merah-biru bernama CDL, juga jarum suntik sebesar ekor capung ciwet tentu membuat duka, pilu, pahit, getir, juga prihatin segera mengendap. Namun larut dalam kesedihan saja toh pada akhirnya tak membantu apa-apa. Pramoedya Ananta Toer dalam novel Anak Semua Bangsa pernah menulis “Kehidupan ini seimbang tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.” Dan begitulah campaign #minumairputih bisa hadir di tengah kita meski berawal dari sakitnya Subex.
Jika pada akhirnya campaign tersebut dapat menyebar begitu luas dan membuat kita banyak belajar, saya kira semua itu tidak berawal dari rasa peduli kawan-kawan Subex, namun bermuara dari sosok Subex sendiri, sosok yang senantiasa mau berteman dengan siapa saja.

Tulisan ini pertama kali dimuat di www.kibul.in
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ►  2019 (17)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Januari (4)
  • ▼  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ▼  April (2)
      • Kereta Hantu - Terjemahan Cerpen Emmanuel Boundzek...
      • Air Putih
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (4)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2015 (42)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (68)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember (9)
    • ►  November (13)
    • ►  Oktober (15)
    • ►  September (7)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)

Copyright © 2016 bagus panuntun. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018