Air Putih


Coba luangkan sejenak waktumu, ambil gawaimu, buka instagram-mu, menujulah ke kolom pencarian dan ketikkan tagar #ComeBex. Selanjutnya simak sejenak foto-foto yang muncul dari tagar tersebut. Maka kau akan melihat sosok lelaki berkacamata dengan jidat bersih nan lebar, kulit kuning langsat, bermata sipit, lalu berambut panjang gimbal.
Ia adalah Subex, mahasiswa Sejarah UGM, head crew band parodi Sastro Moeni, juga kawan saya yang sejak minggu lalu dipastikan mengalami gagal ginjal dan musti menjalani terapi cuci darah dua kali seminggu. Duka menyeruak ketika kabar tersebut datang begitu mendadak. Dua minggu sebelumnya, saya masih terbahak ketika kawan-kawan memberinya julukan baru “candi” sebab hobi barunya mendekam diam di kamar selama berbulan-bulan. Seminggu sebelumnya, saya mendengar kabar bahwa Subex sengaja menjadi “candi” untuk merenungkan skripsinya mengenai sejarah perdagangan kopra di kepulauan Talaud.
Tiga hari sebelumnya, saya dibuat kagum sekaligus terkejut mendengar kabar bahwa ia telah mengelarkan bab 2-nya. Siapapun yang mengenal Subex tentu paham bahwa menyelesaikan bab 2 adalah sebuah pencapaian luar biasa untuk seorang yang lebih kerap menggulung kabel dan datang ke gigs indie dibanding membaca buku dan masuk ke ruang kuliah. Akan tetapi tepat pada Kamis minggu lalu, tersebarlah kabar bahwa Subex positif gagal ginjal, dan lebih ironisnya kabar itu jatuh tepat pada tanggal 9 Maret yang merupakan peringatan Hari Ginjal Sedunia.
Kabar sakitnya Subex yang awalnya hanya diketahui beberapa gelintir orang lantas menyebar begitu cepat seiring bertambahnya foto dan hashtag #ComeBex yang merupakan modifikasi dari terma #ComeBack, sebuah ungkapan yang akhir-akhir ini dimaknai para pecinta sepak bola sebagai “bangkit kembali setelah jatuh”.
Berawal dari satu, menjadi sepuluh, menjadi seratus, lalu menjadi seribu, simpati pada Subex pun terus mengalir. Setelah hashtag #ComeBex, berikutnya hadir pula charity “Cuci Darah untuk Subex”, dan selang beberapa hari kemudian aksi solidaritas untuk Subex pun digelar di Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Budaya, dan Fakultas Filsafat UGM dengan campaign #minumairputih. Dan dari campaign #minumairputih inilah sebenarnya kita dapat belajar banyak hal.
Semua orang tentu tahu bahwa air memang sangat penting bagi tubuh. Akan tetapi, nyatanya masih banyak di antara kita, terlebih para mahasiswa dan kelas pekerja, yang kelewat abai pada hal tersebut.
Berapa gelas air yang biasa kita minum dalam sehari?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya jika kita menjawab dahulu pertanyaan ini “Berapa gelas air yang sebaiknya kita minum dalam sehari?”. Sebagian besar orang mungkin akan dengan mantap menjawab “8 gelas air atau 2 liter !”. Padahal, saran umum tersebut adalah bentuk salah kaprah yang brutal. Nyatanya, penelitian terbaru yang dilakukan International Marathon Medical Directors Association (IMMDA) menyarankan agar kita mengkonsumsi air minum hanya pada saat kita merasa haus dan dahaga. Konsumsilah air minum secukupnya, yaitu tidak lebih dari 0.03 liter per kg berat badan. Jadi, misalnya kita memiliki berat badan 100 kg, maka konsumsilah air minum kurang lebih 3 liter per hari. Heinz Valtin, spesialis ginjal dari Dartmouth Medical School, juga mengatakan bahwa saran umum minum 8 gelas air per hari sebenarnya sama sekali tidak benar. Ia lebih jauh lagi mengingatkan bahwa minum air dalam jumlah terlalu banyak justru dapat menyebabkan hiponatremia yaitu kondisi di mana jumlah air dalam tubuh berlebihan sehingga ia akan masuk ke dalam sel-sel tubuh dan menyebabkan pembengkakan otak.
Kembali ke pertanyaan sebelumnya, “Berapa gelas air yang biasa kita minum dalam sehari?”. Kemudian mari kita tambahi dengan pertanyaan, “Sudah tepatkah?”. Jika sejak membaca tulisan ini kita sadar bahwa selama ini kita minum air dengan cara yang kurang tepat, maka mulailah meminum dengan takaran yang tepat. Saya sendiri selama ini meminum lebih dari 10 gelas air per hari. Bagaimana bisa? Ya bisa, wong saya baru mengetahui penelitian dari IMMDA dan Heinz Valtin ketika proses menulis artikel ini. Hehehehe…
Berapa kali kita menunda mengisi galon yang sudah habis?
Seringkali kita begitu berat kaki melangkah ke depo air minum isi ulang yang jaraknya paling hanya beberapa kilometer dari rumah. Malasnya orang mengisi ulang galon saya kira setara dengan malasnya orang ikut jamaah subuh. Padahal berdasarkan pengalaman pribadi, telat mengisi galon akan berdampak pada berkurangnya secara drastis jumlah air yang kita minum. Bukankah kencing kita biasanya kekuningan tepat pada momen ketika kita kehabisan air di galon? Parahnya lagi, kita terus menundanya sampai akhirnya kita merasa bak di gurun sahara: kerongkongan kerontang, kepala nyut-nyutan, penglihatan berkunang-kunang.
Dan pertanyaan terakhir, “Berapa kali kita enggan memesan air putih di rumah makan sebab merasa gengsi atau setidaknya nggakenak hati?”.
Perihal terakhir ini saya kira menjadi perihal yang paling membuat hati masygul. Tentu itu bukan semata kesalahan kita. Akhir-akhir ini saya mengamati semakin banyak kafe, kedai, rumah makan, atau restoran yang sengaja menghapus air putih dari daftar menu minumnya. Saya punya pengalaman yang buruk terkait hal ini. Suatu hari, saya pernah janjian dengan seorang teman di sebuah kafe dekat kampus. Malam itu saya hanya membawa uang dua belas ribu rupiah. Pas, tidak kurang tidak lebih. Sebab teman saya belum datang dan waitress kafe sudah menghampiri, saya pun memilih untuk memesan makanan terlebih dahulu dengan menu makanan yang harganya tak lebih dari dua belas ribu namun tetap dapat membuat perut kenyang. Alhasil, saya pun memesan Indomie goreng telur yang harganya tepat sejumlah uang yang saya bawa dan meminta tambahan air putih supaya makan saya tetap nikmat tanpa keseretan. Namun betapa kaget dan wirangnya saya ketika waitress tersebut tiba-tiba menagih uang sebesar tujuh belas ribu rupiah.
“Lho, kan Indomie telur cuma dua belas ribu mbak?”,
“Iya mas, tambahan air mineral botolnya 5.000 rupiah”,
“Saya nggak mau air botolan mbak. Saya minta air segelas kecil aja.”,
“Maaf mas, nggak ada, adanya air mineral botol”,
“Segelas aja nggak bisa mbak?”,
“Maaf mas, nggak ada..”,
Beneran mbak?”
“Iya mas, nggak ada”
Nggak ada mbahmu koprolla njuk piye le mu ngecor kopi kalau air nggak ada?”, batin saya emosi. Namun apa daya, akhirnya saya mengalah dan jadilah malam itu saya mengubah menu jadi Indomie rebus telur. Kalau keseretan, paling tidak saya bisa minum kuahnya.
Fenomena penghapusan menu air putih sebenarnya pernah menimbulkan kontroversi di Amerika. Kontroversi tersebut dimulai dari sebuah campaign  Coca Cola bertajuk “Cap the Tap” atau “Matikan Keran”, yang merupakan ajakan bagi restoran-restoran di Amerika untuk mematikan keran restoran (di Amerika, air keran bisa langsung diminum) dan memberi pelatihan bagi para pegawai untuk memberikan tawaran alternatif seperti air mineral botol (Ingat, Coca-cola memiliki brand air mineral botol bernama Dasani), teh hijau, diet soda, atau smoothies. Campaign tersebut tentu saja dilakukan dengan demi motif profit semata. Akan tetapi, campaigntersebut segera ditentang banyak pihak.
Sebuah petisi bahkan muncul di forcechange.com untuk mengajak warga Amerika menolak campaign “Cap the Tap”. Alasan penolakan tersebut pun bukan hanya didasari alasan kesehatan saja, namun juga motif ekonomi di mana disebutkan bahwa air kran telah membantu warga Amerika menjaga dompetnya.
Lantas, bagaimana dengan di Indonesia? Adakah tanda-tanda penolakan terhadap kebijakan semacam itu? Saya kira sulit. Kebijakan semacam itu bahkan kini nampak merambah ke warung-warung pinggiran yang dahulu nampak membumi dan sederhana.  Bukankah kita sering melihat aa’ warung burjo atau bapak warung soto bermuka masam kala kita memesan air putih?.
Ini mungkin agak merepotkan, namun daripada kita sering merasa kehausan atau kekurangan cairan di tengah aktivitas yang padat, alangkah baiknya jika kita mulai rajin membawa air minum dari rumah di manapun kita berada. Setidaknya jika kita sedang bokek dan tidak ingin memesan minuman berbayar, kita bisa mengurangi probabilitas meminum kuah Indomie atau mendapati muka masam bapak penjual soto.
Kembali pada campaign #minumairputih yang dilakukan teman-teman UGM, nampaknya lagi-lagi kita musti banyak belajar dalam memandang kehidupan. Mendengar kabar tentang seorang karib yang musti melewatkan 12 jam per minggu bersama mesin dialiser, selang panjang merah-biru bernama CDL, juga jarum suntik sebesar ekor capung ciwet tentu membuat duka, pilu, pahit, getir, juga prihatin segera mengendap. Namun larut dalam kesedihan saja toh pada akhirnya tak membantu apa-apa. Pramoedya Ananta Toer dalam novel Anak Semua Bangsa pernah menulis “Kehidupan ini seimbang tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.” Dan begitulah campaign #minumairputih bisa hadir di tengah kita meski berawal dari sakitnya Subex.
Jika pada akhirnya campaign tersebut dapat menyebar begitu luas dan membuat kita banyak belajar, saya kira semua itu tidak berawal dari rasa peduli kawan-kawan Subex, namun bermuara dari sosok Subex sendiri, sosok yang senantiasa mau berteman dengan siapa saja.

Tulisan ini pertama kali dimuat di www.kibul.in

Share:

0 komentar