Bonbin Reborn: Melepas Rindu, Mengikat Semangat



Pengantar
Minggu kedua bulan Ramadhan 2016, ketika sebagian besar mahasiswa UGM sedang bertemu mamak di kampung halamannya, ketika sebagiannya lagi sedang berada di tanah pengabdian dalam rangka KKN (Kuliah Kerja Nyata), Bonbin UGM direlokasi –dalam terminologi Ahok dan Ibu Dwikorita– ke Lembah UGM. Ini terjadi gara-gara UGM punya proyek menjadi kampus dengan platform yang kondusif untuk proses belajar mengajar. Kampus diproyeksikan untuk menjadi ruang dengan taman hijau dimana-mana, bebas polusi suara dari kendaraan bermotor, apalagi dari sebuah tempat seperti Bonbin yang dalam skripsi berjudul “Studi tentang Kehidupan Sosial pada Sebuah Warung di UGM, Bulaksumur, Yogyakarya” yang ditulis oleh Budi Hardjono dinarasikan sebagai berikut:
“Jika dilihat dari jauh, maka orang-orang yang duduk di ruang itu seperti binatang-binatang yang terkurung dalam sangkar yang kotor, bersikap urakan, dan semua terlihat mesum. Bonbin seperti antitesis dari struktur yang dianggap “benar” di fakultas”.
Ah, pembaca Kibul yang terhormat, barangkali kalian belum paham apa itu Bonbin, atau kalian kira Bonbin adalah tempat para tapir, celeng, dan iguana dikurung dalam kandang seluas kamar kos, maka sudah barang tentu itu keliru. Bonbin yang sedang kita bicarakan kali ini adalah nama sebuah kantin yang (dahulu) terletak di area Jalan Sosio-Humaniora, Universitas Gadjah Mada dan kerapkali disebut sebagai kantin legendaris UGM.
Saya kira julukan legendaris memang tidak berlebihan jika kita melihat pelbagai peristiwa yang merentang sejak Bonbin didirikan hingga terakhir kali ia diruntuhkan. Pertama, sejak didirikan pada tahun 1987 oleh Profesor Koesnadi Hardjosoemantri –kala itu menjadi Rektor UGM— kantin ini telah ditujukan sebagai manifestasi visi kerakyatan yang –sebagaimana kita tahu— selalu digaung-gaungkan oleh UGM. Kala itu, Prof. Koes membangun Bonbin dengan cara mengumpulkan puluhan pedagang kaki lima yang tersebar di 8 titik sekitar UGM untuk kemudian meminta mereka menjual dagangannya di area kampus. Di kala kebanyakan pemegang kuasa gemar melakukan peminggiran kepentingan rakyat kecil, Prof. Koes justru hadir sebagai anomali dengan membawa kaum-kaum kromo ke pusat arena. Kedua, dalam rentang hampir 30 tahun, Bonbin telah menjadi saksi lahirnya sosok-sosok cemerlang dalam berbagai bidang, sebut saja Rahung Nasution (koki terkenal yang dulunya hampir setiap hari nongkrong di Bonbin), Faruk HT (Profesor dan Kritikus Sastra), hingga Puthut EA (sastrawan). Puthut EA dalam memoarnya berjudul “Para Bajingan yang Menyenangkan” bahkan menceritakan Bonbin sebagai tempat para aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik) seperti Nezar Patria dan Budiman Sudjatimiko berkumpul menyusun strategi untuk menggulingkan Soeharto. Dan ketiga, setahun lalu ketika isu relokasi Bonbin mulai mencuat, Bonbin mampu membangunkan kembali gerakan mahasiswa yang awalnya adem ayem untuk kemudian berbondong-bondong dengan kaos hitam menuju Rektorat membawa spanduk merah bergambar tangan mengepal bertuliskan “#SAVEBONBIN, TOLAK RELOKASI !”.
Namun dengan segala hal yang membuat Bonbin layak disebut kantin legendaris, nyatanya Bonbin punya nasib yang tak mujur-mujur amat. Setelah tempo lalu dijuluki “kantin gelap yang menyebarkan bakteri salmonela” oleh para petinggi Universitas , ia kemudian –alih-alih direnovasi– direlokasi ke area Lembah yang letaknya jauh dari fakultas-fakultas di UGM. Belum cukup dengan kemalangan tersebut, omset penghasilan pedagang ternyata jauh menurun. Nama Bonbin pun kini tak dikenal lagi oleh mahasiswa-mahasiswa angkatan baru. Bangunan Bonbin pun kerap banjir. Tak cukup sampai disitu, Bonbin bahkan mulai ditinggalkan oleh sebagian besar aktivis kampus yang dulu mengadvokasi nasibnya. Para mahasiswa yang setahun sebelumnya garangnya minta ampun, kini pergi entah kemana untuk sibuk dengan “karir”-nya masing-masing.
Di tengah kondisi yang memaksa kita menasbihkan lema “prihatin” ini, hadirlah puluhan alumni Fakultas Sastra yang tergabung dalam Komunitas Sastra Lawas yang kemudian menginisiasi sebuah pagelaran bertajuk Bonbin Reborn.

Bonbin Reborn, Sekadar Nostalgia?

Bonbin Reborn digelar beberapa hari lalu, tepatnya pada tanggal 18 Februari 2017. Sehari sebelum acara digelar, saya sempat bertemu dengan Widhi Asmara, sosok ketua panitia, untuk berbincang selama kurang lebih 20 menit di Warung Ketoprak Mas Heru.
Sebagai bahan obrolan awal, saya pun menanyakan latar belakang diadakannya acara tersebut. Widhi Asmara setelah menyeruput kuah es campur yang baru saja ia pesan, kemudian menjawab pertanyaan tersebut dengan begitu santai,
“Ya, latar belakang awalnya lebih ke keinginan untuk bernostalgia”.
Bonbin Reborn sedari awalnya memang diciptakan sebagai “ruang untuk mengenang”. Itulah mengapa pada malam ketika acara dirayakan, kita bisa menemui Yu Par, Heru, Lilik, Cithut, hingga Mbak Ning menggelar lapak dagangan mereka di venue acara yang ada di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri. Yu Par malam itu menjual sego rames dengan oseng mie, kikil lombok ijo, tahu santan, pecel, hingga aneka gorengan ayam, telur, tempe. Heru yang sedari dulu menjadi legenda dengan ketopraknya malam itu sibuk mengulek bumbu kacang demi pesanan yang kian menit kian bertambah. Lilik tak mau kalah, sedari sore ia telah menyiapkan buah-buah yang paling segar untuk diblender pada malam harinya. Sementara Cithut dengan dibantu Mas Yat, tak henti-hentinya mengaduk puluhan gelas wedang sachet mulai dari ExtrajossGood Day, sampai Kapal Api. Saya tidak sempat melihat apa saja yang dijual Mbak Ning sebab hari itu lapaknya kelewat penuh, namun yang jelas pada hari itu Mbak Ning mendapat jatah menjual teh dan wedang jeruk, dua menu minuman biasanya dijual Cithut namun hari itu dikhususkan buat Mbak Ning.
Sementara lapak pedagang sibuk melayani pesanan, para Bonbiners (julukan bagi para pelanggan Bonbin) telah duduk di kursi dan meja yang ada di samping timur lapak. Pada satu meja yang terletak di pojok paling barat, nampak tiga lelaki dan satu perempuan dengan rambutnya yang mulai beruban tengah takzim menekuni hidangan mereka. Yang laki-laki nampak bersemangat menyantap ayam kecap, sementara yang perempuan lebih santai menyendokkan kuah sup ke mulutnya. Saya menaksir mereka berasal dari angkatan 80-an, generasi awal yang “tumbuh” di Bonbin. Pada meja di samping kanannya, asap rokok mengepul. Enam gelas kopi hitam berjajar di meja tersebut. Di sekeliling meja, nampak enam laki-laki yang semuanya berkaos dan bercelana jeans bercakap dengan volume keras dan sesekali terbahak riang gembara. Sementara itu, pada dua meja samping kanannya lagi, nampak beberapa anak muda tengah bercakap dengan seorang lelaki beruban dengan rokok di tangan kanannya. Saya mengenal sosok lelaki beruban itu sebagai Faruk HT, Profesor Sastra yang namanya kerapkali disebut dalam skripsi-skripsi mahasiswa se-Indonesia. Sedangkan di sekeliling meja, orang-orang dengan berbagai usia nampak berlalu lalang mencari sahabatnya yang lama tak ia temui. Di antara orang-orang tersebut, saya sempat melihat sosok-sosok penulis kondang macam Lono Simatupang (Antropologi) hingga Kris Budiman (Sastra). Sosok-sosok senior ini tanpa canggung bercakap dengan orang-orang yang nampak jauh lebih muda darinya. Malam itu Bonbin Reborn benar-benar mampu menghidupkan kembali nuansa yang selalu hadir di tengah meja-meja Bonbin: keakraban dan kesederhanaan dalam wujud yang paling egaliter.
Setelah mengamati hiruk pikuk yang ada di area lapak makanan, saya pun mendekat ke venue bagian selatan. Di situlah panggung musik digelar dengan perlengkapan yang layak mendapat dua acungan jempol. Seperangkat sound system dengan kualitas tata suara yang benar jernih dan dua LED live viewing terpasang di kanan kiri panggung, lighting dengan berbagai macam bentuknya menyemburatkan cahaya penuh warna dan warni, dan yang paling menarik adalah  enam buah benda berbentuk kubus sebesar anak gajah yang entah namanya apa digantung dan menjadi semacam seni instalasi aerial setelah masing-masing kubus mendapat sorot bertuliskan B-O-N-B-I-N. Panggung musik malam itu diisi banyak sekali musisi yang menurut Widhi Asmara 90%-nya adalah alumni Bonbin. Kita bisa berjumpa dengan Sastromoeni generasi lawas yang ternyata memainkan lagu bergenre rock and roll, Sastromoeni generasi kini juga tampil dengan lagu-lagu humor medley-nya yang membuat tawa penonton menyeruak, sementara itu suasana halusinatif hadir tatkala Risky Summerbee and The Honeythief membawakan lagu-lagu folk psikedeliknya dengan struktur lagu yang kompleks namun eksotis – dan kita tak bisa mengalihkan diri dari solo insrumental efek gitar Risky yang unik. Malam itu adalah malamnya Frau saat penyanyi lulusan jurusan Antropologi ini menyanyikan tembang “Sepasang Kekasih yang Bercinta di Luar Angkasa” suasana menjadi begitu magis namun sekaligus begitu hidup setelah semua penonton ikut melafalkan tembang tersebut dengan lancar. Sebenarnya masih banyak musisi yang tampil pada malam hari itu, namun saya tak sempat menikmati penampilan Gunawan Maryanto, Drs Him, hingga para DJ sebab musti nyambi melapak buku bersama @warungsastra.
Dalam hal melahirkan kembali nostalgia akan nuansa Bonbin, saya kira Bonbin Reborn bukan hanya berhasil, namun sukses berat. Akan tetapi, sejenak kemudian muncul sebuah pertanyaan, apakah “reborn” sekadar dimaknai sebagai kelahiran kembali akan sederet kenangan, yang mana sifatnya lebih sentimentil dibanding esensial?
Oleh karena apa yang terindera dari pagelaran malam itu, bagi saya nampaknya terlalu sederhana jika “reborn” sekadar dimaknai sebagai lahirnya kembali sederet kenangan. Satu hal yang perlu dicatat, keberhasilan Widhi Asmara dkk memadatkan area panggung dengan sorak, riuh, dan gempita sekaligus menghidupkan kembali meja-meja Bonbin dengan asap, kopi, dan dialog,  saya kira membuat acara ini layak dimaknai sebagai kelahiran kembali jiwa-jiwa Bonbin yang “kuat dalam berpesta, semangat dalam berdialektika”.

Isu Bonbin Terkini

Sebelum menutup tulisan ini, sekiranya izinkan saya mengabarkan sedikit hal terkait perkembangan isu relokasi Bonbin yang sebenarnya belum juga purna hingga detik ini. Singkatnya begini:
Kepindahan Bonbin ke area Lembah sebenarnya hanyalah perpindahan sementara, sebab tepat dua Minggu setelah jajaran Rektorat UGM didemo lebih dari tujuh ribu mahasiswa pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun lalu, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. (Rektor UGM), Dr. Paripurna, S.H., M.Hum., LL.M. (Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Alumni), dan jajaran Rektorat lain bersedia memenuhi tuntutan mahasiswa untuk membangun kembali kantin baru bagi 12 pedagang Bonbin yang tepatnya berada di antara fakultas Filsafat dan Ekonomika dan Bisnis. Kantin baru tersebut direncanakan akan selesai dan berada satu komplek dengan Plaza Sosio-Humaniora yang pembangunannya akan disponsori Bank Indonesia dan direncanakan selesai pada akhir tahun 2017. Meski isunya tak lagi sehangat tahun lalu, namun nyatanya masih ada beberapa mahasiswa yang mencoba tetap konsisten mengawal tiap pertemuan antara pedagang dengan rektorat.
Widhi Asmara, dalam percakapannya tempo hari sempat menyatakan harapannya atas Bonbin Reborn dengan lebih serius. Setelah menyesap Gudang Garam di tangan kirinya, ia menyatakan harapan pribadinya pada Bonbin Reborn sebagai hari lahirnya kembali komunitas Bonbiners sebagai komunitas yang solid, komunitas yang datang tak sekadar untuk berpesta, namun mampu melampaui pemaknaan “bersenang-senang” sebagai praktik membantu sesama.
Berangkat dari antusiasme yang terbangun selama Bonbin Reborn, dan harapan Widhi Asmara akan terwujudnya “praktik membantu sesama”, saya kira sudah sepatutnya para Bonbiners mengawal kembali isu tersebut sampai tuntas. Dan barangkali jika sampai tahun depan “tanah yang dijanjikan” tak jua ada buktinya, para Bonbiners musti kembali melepas rindu dan mengikat semangat di depan Gedung Rektorat.

NB: Artikel ini pertama kali dimuat di www.kibul.in

Share:

0 komentar