bagus panuntun

berubah!

Je pense que j'ai jamais vraiment idolâtré quelqu'un ou un tel chose. C'est pourquoi je peux pas comprendre de voir ceux qui crient chaque fois ils voient son idole, ceux qui suivent régulièrement la vie quotidienne de leur hero/heroine, ou ceux qui connaît et mémorise en détail toute l'histoire d'une figure.

A mon égard, ce monde a trop de choses intéressant. Néanmoins, on n'a pas assez de temps de les connaitre tous. Et pour cette raison, je crois qu'idolâtrer trop un truc n'est qu'une façon de gâcher notre temps pour découvrir le monde.

J'essaie toujours de trouver quelque chose intéressant par hasard. Sur l'internet, de la réalite qui m'entoure. Et de cette façon, je trouve que la vie est étonnant parce qu'elle peut nous donner des surprises infinement.

Peut-être, c'est la raison pourquoi beaucoup de gens ont dit que je suis trop aléatoire. Quand je dis que j'aime cinéma indien, l'histoire de l'afrique noire, Fatoumata Diawara, Twice, Pramoedya Ananta Toer, le slam d'Abd Al Malik, la vie à West Papua, Nella Kharisma, la littérature francophone, Jisoo, l'histoire sur le silence et la résistance, Albert Camus, Ryunosuke Akutagawa, la chanson "Secukupnya" de Hindia, le chemin de fer, la citation "Il faut cultiver notre jardin", etc, etc.
Voy a utilizar este sitio web para escribir en español o francés. Necesito una plataforma para expresar lo que siento. Ahora, creo que twitter ya no es un lugar adecuado ya que los netizanos son demasiado prejuiciosos.
Seumur-umur cuma bisa bikin susah orang tua, giliran ada kesempatan bahagian, malah ada musibah sebesar ini. Asu lah.
C'est grave, jai vu le Horla
Trop de charges. Je veux que dormir 6 à 8 heures sans cesse.
Y a un moment dans la vie lorsqu'on est si douloureux parce qu'on sait qu'on mérite pas de bonheur tant que les gens qu'on aime souffrent. Ce qui se passe chez moi est trop terrible. Les humains sont si dégoûtants. C'est trop triste jusqu'à ce que je peux rien entendre de musique sauf celle de Joe Hiraishi et Ryuichi Sakamoto. Mais quand même, ça pourrait être pire si Deborah n'est pas là.


I. Cimetière de Montparnasse

Hamparan makam seluas 18,7 hektar ini adalah tempat persemayaman terakhir sejumlah tokoh besar Prancis. Di sini tertidur dengan tenang sastrawan Jean Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Charles Baudelaire, Guy de Maupassant, Marie Duras, Simone Beckett, hingga Julio Cortazar. Juga para dedengkot di berbagai bidang lain macam Pierre Larousse (penyusun kamus dan ensiklopedia besar Prancis Abad 19), Serge Gainsbourg (musisi legendaris Prancis), Henri Langlois (pionir industri perfilman Prancis), Emile Durkheim (salah satu pencetus teori sosiologi modern), hingga Jean Baudrillard (filsuf hiperrealitas dan simulakra).

Tempat tersebut adalah Cimetière de Montparnasse.

Saya mengenal pemakaman ini sejak 5 tahun lalu. Waktu itu, saya mendapat tugas kuliah untuk membuat presentasi tentang salah satu destinasi wisata di Prancis. Barangkali karena tak ingin mempresentasikan destinasi yang sudah mainstream, saya pun memilih salah satu destinasi wisata alternatif: plesir di kuburan.

Kalau dibandingkan dengan Indonesia, wisata ziarah sebenarnya juga bukan hal baru. Khusnul Bayu, teman saya yang kini jadi akademisi pariwisata, pernah bilang bahwa salah satu bisnis tour and travel terbesar adalah bisnis ziarah makam Wali Songo. Fakta itu pernah bikin kami bercita-cita punya bisnis wisata religius meski akhirnya gagal total karena klien pertama kami mengalami tragedi ban bus mbledos saat perjalanan ke Magelang.

Tetapi meskipun bukan hal baru, wisata ziarah di Prancis punya kekhasannya tersendiri. Misalnya, disini orang lebih lumrah nyekar ke makam para sastrawan dibanding tokoh agama. Hal ini saya lihat secara langsung ketika 31 Agustus 2019 lalu, saya berkesempatan ziarah ke Cimetière de Montparnasse.

Ditemani Hasbi, Idham (mahasiswa Master Discours di Universite Paris 13), dan Mbak Anggi (sekretaris KWRI UNESCO Paris), kami datang di siang bolong dengan perasaan penuh bungah. Tak ada hawa duka atau muram. Barangkali saya kelewat senang karena akhirnya bisa mewujudkan tugas perkuliahan jadi nyata. Tapi yang jelas, pemakaman ini memang tidak menimbulkan hawa angker sama sekali. Pepohonan berjajar rapi meneduhkan jalan. Nisan-nisan dipahat dengan indah dan tak ada yang berlumut. Sepanjang trotoar, bangku-bangku taman dipasang rapi. Di salah satu bangku yang kami lewati, sepasang kekasih duduk berpangkuan dan berciuman dengan lembut. Romantis dan mesra. Tapi seandainya adegan ini terjadi di Indonesia, barangkali pasangan itu akan kena azab. Mungkin tewas jadi tumbal seperti pasangan mesum di Desa Penari. Mungkin ketempelan pocong atau kuntilanak. Atau minimal, alat genital mereka bakal menyonyor.

II. Sartre dan Beauvoir
  
Di Cimetière de Montparnasse, makam yang paling ramai dikunjungi adalah makam salah satu pasangan kekasih paling dikenang sepanjang masa. Mereka adalah Jean Paul Sartre dan Simone di Beauvoir, sepasang filsuf yang dikuburkan di bawah nisan yang sama. Makam ini pula yang menjadi tujuan utama kami. Terutama Bu Anggi yang memang senang membaca karya-karya mereka.

Jean Paul Sartre (1905-1980) dan Simone de Beauvoir (1908-1986) adalah filsuf maha kondang pada pertengahan abad 20. Sartre dikenal sebagai seorang penggagas gerakan filosofis yang disebut eksistensialisme. Ia juga termasuk golongan intelektual kiri yang paling dihormati di zamannya. Sepanjang hidupnya, ia tak segan mengambil sikap atas berbagai peristiwa politik. Mulai dari menentang kolonialisme Prancis di Aljazair, menuntut penyelidikan kejahatan perang di Vietnam, bahkan turut serta dalam demonstrasi Revolusi Mahasiswa 1968 di Paris. Sementara itu, Simone de Beauvoir dikenal sebagai salah satu tokoh gerakan feminisme paling penting di dunia. Terutama setelah ia menerbitkan buku Le Deuxième Sexe (The Second Sex), sebuah studi besar tentang gender yang telah menginspirasi berbagai gerakan pembebasan perempuan.

Dua sejoli ini bertemu tahun 1929 saat keduanya masih menjadi mahasiswa filsafat di Universitas Sorbonne. Saat itu, Sartre adalah mahasiswa peringkat satu dalam Agrégation de Philosophie, ujian tesis filsafat di Sorbonne. Sementara Beauvoir meraih peringkat dua. Pertemuan mereka di kampus inilah yang nantinya akan membawa mereka pada sebuah hubungan cinta yang menjadi cerita besar: Sartre dan Beauvoir saling mencintai, memutuskan hidup bersama, berjanji tak pernah saling bohong, namun sama sekali tak pernah menikah. Sebab, mereka percaya bahwa cinta tak butuh lembaga pernikahan yang sebenarnya hanya tradisi kaum borjuis.

Sampai hari ini, Sartre dan Beauvoir kerap dianggap sebagai lambang kekuatan cinta. Terutama bagi mereka yang percaya bahwa cinta tak membutuhkan ijab kabul. Jika kita berkunjung ke Cimetière de Montparnasse, kita bisa melihat besarnya rasa kagum itu di atas nisan mereka, di mana ratusan bekas kecup bibir tersemat dengan berbagai warna dan warni.

Mafhum bila mereka punya banyak pemuja. Lagipula, adakah yang lebih kudus daripada terus di samping kekasih, bahkan setelah mati?

III. Nelson Algren

Saat sedang berada di depan makam dua filsuf ini, ingatan saya tiba-tiba terlempar pada salah seorang teman dekat yang suatu hari pernah berseloroh di depan pacarnya bahwa ia tak ingin menikah.

“Mending cohabitation alias kumpul kebo”. Ujarnya.

Sang pacar kemudian menanggapi cowoknya itu dengan raut kecut. “Bilang aja males tanggung jawab”.

Menariknya, tak butuh dua tarikan nafas bagi teman saya untuk kemudian melakukan serangan balik yang telak. “Sartre dan Beauvoir nggak nikah juga, tapi saling tanggung jawab”.

Obrolan tersebut lalu saya ceritakan pada teman-teman dan secara tak terduga mendapat tanggapan menggelikan dari Bu Anggi.

“Lo, siapa bilang saling tanggung jawab? Sartre dan Beauvoir punya banyak pacar lo”.

Sejenak kemudian, Bu Anggi mengeluarkan dua buah buku yang sengaja ia bawa dari rumah. Masing-masing berjudul Lettres à Sartre dan Lettres à Nelson Algren. Keduanya adalah kumpulan surat yang ditulis Simone de Beauvoir namun ditujukan untuk dua orang berbeda. Nama pertama tentu sudah tak asing lagi. Tapi, siapakah nama kedua? Siapakah Nelson Algren?

Kebanyakan dari kita mungkin tidak tahu bahwa Simone de Beauvoir pernah menjalin hubungan asmara dengan Nelson Algren, sastrawan Amerika yang sangat masyhur pada periode 1950-an. Karya-karyanya banyak membahas tentang keadaan orang-orang marjinal di Chicago, dengan nuansa cerita yang kerapkali muram.

Beauvoir dan Algren bertemu di Leetle Café, Chicago, pada suatu malam di tahun 1947. Saat itu Beauvoir tengah mendapat undangan dari pemerintah Amerika untuk memberi serangkaian kuliah umum. Di antara jeda mengajar itulah Beauvoir menelfon Algren dan mengajaknya bertemu.

Pertemuan pertama mereka dimulai dengan kecanggungan. Sebab, keduanya mengalami kendala komunikasi. Algren hanya sedikit paham Bahasa Prancis, sementara Beauvoir juga tak pandai berbahasa Inggris. Mereka bercakap dengan bahasa campur-campur, di sebuah lounge yang sepi, di mana keduanya hanya memahami setengah dari apa yang dikatakan lawan bicaranya.

Namun pesona Algren yang penuh kejutan lah yang membuat Beauvoir kemudian jatuh hati. Bermula dari percakapan yang kaku, Algren lalu mengajak Beauvoir ke luar kafe, berjalan kaki menyusuri tepian Sungai Chicago, lalu memasuki gang-gang sempit nan kotor. Di sana, mereka melihat pengemis-pengemis yang mendengkur di tepi jalan, juga para gelandangan yang menjual apapun demi sekeping uang. Termasuk salah seorang yang menawarkan sebatang pensil pada Algren.

Bagi Beauvoir yang terlahir di lingkungan borjuis dan senantiasa hidup serba kecukupan—termasuk saat menjadi mahasiswi Sorbonne—, pengalaman menyusuri sela-sela gedung Chicago ini tentu menjadi momentum tak terlupakan. Barangkali petualangan macam inilah yang tak ia temukan pada sosok Sartre.

Algren dan Beauvoir lalu masuk ke sebuah bar kecil, menenggak bir, mendengarkan jazz yang dimainkan musisi-musisi kulit hitam, lalu bertukar cerita dengan lebih lepas. Saat itu, Algren mengatakan bahwa ia adalah satu-satunya penulis Amerika yang serius setelah mangkatnya Richard Wright. Ia juga bercerita bahwa semua orang yang ada di bar itu kejam dan hobi kisruh. Tapi segera Beauvoir menggoda Algren dengan mengatakan bahwa Algren adalah satu-satunya orang yang berbahaya baginya.

Malam itu, mereka pulang dalam keadaan setengah mabuk. Saat waktu menunjuk pukul dua dan udara Chicago semakin dingin, Algren dan Beauvoir memilih menghabiskan sisa pagi untuk bercinta di atas ranjang reot di dalam apartemen Algren.

Kisah cinta Beauvoir dan Algren sebenarnya tak kalah menarik dibanding Beauvoir dan Sartre. Kata Bu Anggi, kalau Sartre adalah kekasih intelektual, Algren adalah kekasih bucin-nya Beauvoir.

Pernyataan Bu Anggi tentu cukup beralasan. Terlebih jika kita membaca surat tertanggal 19 Juli 1948 di mana Beauvoir menulis untuk Algren:

Vous devez comprendre, Nelson, je dois être sûre que vous comprenez bien la vérité : je serais heureuse de passer jours et nuits avec vous jusqu’à ma mort, à Chicago, à Paris ou à Chichicastenango, il est impossible de ressentir plus d’amour que je n’en ressens pour vous, amour du corps, du cœur et de l’âme. Mais je préférerais mourir plutôt que de causer un mal profond, un tort irréparable à quelqu’un qui a tout fait pour mon bonheur. Kau harus tahu, Nelson, aku yakin kau benar-benar paham kenyataan ini: bahwa aku akan sangat bahagia menghabiskan siang dan malam bersamamu sampai mati. Di Chicago, Paris, atau Chichicastenango. Tak mungkin aku bisa merasakan lagi cinta yang sama seperti cinta yang kurasakan padamu, kekasih tubuh, jiwa, dan ragaku. Tapi, aku lebih baik mati daripada melukai dan menimbulkan sakit tak terobati untuk seorang yang mau melakukan apapun demi kebahagiaanku.

Hubungan Beauvoir, Sartre, dan Algren adalah hubungan yang rumit. Di satu sisi, Beauvoir begitu mencintai Algren dan bahkan kerap bercerita padanya tentang sisi buruk Sartre. Termasuk perihal buruknya Sartre di atas ranjang—hal yang juga diakui Sartre dengan ungkapan «je faisais l’amour souvent, mais sans un très grand plaisir» dan « J’étais plutôt un masturbateur de femmes qu’un coïteur. ». “Aku sering sekali bercinta, tapi tanpa gairah yang besar-besar amat. Dan aku lebih sering memasturbasi perempuan daripada mempenetrasinya”.

Namun di sisi lain, Beauvoir tetap menolak pinangan Algren untuk menjalani hubungan tradisional—menikah dan berkomitmen pada satu pasangan. Pada akhirnya, Beauvoir lebih memilih Sartre dan enggan berkhianat meskipun dalam surat yang sama, Beauvoir juga menulis “je ne l’aimais plus d’amour”. “Cintaku pada Sartre sudah tak ada lagi”.

Yang kemudian jadi pertanyaan, bagaimana Sartre menyikapi hubungan ganjil tersebut?

Jawabannya: Sartre mah sebenarnya biasa-biasa aja.

Mengapa? Sebab…

IV. Bianca Lamblin

Sedari mula, akar dari segala hubungan yang rumit ini adalah ‘aturan main’ yang ditawarkan Sartre kepada Beauvoir.

1 Oktober 1929 saat Sartre menyatakan cinta di Jardin de Luxembourg, Sartre mengusulkan perjanjian cinta yang disebutnya “cinta esensial”. «Sans institution, sans mariage, dans une liberté mutuelle et dans le souci de translucidité ». “Sebuah hubungan yang bebas institusi, tanpa pernikahan, dalam kebebasan yang setara, tanpa ada yang ditutup-tutupi”.

Lebih jauh lagi, mereka boleh punya selingkuhan, tetapi harus berterus terang dan menceritakan dengan detil setiap tindak dalam hubungannya. Perjanjian inilah yang di kemudian hari menyeret banyak sekali nama yang terlibat dalam hubungan Sartre dan Beauvoir.

Tak cuma Nelson Algren, Beauvoir juga pernah menjalin hubungan dengan Claude Lanzmann, Fernando Gerassi, Arthur Koestler, René Maheu, dan Olga Kosakiewicz. Sementara Sartre justru lebih banyak lagi. Ia pernah berselingkuh dengan Wanda Kosakiewicz, Martine Bourdin, Dolorès Vanetti, Arlette Elkaïm, Michelle Vian, Évelyne Rey, Liliane Siegel, hingga Lena Zonina.

Selain nama-nama di atas, tercatat pula nama Bianca Lamblin yang saya kira merupakan orang ketiga paling kontroversial dalam hubungan mereka. Sebab, Lamblin adalah pasangan lesbian Beauvoir—ya, Beauvoir adalah seorang biseksual—sekaligus kekasih Sartre. Kisah mereka diceritakan dalam catatan yang ditulis Lamblin berjudul Mémoires d’une jeune fille dérangée (The Disgraceful Affair).

Dalam catatan tersebut, gadis keturunan Yahudi ini menceritakan relasi asmaranya dengan Sartre dan Beauvoir sejak ia masih berumur 16 dan menjadi siswi di Lycée Molière, Paris. Kala itu, Lamblin adalah murid Beauvoir di kelas filsafat. Ia begitu mengagumi Beauvoir sebagai perempuan yang brilian. Ia terutama terpesona pada cara Beauvoir mengubah sudut pandangnya tentang perempuan sebagai manusia yang juga bisa mandiri, cerdas, dan berani melawan. Lamblin bahkan mendeskripsikan Beauvoir dengan penuh kekaguman. «L’intelligence de son regard d’un bleu lumineux nous frappa dès le début », “Kecerdasan yang memancar dari mata birunya seperti menghujam sejak awal bertemu”.

Rasa kagum itu kemudian ia layangkan melalui sepucuk surat yang tanpa sangka mendapat balas. Sejak itu, mereka sering bertemu entah di kafe, taman, kantor, atau hotel, hingga akhirnya menjalin hubungan asmara. Hubungan ini terus berlanjut hingga Lamblin menjadi mahasiswi filsafat di Sorbonne di mana Beauvoir memperkenalkan Lamblin pada Sartre dan menyarankan Lamblin melakukan bimbingan dengannya.

Kesempatan inilah yang digunakan Sartre untuk merayu Lamblin dengan rentetan surat cinta yang akhirnya membuat Lamblin luluh. 

Sartre, Beauvoir, dan Lamblin menjalin cinta segitiga dengan saling terbuka sampai tahun 1940. Hubungan ini berakhir saat Beauvoir mulai merasa cemburu dan membuat kedua filsuf ini memutuskan Lamblin lewat sepucuk surat. Sepucuk surat tersebut tak hanya membuat Lamblin hancur. Ia juga mengalami depresi berat. Ia merasakan betul apa yang disebut habis manis sepah dibuang. Terlebih satu tahun sesudahnya, Lamblin dan keluarganya menjadi incaran Gestapo. Saat Lamblin meminta pertolongan pada Beauvoir dan Sartre untuk melindunginya, Lamblin bahkan tak mendapat jawaban apapun selain perasaan terhinakan. Di kemudian hari, perlakuan Sartre dan Beauvoir kepada Lamblin membuat banyak orang berpikir bahwa kedua filsuf ini cukup durjana dan mengerikan.

Sartre dan Beauvoir adalah cerita cinta ganjil yang tak ada habisnya. Namun, terlepas dari sudut pandang benar-salah atau indah-buruk hubungan mereka, yang jelas mereka telah membuktikan tiga hal. Pertama, mereka bisa memegang janji yang sejak awal telah disepakati. Kedua, mereka telah menjadi pasangan intelektual yang banyak mengubah dunia. Ketiga, hingga detik ini mereka masih bersama dan tak bakal lagi ada orang ketiga di liang lahat mereka. 

Yang jadi pikiran saya, justru teman saya yang sangat mengidolai Sartre dan Beauvoir. Sebab, saya ingat satu hal. Bahwa suatu hari, sebelum menjalin hubungan dengan kekasihnya yang sekarang, teman saya pernah menjadi korban perselingkuhan. Dan alih-alih bisa bertahan atau tumbuh bersama menjadi filsuf kondang, teman saya justru tercatat sebagai pasien langganan di klinik psikiatri.











Ini yang dulu selalu saya bayangkan ketika masih menjadi mahasiswa baru di jurusan Sastra Prancis UGM: kalau suatu hari saya bisa menjejakkan kaki di Paris, Paris yang akan saya temui adalah Paris di sore musim gugur. Cuaca dingin, angin berhembus menerbangkan daun-daun kering, lalu tulang saya mulai ngilu dan daun telinga serasa kebas. Tapi segera saya mencari kafe tepi jalan, memesan kopi dan croissant, lalu menghangatkan tubuh sambil mendengar lagu-lagu jazz bistro. Di sudut utara, Eiffel tampak begitu megah dengan balutan lampu kuning yang menyala.
Tapi Paris semacam itu hanya ada di imajinasi anak bawang yang masih percaya pada leaflet biro pariwisata atau terpesona pada foto-foto di buku Écho—modul kuliah mahasiswa Sastra Prancis semester awal.
28 Agustus 2019, akhirnya saya benar-benar sampai di Paris. Tapi Paris yang saya jejaki ternyata jauh dari kota nan megah yang membawa perasaan sendu. Saya tiba di kota ini saat musim panas dengan suhu udara hingga 32 derajat celcius. Terik. Gerah. Tubuh saya lengket setelah 19 jam perjalanan tanpa mandi.
Dari Bandara Charles de Gaulle, saya dijemput Hasbi—teman yang tengah menempuh Master Arkeologi di Université Panthéon Sorbonne. Setelah sejenak bersapa dan saling menanyakan kabar, Hasbi langsung mengingatkan saya untuk selalu waspada selama berada di Paris. Ia lalu mengajak saya naik kereta jaringan RER (Réseau Express Régional) menuju tempat tinggalnya di Courcouronnes, daerah pinggiran Paris.
“Gus, hati-hati. Banyak orang brengsek di Gare du Nord. Dompet, HP, amankan. Banyak jambret terorganisir lo”, ujarnya. Lalu ia menambahkan, “Kalau kowe minta tolong polisi, paling mereka juga bodo amat”.
Stasiun-stasiun kereta di Paris memang jauh dari kesan indah. Gare du Nord, misalnya, stasiun yang terletak di terowongan bawah tanah ini tak cuma sumpek dan remang-remang, tapi juga bau pesing. Sampah dan puntung rokok bertebaran. Dinding-dinding stasiun penuh coretan pilox asal-asalan. Terkadang ada pengemis yang tidur begitu saja di tepi jalan.



Sepanjang perjalanan menuju Courcouronnes, saya melihat Paris sebagai kota yang sesak sekaligus sangat plural. Dalam gerbong kereta yang kami tumpangi saja, sebagian besar orang yang duduk di dalamnya bukanlah orang kulit putih Eropa. Di kursi samping kami, pemuda keturunan Maghreb bersebelahan dengan pekerja keturunan Afrika Hitam. Seorang perempuan kulit hitam di belakang kami mengenakan Buba, Iro, dan Gele—blouse, sarung, dan penutup kepala khas Afrika Barat dengan warna-warna menyala. Perempuan berhijab keturunan Tunisia berwajah muram sambil menelfon seseorang. Tepat di depan kami bahkan duduk seorang Ibu berwajah India. Nampak pula dua orang Asia bermata sipit dan berkulit kuning langsat—salah satunya adalah saya.
Prancis memang terkenal sebagai negara yang dihuni banyak warga keturunan imigran. Berdasarkan data yang dihimpun INSEE (Institut National de la statistique et des études économiques) tercatat bahwa pada tahun 2015 terdapat 7,3 juta warga negara Prancis yang mempunyai setidaknya satu orang tua imigran. Artinya, 11 % dari warga negara Prancis adalah warga keturunan imigran.
Membludaknya jumlah keturunan imigran ini bukannya tidak membawa masalah. Dewasa ini, meskipun sebagian besar dari orang non-kulit putih tersebut sudah berkewarganegaraan Prancis, mereka seringkali tak bisa sepenuhnya diterima sebagai orang Prancis. Banyak di antara mereka yang mengalami diskriminasi rasial dan terutama kesulitan dalam memperoleh akses kerja maupun layanan publik. Alhasil, fenomena ini memunculkan banyak masalah seperti pengangguran maupun kriminalitas. 
Sejarah mencatat bahwa imigran memang bagian tak terpisahkan dari negeri Prancis. Bahkan, berbicara tentang sejarah imigran berarti berbicara tentang sejarah negeri ini. Para imigran sudah didatangkan ke Prancis sejak paruh kedua abad 19. Pada periode ini, para imigran didatangkan dari negeri-negeri tetangga di Eropa maupun negara-negara jajahan Prancis di dengan tujuan memperkuat militer Prancis untuk Perang Dunia. Namun puncak dari kedatangan para imigran terjadi pasca Perang Dunia II, tepatnya sepanjang periode Les Trentes Glorieuses (30 tahun kejayaan) alias periode kemajuan gila-gilaan ekonomi Prancis sepanjang 1945-1975. 
Pada periode tersebut, Prancis tengah mengalami kemajuan industrialisasi yang luar biasa. Sayangnya, kemajuan ekonomi tersebut tak dibarengi dengan naiknya jumlah penduduk. Hal ini adalah dampak dari Perang Dunia II yang telah memakan korban jiwa sangat besar dan membuat angka pertumbuhan penduduk sangat lambat. Bahkan di masa baby booming, pertumbuhan penduduk Prancis hanya ada di angka 1 %. 
Demi mencukupi jumlah pekerja sekaligus memperbaiki populasi negara, Prancis pun perlu menerapkan suatu kebijakan pro-imigran. Maka tercetuslah kebijakan regroupement familial, yaitu suatu prosedur yang mengizinkan seorang pekerja imigran untuk mengajak anggota keluarganya menetap di Prancis dan memperoleh kewarganegaraan Prancis dengan lebih mudah. Kebijakan ini membuat ratusan ribu orang khususnya dari Benua Afrika berduyun-duyun datang, berkeluarga, dan beranak-pinak hingga saat ini telah sampai pada keturunannya yang ketiga, keempat, atau bahkan lebih.
Saat ini, kebanyakan keturunan imigran selalu dihinggapi berbagai stereotip negatif. Keturunan imigran Afrika Hitam biasanya dianggap biang kerok segala bentuk kriminalitas, mulai dari penjambretan, pencurian, hingga gembong narkoba. Keturunan Maghreb kerap dicurigai teroris atau seksis—genit dan senang goda sana-sini. Sementara keturunan Asia khususnya yang punya mata seperti Jet Li, justru kerap dianggap keturunan orang berduit. Alhasil, mereka kerap jadi korban pencopetan—saya kira ini yang paling naas.
Apa yang disebut Hasbi sebagai kumpulan orang-orang brengsek di Gare du Nord, bisa jadi merujuk pada sekumpulan orang keturunan Afrika Hitam yang terlihat dominan di area ini. Saya sebenarnya menolak untuk percaya pada segala bentuk stereotip. Bagi saya, stereotip adalah omong kosong yang bermain dengan cara pukul rata. Namun entah mengapa, kali ini saya merasa begitu cemas ketika melihat tiap sudut stasiun. Ada semacam rasa kalut yang oleh orang Jawa disebut spaneng.
Sepanjang perjalanan di dalam kereta yang pengap, saya merasakan betul perasaan terasing seperti yang dituliskan Emmanuel Dongala di cerpen Kereta Hantu. Orang-orang seakan menjadi berbahaya. Tiap gerak-gerik kecil terasa mencurigakan. Tiap tatapan mata yang bertemu seperti sinyal untuk menerkam.
Pikiran-pikiran negatif berjejal dan salah satu yang terbersit adalah perasaan nelangsa karena tak bisa menonton Gundala. Sebagai penggemar fiksi superhero yang bahkan mencantumkan lambang Konoha di tanda tangannya, melewatkan mahakarya film jagoan dari negeri sendiri adalah bentuk kesialan dan ironi. Seandainya saya punya kekuatan super, barangkali saya tak akan sekhawatir ini. Sejak dulu, saya ingin menjadi superhero dengan kekuatan yang saya peroleh secara sederhana namun penuh kearifan lokal, mungkin karena minum jamu kunir asem atau mungkin karena disosor soang.
Lamunan itu secara tak terasa telah membawa saya tiba di Courcouronnes dan membuat saya sadar kalau perut sudah keroncongan. Rasa was-was ternyata melelahkan dan cukup menguras energi. Beruntung Hasbi peka dan segera mengajak saya untuk makan malam. Yang sialnya, membuat ekspektasi lama tentang romantisme Prancis semakin remuk redam.
Hari ini saya tak minum kopi seperti Para filsuf eksistensialis di café littéraire. Saya hanya makan kebab dan minum soda 7-Up di sebuah restoran Arab yang memutar lagu-lagu Prancis dan Timur Tengah secara bergantian. Ukuran kebab di sini seperti porsi gajah. Saya tak akan lapar sampai pagi kalau bisa menghabiskannya. Isi daging cincangnya tak tanggung-tanggung. Padat, dan berminyak. Saya harus membuka mulut seperti kuda nil untuk bisa melahapnya. Itupun dengan cincangan daging yang jatuh kemana-kemana.
Namun harus diakui, meski tak romantis, kebab seharga 6,5 euro ini luar biasa sedap dan bikin super kenyang. Apalagi ketika dicocol dengan saus Algeria yang meski bentuknya seperti tahi encer manusia, tapi gurih dan cocok dengan lidah Indonesia.
Saya pun melahap ganas kebab ini sampai akhirnya benar-benar tandas. 
Sejenak kemudian, dalam suasana perut kenyang entah mengapa dunia jadi terasa padang. Saya mulai melihat sekeliling dan mengamati bahwa pelanggan restauran Timur Tengah ini bukan cuma orang keturunan Arab saja. Tapi ada orang kulit hitam, orang Asia Timur, bahkan orang kulit putih Eropa.
Orang beragam suku yang ada di sekitar saya juga nampak segar dan sumringah. Mereka saling bercerita dengan santai dan bahkan tersenyum manis sekali.
Amin Maalouf—sastrawan francophone asal Libanon—dalam bukunya Les Identités Meurtrieres pernah menyiratkan sikap optimisnya terhadap globalisasi dan pluralitas dengan mencontohkan budaya tata boga yang kini telah melampaui batas teritorial. Kata Maalouf, zaman modern ini telah memberi kesempatan bagi orang Inggris untuk dengan mudah menikmati saus mint di dalam kare, orang Prancis mulai menyukai daging kukus, atau penduduk Minsk bisa melahap hamburger.
Kebab raksasa yang hari ini dilahap manusia beragam suku di pinggiran Paris ini barangkali adalah bukti bahwa apa yang dikatakan Maalouf bukanlah pepesan kosong saja.
Keberagaman memang kerap dipandang sebagai pembawa mala. Ia selalu menyeret rasisme sekaligus xenophobia. Namun setiap orang sebaiknya juga mengakui, bahwa tanpa keberagaman, tak mungkin ada kebab seenak ini di pinggiran Paris. Tak bakal ada gol Paul Pogba dan Kyllian Mbappe di final Piala Dunia 2018. Tak mungkin pula ada penyanyi seperti Erza Muqoli yang saya yakin akan menggantikan Celine Dion di masa depan.
Pada akhirnya, kebab yang saya libas di penghujung hari membuat saya kembali pada rutinitas harian: kenyang lalu mengantuk.
Saat suhu tubuh mulai menurun, hembusan nafas semakin teratur, sementara mata makin berat untuk dibuka, tiba-tiba saya melihat sebuah negeri seperti yang dikatakan Amin Maalouf sebagai kampung global. Yaitu tempat di mana setiap orang bebas untuk melestarikan karakter tradisionalnya tanpa harus menjatuhkan karakter lain. Ada ratusan atau mungkin ribuan orang di depan saya yang berbeda baik secara fisik maupun penampilan. Dunia semarak, lanskap warna-warni, tak ada satupun raut yang kusut. Setiap orang berdamai dengan diri dan sekitarnya. Saya tak tahu apakah yang sedang saya lihat adalah Prancis, atau Indonesia, atau Vanuatu, atau Puerto Rico. Yang jelas, saya berada di sebuah ruang, di mana setiap orang tidak percaya pada segala bentuk stereotip, dan lebih percaya bahwa universalitas selalu punya harapan.




































Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ▼  2019 (17)
    • ▼  Desember (5)
      • Je pense que j'ai jamais vraiment idolâtré quelqu'...
      • Voy a utilizar este sitio web para escribir en esp...
      • Seumur-umur cuma bisa bikin susah orang tua, gilir...
      • C'est grave, jai vu le Horla
      • Trop de charges. Je veux que dormir 6 à 8 heures s...
    • ►  November (1)
      • Y a un moment dans la vie lorsqu'on est si doulour...
    • ►  Oktober (2)
      • Menggunjingkan Asmara Sartre dan Beauvoir di Depan...
      • Seperti Kebab di Paris
    • ►  Mei (1)
      • Semarang-Ambarawa
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (4)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2015 (42)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (68)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember (9)
    • ►  November (13)
    • ►  Oktober (15)
    • ►  September (7)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)

Copyright © 2016 bagus panuntun. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018