Situ Galian C dan Sobrat

Di ujung utara Desa Tanjungwangi, tepatnya di Dusun Pangkalan, terdapat sebuah genangan air besar yang orang-orang sebut sebagai Situ Pangkalan. Situ ini tidak terbentuk dari peristiwa alam macam pelapukan batu, ledakan gas, atau hujan meteor. Ia terbentuk karena aktivitas tambang pasir di sekitar lokasi yang sudah berjalan selama lebih dari 20 tahun. Cekungan-cekungan yang terus-menerus digasrak eskavator, sedikit demi sedikit mulai terisi oleh air hujan, belokan air sungai, dan aku yakin keringat, air kencing, juga air mata para tukang gali yang dibayar murah setelah kerja 12 jam/hari.

Hari ini setelah mengelilingi dusun demi dusun untuk memantau program budidaya pepaya Callina yang tengah dilaksanakan 5 kelompok petani, saya bersama Mas Rifai, Tuan Karsoma, Tuan Oyang, dan Ibu Imas menyempatkan barang 10 menit untuk berswafoto di depan situ.

Ketika kelar berswafoto dan mengamati aktivitas para buruh tambang dan beberapa bego yang tak henti-henti mengeruk tanah, tiba-tiba saya teringat pada sebuah teater berjudul Sobrat. 4 tahun lalu ketika masih menempuh sarjana di UGM, saya menonton naskah ini dipentaskan oleh Teater Kami Bercerita dari jurusan Sastra Indonesia. Naskah yang ditulis Arthur S. Nalan dan memenangkan sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta 2003 ini berkisah tentang Sobrat, seorang buruh tambang emas yang terikat perjanjian dengan Iblis dan mendadak berlimpah harta.

Latar kisah Sobrat terjadi di masa kolonial di sebuah tambang emas yang disebut Bukit Kemilau. Sobrat adalah buruh perantauan yang dikenal berbudi baik, pekerja keras, dan setia kawan. Ia merantau dengan motivasi utama untuk membahagiakan orang tua sehingga pantang pulang sebelum sugih.

Naas, kehidupan di Bukit Kemilau justru memperkenalkan Sobrat dengan keseharian gurem para buruh yang tak bisa jauh dari perjudian dan laku semena-mena para mandor.

Suatu hari akibat sebuah pertikaian dengan para mandor, Sobrat secara tak sengaja terjatuh ke dalam sumur. Namun di dalam sumur itulah titik balik kehidupan Sobrat justru bermula.

Di bawah tanah, Sobrat bertemu gendruwi, Iblis penjaga Bukit Kemilau, yang mengajaknya membuat sebuah perjanjian. Gendruwi akan menolong Sobrat untuk kembali ke atas dan memberinya sekotak penuh emas seukuran biji-biji salak, dengan syarat Sobrat bersedia menikahi Gendruwi dan bersedia memberikan sebagian umurnya.

Teringat akan cita-cita lama menjadi kaya sekaligus kesumat yang terpendam pada para mandor (dan saya kira perhitungan masuk akal: tak ada ruginya jika ia menumbalkan sebagian umurnya karena ia akan mati hari itu juga jika menolak perjanjian tersebut) Sobrat pun menyepakati perjanjian tersebut.

Sejak detik itu, hidup Sobrat berubah 180 derajat. Dalam hitungan hari, Sobrat bisa mempermalukan para mandor dan mempunyai harta yang susah dibayangkan dimiliki seorang dari udik. Sobrat juga bisa menikahi Rusminah, gadis cantik yang sudah ia puja sejak lama.

Sayang sekali, setiap keterikatan janji dengan Iblis tak pernah membawa orang pada akhir yang baik. Di akhir cerita, Sobrat harus menumbalkan beberapa hal yang paling tak ternilai dalam hidupnya. Salah satunya adalah kehilangan suara dan pendengarannya sendiri. Sobrat menjadi bisu dan tuli.

Kisah orang yang bekerja sebagai buruh tambang dan mendadak kaya namun akhirnya harus menumbalkan beberapa hal yang dicintainya bukanlah kisah baru. Narasi bentuk ini telah berkali-kali direproduksi sejak zaman kolonial bahkan hingga detik ini.

Yang tak saya sangka, kisah semacam itu juga ada di Tanjungwangi. Dengan tokoh utama seorang yang sering saya temui.








Share:

0 komentar