NKRI (NEGARA KOPLO REPUBLIK INDONESIA) – Jilid 1
Ketika
mendengar kata koplo, maka kemungkinan besar ada 2 hal yang akan
segera terbersit di pikiran kita. Yang pertama, koplo yang dimaknai
sebagai butiran pil yang jika diminum akan menimbulkan efek asolole,
kepala puyeng tapi seneng. Sebut saja ia sebagai “pil pelarian",
karena siapapun yang meminumnya maka sejenak ia bisa lari menuju
dunia lain diluar realitanya. Lalu kemungkinan kedua, kata koplo
telah terkonotasikan sebagai sebuah genre musik dangdut gaya baru.
Yaitu genre musik dangdut yang dipopulerkan oleh orkes-orkes melayu
Jawa Timuran, misal OM SERA, OM PALAPA, dan sebagainya. Masih memakai
gendang memang, tetapi dangdut koplo lebih identik dengan biduan
wanita dengan pakaian sexy warna mencolok. Juga dengan jenis-jenis
goyangnya mulai dari goyang ngebor, goyang dribble, sampai ngebor
sambil dribble. Bukak sitik joss !
Dari
terminologi yang sama namun menghasilkan 2 makna berbeda tersebut,
sebenarnya ada hal yang sangat menarik untuk diamati secara lebih
mendalam. Jika kata koplo yang menjadi “ngoplo” secara verba/kata
kerja berarti adalah tindakan meminum pil sebagai upaya untuk lari
dari realita yang ada – entah untuk alasan ekonomi, family, atau
percintaan -, menurut saya kata “koplo” dalam musik dangdut juga
cocok diartikan sebagai upaya pelarian diri musik dangdut dari
realita yang ada. Singkatnya jika manusia ngoplo, dangdut pun bisa
ngoplo. Keduanya sama-sama mencoba lari dari realita yang ada pada
suatu ketika. Mari kita kupas secara lebih mendalam.
Musik
dangdut, awalnya adalah musik melayu yang terpengaruh oleh berbagai
macam kebudayaan dunia. Musik ini banyak terpengaruh oleh musik
india, khususnya yang masuk ke Indonesia melalui film-film Bolywood,
dan juga terpengaruh oleh musik arab yang masuk ke Indonesia melalui
musik Qasidah. Dari segi instrumen, musik dangdut memadukan berbagai
alat musik modern seperti keyboard, gitar, saxophone, dan dipadukan
dengan kendhang sebagai perkusinya. Genre musik ini mulai dikenal
pada tahun 1960-an, namun kala itu belum ada istilah dangdut. Semua
musisi di masa itu masih menyebut mereka sebagai musisi Orkes Melayu.
Baru pada tahun 1972, istilah dangdut muncul ke permukaan melalui
cerpen karya Billy Sukabumi. Istilah ini dipilih oleh Billy untuk
mengejek orkes melayu yang terkesan monoton dan hanya mengeksplor
bunyi ndhang dan dhut pada instrumen kendhang. Tanpa
disangka, justru istilah dangdut inilah yang kemudian bisa menjadi
branding dari musik ini dan dikenal hingga hari ini.
Tahun
70-an juga menjadi sejarah besar bagi musik dangdut dengan munculnya
Mahaguru Sang Baginda Raja Dangdut Rhoma Irama. Bung Oma bersama grup
SONETA-nya memberikan kesegaran baru bagi musik dangdut. Dengan
banyak memasukkan unsur ROCK ke dalam orkes melayu, dangdut grup
SONETA kemudian meledak di pasaran dan digemari masyarakat.
Bung Oma pun menjadi ikon di tahun-tahun tersebut. Dengan kesyahduan
musik dan iramanya, dangdut menjadi musik yang dibangga-banggakan
masyarakat Indonesia. “Dangdut is the music of my country”,
jargon yang dulu sering kita dengar dimana-mana.
Sayangnya,
kejayaan musik dangdut era Bung Oma tinggallah kenangan. Seiring
dengan lunturnya kejayaan musik dangdut Bung Oma, luntur pula
keanggunan musik dangdut sebagai musik yang patut
dibangga-banggakan sebagai budaya Indonesia. Identitas musik dangdut bukan lagi terkenal dengan
irama yang syahdu, dengan lirik-lirik dakwah nan puitis, dengan nilai
estetika dan etika yang terkandung di dalamnya, namun berubah sebagai
musik pengantar tawuran. Dangdut yang awalnya digadang-gadang sebagai
“the music of my country”, kini lebih dikenal sebagai musik
SATAN, SAru dan TAwuran.
Musik
dangdut telah ngoplo.... Ia telah mencoba lari dari suatu realita
yang ada...
Kembali
pada apa yang telah dituliskan di paragraf pertama, yaitu bahwa
ngoplo adalah suatu tindakan meminum pil untuk lari dari suatu
realitas yang ada, ngoplonya musik dangdut saya rasa juga sebuah
upaya musik dangdut untuk lari dari suatu realitas tertentu. Dangdut
sebagai sebuah budaya Indonesia yang seharusnya kita banggakan,
justru makin hari makin dimetaforkan sebagai musik pinggiran, musik
wong cilik, atau yang lebih kejam adalah “musik ndeso”. Alih-alih menjadi
bagian dari masyarakat yang nguri-uri budaya yang luhur ini, kita
justru dengan ikhlas lillahi ta’ala mendesokan budaya-budaya
kita.
Menanggapi keadaan masyarakat yang terus memojokkannya pun, dangdut mulai mencari alternatif lain. Ia telah makin dilupakan, ia makin tak dihargai, ia makin dipandang sebelah mata, maka segera ia ngoplo untuk lari dari realitas yang ada. Identitas musik dangdut yang awalnya penuh nilai estetika dan etika telah bergeser. Identitas musik dangdut yang kini adalah rok mini, goyang dribel, dan lirik-lirik seperti yang dinyanyikan adik-adik kita yang masih SD, pokoke njoget pokoke njoget pokoke njoget ! Ora ngerti lagune, ora ngerti syaire, sing penting aku njoget wae... Bukak sithik dab.....
Menanggapi keadaan masyarakat yang terus memojokkannya pun, dangdut mulai mencari alternatif lain. Ia telah makin dilupakan, ia makin tak dihargai, ia makin dipandang sebelah mata, maka segera ia ngoplo untuk lari dari realitas yang ada. Identitas musik dangdut yang awalnya penuh nilai estetika dan etika telah bergeser. Identitas musik dangdut yang kini adalah rok mini, goyang dribel, dan lirik-lirik seperti yang dinyanyikan adik-adik kita yang masih SD, pokoke njoget pokoke njoget pokoke njoget ! Ora ngerti lagune, ora ngerti syaire, sing penting aku njoget wae... Bukak sithik dab.....
Kalau mau diakui, sebenarnya
kekejaman metafor ini sudah sejak lama kita lakukan terhadap
kebudayaan-kebudayaan kita. Sujiwo Tejo pernah dalam suatu pidatonya
memprotes peletakan album-album musisi batak, ambon, dsb yang justru
diletakkan di rak lagu daerah, sedangkan rak-rak lagu nasional hanya
diisi oleh band-band pop Indonesia. Menurutnya, bangsa ini adalah
bangsa yang minder sehingga kita tidak berani meletakkan budaya kita
ke tengah, melainkan menyingkirkannya ke pojok-pojok nan gelap dan sepi.
Maka
dari kisah ngoplonya dangdut ini, seharusnya kita bisa lebih
merenungkan lagi apakah kita sudah benar-benar menghargai
budaya-budaya Indonesia atau justru sebaliknya, kita lah yang setiap
hari makin menyingkirkan mereka.
Dan
jika ternyata kita makin tidak peduli dengan pentingnya nguri-uri
budaya, mungkin esok bukan hanya dangdut yang mengubah identitasnya dengan mengoplo. Keroncong jadi keroncong koplo, gamelan jadi gamelan
koplo, dan mungkin fenomena koplo juga akan merambah ke budaya lain
selain musik. Tari kecak koplo, batik koplo, rendang koplo, sampai
akhirnya Negara Kesatuan berubah jadi Negara Koplo. NKRI (Negara
Koplo Republik Indonesia).
0 komentar