SUPERBIA IN CULTURA
Siapkan mental dulu, narasi ini
mayan baper.
“Porsenigama ibarat La Liga. Vokasi dan Teknik itu Barca Madrid nya. Nah dewe iki Levante, kok ujug-ujug meh dadi juara 3?”
Saya mencoba kembali ke sekitar 2
bulan lalu ketika saya dan M Nashiruddin AlMuzakki Amri berdiskusi untuk
membahas soal porsenigama. Saya hanya menargetkan menteri Minat dan Bakat LEM
ini supaya bisa menambah kuantitas kontingen FIB di Porsenigama, sudah itu
saja. Dengan adanya 26 cabang yang dilombakan, setidaknya kita bisa mengikuti
20 cabang. Hal ini mengingat tahun-tahun sebelumnya paling kita hanya mengirim
sekitar 10 cabang lomba saja (atau malah kurang?).
Kami sepakat untuk mengajak
kawan-kawan Sastra Kanuragan, Kapalasastra, Sastra Budaya, Paramadaya, Bejo
Mulyo, Lincak, dan Terjal untuk bekerja sama menjadi pengurus inti porsenigama
FIB. Tahap berikutnya kita mencoba mengumpulkan seluruh ketua HMJ supaya
melakukan pendaftaran kontingen melalui 3 tahap. Tahap pertama adalah open recruitment, tahap kedua adalah close recruitment, dan ketiga adalah tahap survey. Oprec ditujukan untuk mereka yang mampu dan
mau menjadi kontingen, closrec untuk mereka yang mampu tetapi enggan
bergabung, sedang survey ditujukan untuk mereka yang
mungkin mampu dan mau tapi tidak tahu. Dengan 3 tahap ini, ternyata tanpa
disangka kita bisa mengirimkan 24 dari 26 cabang yang dilombakan.
Berpijak dari bertambahnya jumlah
kontingen Ilmu Budaya, pada suatu rapat Zakky berkata pada seluruh perwakilan
HMJ BSO bahwa ia punya target masuk 5 besar. Ucapan Zakky disusul dengan tawa
seluruh kontingen, bahkan saya dan Zakky pun ikut tertawa seolah memang
perkataan tersebut tak lebih dari humor dan penghibur semata. Maklum memang,
tahun lalu kita hanya berada di peringkat 13 dengan perolehan 3 emas dan 1
perunggu. Tahun-tahun sebelumnya? Ya hampir sama lah. 13-14.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari
pembukaan Porsenigama tiba. Hari itu perwakilan kontingen FIB dan Sastro
Conthong hadir ke lapangan pancasila UGM. Kami mencoba hadir sesuai tagline
Sastro Conthong “SUPERBIA IN CULTURA” yang awalnya dicetuskan oleh Icang
Sinambela. Hari itu kami memakai batik untuk hadir di upacara pembukaan. Siang
itu matahari sangat terik. Bayangkan saja, panitia menyuruh seluruh peserta
untuk melaksanakan seremonial pada angka 2 siang. Akan tetapi, entah energi apa
yang kala itu membuat kami dari Ilmu Budaya tetap berani turun ke lapangan
sebagai yang pertama. Sepertinya dengan berbatik dan tentu saja menjadi paling
berbeda dibanding kontingen lainnya – yang rata-rata berkaos satu warna -,
semangat kami menjadi terpacu dan ingin menunjukkan “IKI LHO SASTRA, KAMI
BUDAYA DAN KAMI BANGGA !”
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Porsenigama
memasuki masa penutupan. Tak disangka selama perhelatan tersebut, FIB sama
sekali tak pernah turun dari posisi 5 besar. Emas pertama dari cabang monolog
membuat kami terus mapan di papan sebelah kiri. Berikutnya tanpa
disangka-sangka kami meraih medali-medali lain dari cabang-cabang yang tak
terduga. Memang, sebagian besar cabang yang kita ikuti tahun ini adalah
cabang-cabang yang baru pertama kali kita ikuti, hal inilah yang membuat kita
buta untuk memetakan kekuatan kontingen kita sendiri. Kejutan demi kejutan pun
datang. Sepakbola, tim yang dipimpin Pak Khusnul dan sudah absen partisipasi
sejak lama, berhasil masuk semifinal. Meskipun gagal juara, tim sepak bola
berhasil menyumbang perunggu. Tim basket Putra juga menyusul menyumbang 1
perunggu. Berkuda bahkan berhasil menyumbang perunggu, satu cabang yang saya
sendiri tak mengira FIB akan mengikutinya. Cabang bela diri menjadi pahlawan
dengan memberikan emas, perak, dan perunggu yang jumlah yang cukup banyak.
Belum lagi tambahan emas dari tari tradisional, renang, dan juga atletik.
Total, sehari sebelum penutupan FIB menduduki peringkat 4 dengan 10 emas, 5
perak, dan 9 perunggu. Tertinggal dari Fisipol dengan 10 emas, 6 perak
dan 7 perunggu.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Selisih 1 perak dengan peringkat 3 FISIPOL membuat kami masih sedikit
berharap bahwa dari 1 cabang terakhir yaitu fotografi, bisa meraih medali
minimal perak. Hingga akhirnya inilah yg saya temukan di akun line Porsenigama,
tepat di hari terakhir Porsenigama:
Gusti Allah ! Sejarah baru terukir ! Tak hanya masuk 10
besar dan 5 besar, tetapi dengan puitisnya kita nikung fisipol di hari akhir
Porsenigama. Euforia pun menyesaki rongga dada kami. Dengan segera kami
berkordinasi supaya pada malam penghargaan juara umum, gelanggang FIB akan
diisi oleh pasukan FIB. Jarkom segera diluncurkan melalui berbagai akun media
sosial. Di tanggal 5 bakda Isya kita akan longmarch menuju gelanggang dengan
panji-panji Sastro Conthong, bendera Jurusan, dan juga berpakaian Batik. SUPERBIA
IN CULTURA, BANGGA DALAM BUDAYA !
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kami menjadi pasukan yang datang paling awal di gelanggang.
Angkringan gratis dan kerinduan akan kebersamaan menjadi motivasi tersendiri
yang membuat kami rela menghabiskan malam minggu secara beramai-ramai. Belum
pukul 8 malam, angkringan gratis sudah hampir habis dilahap para pasukan Sastro
Kencot, eh Sastro Conthong. Kita jadi yang paling kompak. Kami berteriak setiap
kali nama FIB disebutkan. Teriakan kami bahkan tidak kalah dengan ratusan anak
Vokasi yang malam itu datang untuk merayakan keberhasilan mereka mengamankan
juara umum 3 kali berturut-turut. Sayangnya acara malam itu – kalau tak boleh
dibilang gagal – sangat kurang baik dalam pelaksanaannya. Alih-alih menghargai
para atlit dengan mengutamakan membacakan nama pemenang, penonton justru lebih
disuguhi banyak sekali penampil di panggung, belum lagi dengan waktu cek sound
penampil yang memakan waktu puluhan menit.
Pukul 11 malam dan pembacaan juara tak kunjung dilakukan.
Pasukan Ilmu Budaya mulai pulang satu persatu. Saya, Zakky, dan Al sempat
memanggil seksi acara panitia dan ingin mendengar mengapa jadwal acara bisa
sekacau ini. Panitia hanya minta maaf dan menyuruh kami sabar menunggu. Zakky
dengan cukup emosi pun memberikan saran supaya panitia mengubah rundown dari
yang awalnya menampilkan Plenthong Konslet lalu pembacaan juara, diubah menjadi
pembacaan juara barulah ditutup dengan Plenthong Konslet. Entah bagaimana
sehingga kami yang hanya penonton ini bisa protes sedemikian rupa. Haha..
Tetapi ternyata protes kami cukup efektif dan panitia ikut dengan saran kami.
Penonton sudah mulai sepi memang. Tetapi sepertinya masih
ada lebih dari 20 mahasiswa FIB yang setia menunggu penyerahan piala umum juara
3 Porsenigama. Yanie Srikandi dari Sastro Conthong maju kedepan untuk pertama
kalinya. Gagal total, ia ingin mengajak kami bernyanyi dengan keras tapi
suaranya sendiri sudah lemas. Akhirnya saya dan Zakky ikut maju untuk menerima
Piala dari Pak Senawi. Saya merinding, tangan saya bergetar menerima piala 3
besar ini. Meskipun sepertinya sepele, bagi saya piala ini adalah simbol dari
perjuangan, kebersamaan, dan tentu saja kepedulian dan cinta yang membuat kami
bisa bangkit dari berbagai keterpurukan.
Duma, Kevin, Dela, Okta, Yani, Raka, Kukuh, Aldi, Farizan,
Onah, Itok, Anas, Af, Al, Hamima, dan beberapa anak lagi menyusul kami ke depan
panggung sambil membawa panji-panji jurusan dan Sastro Conthong. Kami menaruh
piala di tengah dan kami saling berpeluk, membentuk lingkaran dan mengitarinya.
Diiringi musik rock etnik dari Plentong Konslet kami berputar dan berteriak
“SASTRA BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN, SASTRA BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN, SASTRA
BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN !”. Galuh dan Irfan sibuk mendokumentasikan moment
tersebut. Kami berteriak dan berjoget bersama. Luwehhhh... Apa kata dunia, yang
jelas kami bahagia bisa bersama merayakan hasil kerja sama kita. Ilmu Budaya
hadir dan ada, kami Sastra, kami Budaya, dan kami Bangga !
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Acara perayaan telah selesai, Porsenigama resmi ditutup.
Satu persatu keluar dari gelanggang dan tak disangka Mas Sus, Kanit
Kemahasiswaan FIB masih menunggu di depan untuk menyelamati kami. Kami
menguasai area photobooth. Kami pun berfoto bersama.
Mas Sus tiba-tiba menghampiri saya, lalu ia memanggil anak
dokumentasi “Cah, tolong fotoke aku karo Bagus, mumpung Bagus durung dipecat”.
Bagus Panuntun
dokumentasi:
0 komentar