#SAVEBONBIN #RENOVASIBUKANRELOKASI

Tulisan ini hanya sedikit tambahan untuk tulisan Aslam yang dimuat di Bangsa Mahasiswa.




Kebetulan pada hari itu (Rabu, 23/12/2015) saya juga ikut bertemu dengan Pak Tukino dan kami banyak bercerita tentang sejarah berdirinya bonbin. Pada dasarnya, bonbin awalnya dibentuk untuk merelokasi pedagang kaki lima yang ada di 9 titik UGM. Kebijakan ini dikeluarkan oleh Prof. Koes, rektor UGM kala itu (tahun 1987). Bonbin ini adalah implementasi dari visi ekonomi kerakyatan yang konon menjadi salah satu fokus Prof.Koes dalam menjalankan kepemimpinannya di kampus Gadjah Mada. Konon, memang bukan hal yang terlalu mengejutkan jika Prof.Koes mengeluarkan kebijakan-kebijakan semacam itu pada masanya. Menurut Pak Tukino sendiri, Prof.Koes itu tidak bisa dipisahkan dengan kata kerakyatan. "Dulu kalau UGM ada acara-acara besar, acara makan, saya ini sebagai pedagang selalu diundang lho. Sudah seperti saudara dengan beliau", ujar Pak Tukino menarasikan kedekatannya dengan Profesor yang dikenal sebagai penggagas KKN (Kuliah Kerja Nyata) UGM.

28 tahun berlalu. Beda pemimpin, maka beda pula arah dan visinya. Rektorat dalam rangka mewujudkan cita-cita membangun kampus Edukopolis-  yaitu kampus yang hijau dan segar  sehingga mendukung proses pembelajaran - berniat memindahkan 12 pedagang bonbin ke Lembah UGM. Dalam rangka menghijaukan kampus, bangunan bonbin yang "suram" perlu untuk dihilangkan dari lingkungan Humaniora.

Keputusan ini sudah tentu ditolak oleh pedagang bonbin yang disamping khawatir akan berkurangnya rezeki, juga merasa belum dilibatkan untuk bermufakat perihal relokasi.

Bagaimana tanggapan para mahasiswa? Saya yakin, sebagian besar dari kita - utamanya anak Soshum - pasti keberatan kalau kantin bonbin direlokasi. Kenapa? Hla.. sejarah dan romantisme yang ada di kantin ini nggak ada tandingnya di jagad perkuliahan anak soshum je.. Mulai dari diskusi serius perihal teori-teori postmo, debat tentang khilafah yang konon bisa jadi solusi untuk semua permasalahan, hingga obrolan gosip murahan pinggir kampus, semuanya dilakukan sambil nyeruput kopi di kantin ini.

Romantisme ini lah yang kemudian coba dirayakan beberapa kawan melalui karya-karyanya, misal SEKOTENG FIB dengan pentas Romantisme Bonbin, DIAN BUDAYA yang menulis feature perihal romantisme dari sudut pandang pedagangnya, hingga Kukuh yang mencoba menuangkan di Buah Pena perihal obrolan singkatnya dengan Mas Edmar, seorang lelaki muda yang mengaku mendapat banyak  kawan dan sudut pandang baru dari kantin Bonbin.

Namun saya rasa Bonbin bukan hanya sekedar romantismenya. Lebih dari itu, monumen ini adalah penanda dari visi kerakyatan yang dulu Prof. Koes dengungkan. Jikalau romantisme sudah dianggap usang, Apakah visi kerakyatan juga sudah usang dibanding visi untuk membangun, membangun, dan terus membangun?

Saya rasa di titik ini keberpihakan jelas diperlukan. Kali ini yang kita perjuangkan bukan sekedar urusan perut dan makan, tapi (lagi-lagi) nilai kerakyatan yang dulu terus coba Prof. Koes perjuangkan.

Keterlibatan ini sama sekali bukan wujud kedurhakaan pada almamater tercinta, inilah wujud kepedulian kami pada yang namanya nilai kerakyatan.

Jikalau menolak Bonbin dipindahkan, apa solusinya?

Jika kita lihat secara garis besar, sebenarnya ada dua subjek utama  dalam kasus Bonbin yang masing-masing memiliki kepentingan berbeda. Pihak pertama adalah Universitas dengan obsesinya menjadi kampus edukopolis, sedangkan pihak kedua adalah pedagang yang mana mengandalkan berjualan di bonbin sebagai penunjang hidup.

Menurut saya, solusi terbaik dari kasus bonbin ini adalah menolak relokasi, lalu menekan pihak universitas untuk melakukan renovasi. Mengapa renovasi? Pada saat pertemuan dengan pihak direktorat Aset, Pak Henricus selaku direktur menyatakan bahwa relokasi bonbin bertujuan agar kampus bisa terlihat lebih rapi dan hijau. Pertanyaannya, apakah untuk merapikan dan menghijaukan kampus, maka satu-satunya jalan adalah dengan merobohkan bangunan Bonbin?

Saya rasa lebih masuk akal jika universitas mencoba merenovasi bangunan Bonbin supaya bisa menjadi lebih bersih, nyaman, dan tidak suram. UGM dengan ribuan sarjana arsitekturnya saya rasa tidak akan kesulitan untuk bisa merancang sebuah kantin dengan kriteria tersebut. Kalau dalam bahasanya Mas Heru Bonbin, "Kan bisa Bonbin dijadikan kantin di tengah taman?".

Apakah ini permintaan yang "nglunjak"? Saya rasa tidak. Justru solusi inilah yang akan memuaskan banyak pihak dan tidak mengundang konflik baru. Toh, kalau bicara soal dana, mau renovasi atau relokasi ke Lembah, Universitas tetap saja mengeluarkan dana. Belum lagi konflik yang pasti akan terjadi jika pemaksaan relokasi ke Lembah tetap dilakukan. Misalnya resistensi pedagang lama dan sulitnya mahasiswa untuk mengakses lembah UGM secara aman dan cepat.

Maka sekali lagi, saya rasa renovasi Bonbin menjadi pilihan yang lebih bijak dan masuk akal. Siapa yang akan diuntungkan? Pertama tentu saja pihak Universitas. Dengan memilih renovasi maka pihak universitas bisa mengimplementasikan dua visinya sekaligus, kerakyatan dan edukopolis. Yang kedua, tentu saja pedagang yang tetap bisa meneruskan mencari nafkahnya di tempat mereka sudah berpijak selama puluhan tahun.

Peran Mahasiswa dalam Kasus Bonbin

Apakah masalah sudah selesai sampai disini? Tentu saja belum. Ada satu permasalahan yang sebelumnya diangkat pihak direktorat sebagai alasan untuk merelokasi Bonbin, yaitu kebersihan Bonbin.

Dalam hal ini saya sepakat dengan pihak Universitas bahwa masalah kebersihan adalah masalah yang harus segerai kita selesaikan -- Tapi saya tidak setuju jika menyelesaikan masalah kebersihan dengan melakukan pembersihan.

Kebersihan Bonbin secara kasat mata merupakan permasalahan yang sudah sepatutnya tidak kita diamkan lagi. Maka, jikalau renovasi berhasil diwujudkan, maka peran Universitas dan mahasiswa sebaiknya tidak hanya berhenti sampai titik itu saja.

Selanjutnya, kawan-kawan Aliansi Yuparrela(wan) bisa meniru apa yang sebelumnya pernah dilakukan oleh pihak Advokasi Kemasyarakatan BEM KM, yaitu mengadakan Sekolah Pasar bagi para pedagang Bonbin. Sekolah ini merupakan pelatihan yang didalamnya berisi materi-materi penting seperti higienitas dan sanitasi makanan, manajemen penyajian, dan lain sebagainya.

Kurangnya kebersihan Bonbin juga bukan semata kesalahan pedagangnya. Selama ini disamping universitas yang kurang peduli terhadap masalah ini, mahasiswa sendiri belum memiliki kesadaran yang kuat untuk bersama-bersama menjaga kebersihan Bonbin. Terbukti dengan banyaknya mahasiswa yang meninggalkan piring kotor dan sampah plastik diatas meja, atau membuang puntung rokok di lantai. Memang luar biasa meja bonbin ini ! Bisa jadi meja, asbak, tempat sampah pula !

Maka kedepannya kampanye tentang menjaga kebersihan kantin perlu untuk digembor-gemborkan. Tak hanya digembor-gemborkan, kampanye ini perlu dinarasikan secara masif dan berulang-ulang.

Dengan terus mengawal kasus ini, setidaknya kedepannya mahasiswa tidak hanya terlibat dalam "demo" menolak relokasi bonbin, namun kita juga berusaha bertindak langsung menjadi solusi untuk persoalan kebersihan yang juga akan berdampak terhadap masa depan kita semua.


Share:

0 komentar