Belajar dari Teater Gadjah Mada: Lanjutkan Diskusi IPT

Sore kemarin tiba-tiba blog ruangtempur.blogspot.com menghadirkan sebuah tulisan baru berjudul kampus meong-meong. Blog yang dikelola oleh Bung Topik, sejarawan muda UGM yang baru lulus Sarjana tahun lalu itu menyajikan sebuah tulisan yang tak seperti biasanya. Jika di beberapa postingan terakhir, Bung Topik lebih sering membicarakan soal dunya persepakbolaan dari tanah Spanyol atau Italia, maka kali ini ia berbicara tentang isu dunia perkampusan, alias isu seputar Universitas Gadjah Mada. Ada apa gerangan?

Pada tulisan itu, Bung Topik berbicara tentang diskusi IPT (Internasional People Tribunal) 65 yang mendadak dibatalkan. Diskusi yang diadakan oleh jurusan Sejarah FIB UGM ini sedari awalnya hendak membicarakan hasil pengadilan internasional di Den Haag yang menuntut pemerintah Indonesia untuk meminta maaf pada keluarga korban pembantaian pasca tragedi G30S. Namun, alih-alih sukses terlaksana, diskusi tersebut justru mendadak dibatalkan oleh panitia, dan kabarnya pembatalan tersebut didasarkan pada desas-desus tentang keresahan “pusat” terhadap tema diskusi tersebut.

Di tulisannya, Bung Topik juga memelantingkan ingatan kita pada batalnya pentas drama bertajuk Masih Adakah Cinta di Kampus Biru yang diadakan oleh Teater Gadjah Mada akhir tahun lalu. Kabarnya, pementasan tersebut juga dibubarkan karena adanya desas-desus bahwa “pusat” merasa resah dengan poster acara yang terkesan berbau pro-LGBT.

Dari kedua kejadian tersebut, sebenarnya kita bisa menyimpulkan bahwa pembubaran kedua acara bukan dilakukan oleh “pusat”, namun murni oleh panitia acara dengan berlandaskan desas-desus tentang keresahan dari “pusat” sana. Terlepas dari benar tidaknya apakah “pusat” melarang terlaksananya acara – kayaknya sih iya, namun yang jelas dalam kasus ini kita tidak bisa menyalahkan “pusat” karena kita tak punya bukti valid seperti surat edaran, SK, atau sekedar rekaman yang bisa membuktikan kebenaran desas-desus tersebut.

Atas kejadian tersebut, sebenarnya saya sangat menyayangkan sikap yang diambil oleh Teater Gadjah Mada dan Jurusan Sejarah FIB UGM. Pembubaran acara yang didasarkan atas desas-desus bagi saya justru menjadi cerminan bahwa kita masih kurang berani dalam memperjuangkan nilai-nilai kebebasan berpendapat yang seharusnya berdiri tegak di tengah lingkungan intelektual.

Saya jadi teringat kejadian di awal tahun 2015 lalu. Ketika itu saya berada di posisi yang sama seperti kawan-kawan dari Teater Gadjah Mada dan Jurusan Sejarah FIB UGM. Ketika itu saya menjadi panitia diskusi LEM FIB UGM yang membahas tentang skripsi salah satu alumni Sastra Jepang FIB berjudul “Japan Adult Video (Studi Kasus 4 Mahasiswa UGM)”. Diskusi yang direncanakan membahas pola persebaran video porno Jepang di kalangan anak muda Yogyakarta ini ternyata menuai banyak sekali kontroversi. Bahkan misinterpretasi tetap ada meskipun kami sudah menyebarkan abstrak dari diskusi ilmiah ini. Saat itu, bukan hanya desas-desus akan keresahan rektorat yang kami dengar, namun kami juga mendengar desas-desus akan kecaman puluhan lembaga dakwah kampus, dan juga ketidaksetujuan Presiden BEM KM akan terlaksananya diskusi tersebut. Puncaknya, kami menerima surat kaleng berjudul “LEM FIB UGM Merusak Moral Bangsa”.

Bayangkan bung ! Belum genap sebulan kami menjalankan amanah baru, kami sudah dicap sebagai perusak moral bangsa ! Astaghfirullah... Dosa apa anakmu ini bunda.. sungguh saya merasa lebih kotor dibanding jilbab tanpa sertifikat halal MUI...

Namun, kala itu kami bersikeras untuk tetap melanjutkan diskusi tersebut. Nah ngapain dibubarkan? Wong kami yakin seyakin-yakinnya kok kalau materi yang akan dibahas tidak akan mengandung konten porno. Pun kami yakin kalau materi ini berisi konten pendidikan dan berdasarkan data-data ilmiah, bukan asumsi semata. Atas dasar itulah kami pancal melanjutkan diskusi dan menentang segala badai “katanya” yang kala itu sungguh kencang.

Perlu tepuk tangan pada LEM FIB UGM?

Eitss..tentu saja tidak. Karena For Your Information gaes ada yang lebih keren lho. Ternyata Teater Gadjah Mada membatalkan acara yang pertama bukan karena takut terhadap desas-desus dari “pusat” sana. Pasca pembatalan pentas yang kemudian mereka ubah menjadi panggung bongkaran, Teater Gadjah Mada langsung berkonsolidasi untuk menyiapkan sesuatu yang lebih besar.

Masih tentang interpretasi terhadap novel dan film Cintaku di Kampus Biru, kali ini Teater Gadjah Mada tak hanya siap menyuguhkan sebuah pertunjukan teater. Lebih dari itu, mereka juga sedang mempersiapkan sebuah antologi buku berjudul Masih Adakah Cinta d(ar)i Kampus Biru?. Buku ini akan berisi interpretasi dari beberapa mahasiswa dan alumni UGM terhadap keadaan UGM hari ini yang coba dibandingkan, dibenturkan, atau direfleksikan dengan keadaan UGM di dalam novel dan film Cintaku di Kampus Biru. Kapan buku tersebut terbit? Rencana buku tersebut terbit di awal minggu bulan Maret 2016. Bagaimana saya tahu informasi tersebut? Lha iya, wong saya juga kebetulan menjadi kontributor salah satu tulisan di antologi tersebut, hahahaa... * promosi






Ya, kita tentu perlu mengapresiasi langkah yang diambil Teater Gadjah Mada. Kali ini mereka ibarat Aang yang mencoba bersembunyi dari kejaran negara api di season terakhir “fire”. Kala itu Aang dikabarkan sudah mati oleh sambaran petir Azula setelah pertempuran di Ba Sing Se. Namun alih-alih kesusu menepis kabar tersebut, Aang justru sibuk berlatih pengendalian elemen api bersama Zukko di kuil naga api. Ketika tiba waktunya, Aang pun muncul dengan sebuah kejutan yang menyambar bala tentara negara api. Ia bukan lagi Aang yang hanya bisa menggunakan elemen air, tanah, dan udara. Kali ini ia mampu mengendalikan elemen api tanpa harus bersumber pada energi kemarahannya. Pengendalian api Aang adalah pengendalian api sejati yang bersumber pada nafas keberanian dan kebijaksanaannya.

Melihat apa yang dilakukan kawan-kawan Teater Gadjah Mada, sejujurnya saya berharap bahwa jurusan Sejarah FIB UGM juga akan melakukan langkah yang sama. Diskusi tentang IPT Den Haag tersebut musti diadakan di lain waktu, tentunya dengan konten dan publikasi yang lebih baik daripada sebelumnya. Hal ini akan menjadi sangat penting. Keterlibatan UGM akan isu Hak Asasi Manusia pasca G30S setidaknya akan membawa angin segar bagi kasus yang saat ini masih sulit lepas dari kebenaran tunggal versi militer dan orde baru. UGM setidaknya perlu mengambil sikap untuk ikut membela siapapun yang dirugikan pasca pembantaian 1965. Dan saya rasa diskusi inilah yang akan menjadi pemantik bagi munculnya wacana-wacana baru di UGM tentang tragedi pelanggaran HAM berat ini.

Satu hal yang perlu digarisbawahi, sejarah telah membuktikan kalau UGM juga terlibat dalam salah satu genosida terkejam di abad 20 ini. Temuan dari Abdul Wahid,, dosen sejarah UGM, setidaknya menunjukkan bahwa pembunuhan pasca G30S tidak hanya membuat ribuan nyawa tak bersalah melayang, ribuan wanita dipekosa. Namun juga ribuan pemuda dengan ideologinya yang kritis disingkirkan dari lingkungan intelektual.  Hasil temuan dari Abdul Wahid menunjukkan bahwa sepanjang 1965-1966 ada lebih dari 3000 aktivis kampus UGM berhaluan kiri di screening untuk kemudian ditahan, diasingkan, bahkan dibunuh. Hal inilah yang bisa jadi membuat kampus UGM hari ini hampir tak ada bedanya dengan kampus-kampus orang berdasi. Pembunuhan di tahun 1965-1966 ternyata bukan hanya sebatas pembunuhan fisik saja, namun juga pembunuhan ideologi anti kapitalis. Maka dengan terlibatnya UGM secara langsung dalam genosida ini, bukankah UGM wajib mengobati borok masa lalunya dengan ikut terlibat dalam proses rekonsiliasi? Atau jangan-jangan UGM tak ada beda dengan para pembunuh di film Senyap yang dengan entengnya berkata “Tak ada gunanya mengungkit-ungkit masa lalu” ?

Ah sepertinya saya terlalu ngarep sama UGM nih. Tapi seandainya UGM tak mau mengambil sikap atas isu ini dan memilih diam, setidaknya kita semua mau belajar dari mantan wakil rektor Universitas Paramadina awal tahun 2000 an. Beliau adalah Utomo Dananjaya atau akrab disapa Pak Tom. Pak Tom, sahabat dari Cak Nur ini pernah berujar “Dalam pendekatan keilmuan, tak ada yang tabu. Yang tabu itu adalah sikap tertutup yang dianut oleh sebagian orang karena menganggap pendapatnya sendiri sebagai kebenaran tunggal “. Ya, sebagai kawah candradimukanya para manusia intelektual, jelas haram jadah bagi UGM untuk menabukan suatu isu sosial politik, termasuk kasus pembantaian pasca G30S.

Ah, satu lagi ! Karena saya anak Sastra Prancis, saya ingin mengenang kembali seorang filsuf Prancis berambut gondrong. Ia adalah Voltaire. Salah satu manifestonya yang paling terkenal adalah “Je ne suis pas d’accord avec ce que vous dites, mais je me battrai jusqu’à la mort pour que vous puissiez le dire”, “aku mungkin tidak setuju pada yang kau katakan, tapi aku akan memperjuangkannya sampai mati supaya kau bisa mengatakannya”.

Ingat, jusqu’à la mort, sampai mati... Begitulah seharusnya para intelektual bersikap!

Ayo lah, lanjutkan.....

Share:

0 komentar