CUCUK SENTHE


Jika kamu pernah membaca cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri” karya Ahmad Tohari, maka kamu tak akan asing lagi dengan istilah yang jadi judul dalam Ngibul ini. Cucuk Senthe adalah istilah dalam bahasa Jawa yang merujuk pada lelaki dengan dorongan birahi yang meledak-ledak hingga ia tak bisa mengendalikan gairahnya sendiri.
Dalam cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri”, Sang Cucuk Senthe tersebut adalah seorang lelaki paruh baya bernama Sarpin yang dikenal telah meniduri puluhan atau mungkin ratusan perempuan dan tak pernah menutup-nutupi hobinya tersebut kepada para tetangganya di desa. Alkisah, suatu hari Kang Sarpin berkeluh kesah pada tokoh yang menjadi narator dalam cerpen ini. Dalam curahan hatinya, ia mengaku amat kesal pada burungnya sendiri.
“Dia amat bandel. Bila sedang punya mau, burung saya sama sekali tak bisa dicegah. Pokoknya dia harus dituruti, tak kapan, tak dimana. Sungguh burung saya sangat keras kepala sehingga saya selalu dibuatnya jengkel. Dan bila sudah demikian, saya tak bisa berbuat lain kecuali menuruti apa maunya (Tohari, 82:2015)”.
Akan tetapi, Kang Sarpin sungguh-sungguh menyesal dan ingin meraih pertaubatannya. Maka, demi mencapai hal tersebut, ia ingin agar burungnya segera dikebiri. Sadar bahwa tak akan ada mantri sunat yang mau melakukannya, ia kemudian dengan penuh kesadaran datang ke tukang sabung dan potong ayam, membayarnya, lalu memintanya untuk memotong burungnya: burung Kang Sarpin.
Dalam karya sastra Indonesia, sebenarnya ada juga kisah lain yang menceritakan hubungan manusia dengan burungnya sendiri. Tahu kisah si Ajo Kawir? Ia adalah tokoh utama dalam novel “Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (SDRHDT)” karya Eka Kurniawan. Meski tak separah sosok Kang Sarpin, Ajo Kawir saya kira punya potensi besar untuk menjadi Cucuk Senthe. Jauh sebelum dikenal sebagai pria paruh baya yang ngga bisa ngaceng, ia dulunya adalah seorang bocah yang setiap malam tak bisa menahan birahinya untuk tidak mengintip persenggamaan dua orang polisi dengan seorang perempuan gila. Namun berbeda dengan Kang Sarpin yang memilih menghilangkan sifat Cucuk Senthe-nya dengan memotong burung sendiri, Cucuk Senthe Ajo Kawir justru hilang dengan sendirinya. Hal tersebut terjadi setelah ia dipaksa memasukkan burungnya ke saluran peranakan si Perempuan Gila oleh dua polisi yang menangkap basah aksi voyeurisme-nya. Malangnya, tiba-tiba kadar Cucuk Senthe Ajo Kawir benar-benar lenyap sampai ke titik nol. Burungnya tidur panjang dan tak pernah mau bangun lagi meskipun ia usahakan dengan berbagai cara.
Membaca cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri” dan novel “SDRHDT”  sebenarnya menimbulkan perasaan agak miris bagi saya. Saya percaya, sebagaimana Kang Sarpin atau setidaknya Ajo Kawir, setiap orang memiliki potensi ke-Cucuk-Senthe-an masing-masing. Jauh-jauh hari, Sigmund Freud pernah bilang bahwa tidak ada motif yang lebih valid yang menggerakkan tindakan manusia selain insting libido. Eka Kurniawan juga nampaknya menyetujui hal ini dengan menulis pada novel “SDRHDT”:
Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala” (Kurniawan, 126: 2014).
Kutipan di atas sebenarnya mengingatkan kita bahwa manusia tak pernah bisa lepas dari kemaluannya: penggerak utama segala insting libido. Namun saya kira, insting libido sebenarnya bukan hanya suatu insting yang berhubungan dengan gairah seksual atau nafsu birahi semata. Lebih jauh dari itu, insting libido bisa merujuk pada segala nafsu kebinatangan yang melampaui soal makan, minum, dan seks: keserakahan, keinginan membunuh, hasrat pamer kekuatan atau segala sifat lain yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Coba ingat dengan baik apa yang terjadi di sekitar kita akhir-akhir ini. Para wakil rakyat mengorupsi uang KTP sampai 2,8 Trilyun. Uang segitu kalau dihitung bisa untuk membiayai kuliah satu orang di UGM selama 450.000 semester. Atau kalau bingung, uang segitu paling tidak bisa untuk membiayai kuliah 50.000 mahasiswa dari masuk sampai lulus. Gendeng? Tentu tidak segendeng fakta bahwa beberapa hari lalu, justru banyak wakil rakyat lain yang berusaha melindungi pimpinannya supaya tidak berangkat sidang kasus tersebut.
Tidak usah jauh-jauh ke Rohingya, saat ini banyak orang sekitar kita yang mentang-mentang mayoritas, lalu dengan entengnya berikrar siap menghunus pedang untuk para minoritas “berdarah halal” yang mereka anggap menyimpang karena berbeda.
Atau marilah kita menengok yang paling dekat pada diri kita sendiri, misalnya seberapa sering kita ingin segera memperlihatkan gawai terbaru, foto makan Escargot pas Euro Trip atau bahkan, haha, pamer buku-buku bacaan? Sadar tidak sadar, diakui atau tidak diakui, tindakan kita tersebut seringkali hanya –meminjam istilah Bordieu—strategi kekuasaan melalui praktik pembedaan diri (la distinction) untuk meraih power di masyarakat. Untuk persoalan ini saya punya saran –terutama untuk diri saya sendiri—, alih-alih sekadar pamer, tulislah pengalaman kita bersama hal-hal tersebut (gawai, makanan, perjalanan, buku) dengan rapi dan menarik, syukur-syukur memberikan pandangan-pandangan hidup yang humanis – selanjutnya kirim ke redaksikibul@gmail.com. Hal tersebut saya kira penting. Kita perlu belajar untuk membiasakan diri memberi sesuatu yang informatif dan reflektif di tengah derasnya informasi yang kebanyakan lebih layak dilempar ke keranjang sampah: ya, seperti foto-fotomu yang sebenarnya blas nggak berfaedah itu. Kurang-kurangin lah…
Baiklah, melihat berbagai realita akhir-akhir ini, juga apa yang sering kita lakukan setiap hari, saya jadi berpikir bahwa jangan-jangan kita semua adalah seorang Cucuk Senthe? Jangan-jangan kita selalu punya dorongan birahi yang meledak-ledak untuk menunjukkan hasrat kebinatangan kita: keserakahan, keinginan membunuh, hasrat pamer kekuatan? Jangan-jangan, mayoritas masyarakat kita adalah masyarakat Cucuk Senthe? Lalu jika kita tak mungkin menjadi Ajo Kawir yang dorongan birahinya hilang sendiri, haruskah kita memotong paksa burung kita seperti Kang Sarpin? Masalahnya, jika semua orang adalah Kang Sarpin, bukankah hanya kita yang bisa memotong “burung” kita sendiri?

Share:

0 komentar