bagus panuntun

berubah!



Begum Jaan (2016) adalah film yang mengisahkan kehidupan para pelacur di awal kemerdekaan India dan di tengah konflik pemisahan India-Pakistan. Film yang disutradarai oleh Srijit Mukherji ini menampilkan Vidya Balan sebagai Begum Jaan, pelacur sekaligus pemilik rumah bordil yang terletak tepat di perbatasan India-Pakistan. Film ini hanya meraih poin 5.6/10 di IMDB. 5.6/10 untuk film dengan opening dan ending yang teramat epic. Para kritikus film memang layak dikutuk sebagai manusia yang kurang menghargai mahalnya ledakan sensasi dari hal-hal kecil.

Saya akan sedikit membahas tentang pembukaan film ini yang bagaimanapun cukup mengesankan. Hanya saja, saya tidak ingin memberi tahu ending film ini yang benar-benar membuat saya tidak habis pikir mengapa film ini meraih angka yang begitu rendah.

Mari kita mulai dari opening film.

Begum Jaan dibuka dengan adegan seorang gadis remaja yang dikejar segerombolan pemuda teler yang hendak memperkosanya beramai-ramai. Sekuen pembuka yang singkat ini kemudian diakhiri dengan munculnya sesosok perempuan lanjut usia berumur 80-an yang tiba-tiba berdiri di depan gadis tersebut. Si perempuan tua tadi tanpa diduga melucuti bajunya satu per satu hingga ia telanjang bulat. Melihat “seonggok” badan keriput yang bugil di depannya, para pemuda teler tadi menjadi ketakutan dan terbirit-birit. Fragmen ini menjadi sekuen pembuka yang menurut saya begitu epic. Terlebih, si Perempuan Tua berdiri telanjang di depan depan bendera India yang berkibar-kibar.

Sekuen pembuka ini sebenarnya mengajak kita melihat permasalahan kontemporer di India tentang nasib perempuan di sana. Di India, nasib perempuan disebut tidak lebih aman daripada sapi. Sementara sapi disembah dan dihormati sebagai hewan yang sakral, perempuan-perempuan India justru senantiasa dicekam rasa takut atas berbagai kekerasan seksual.

Setting waktu lantas mundur ke tahun 1947 ketika India baru saja merebut kemerdekaan dari Inggris dan tengah terjadi konflik pemisahan India-Pakistan. India sebagai tanah orang-orang Hindu, Pakistan untuk tanah-tanah orang Islam. Sementara itu, setting latar diambil di sebuah rumah bordil yang terletak di tengah garis batas kedua negara tersebut.

Sampai di titik ini, kita telah dijatuhi berbagai pertanyaan yang membuat kita begitu penasaran. Siapa perempuan tua renta tadi? Mengapa film ini menyajikan isu feminisme India masa kini kemudian membawa kita mundur ke masa lalu dengan isu yang begitu rumit: kemerdekaan, konflik Hindu-Islam, pelacuran. Mampukah film ini menemukan benang merah antara masa lalu dengan masa sekarang? Antara kekuasaan, agama, dan perempuan? Maka, 120 menit berikutnya adalah upaya sutradara Srijit Mukherji untuk mencoba menghubungkan konflik-konflik yang rumit dan tumpuk undung tersebut.

Dalam salah satu fragmen, film ini mengkritik para politikus dan kaum agamawan India melalui sudut pandang sosok Begum Jaan. Fragmen ini menceritakan kedatangan para politikus dari kelompok Hindu dan kelompok Islam  ke rumah bordil untuk memberikan surat perintah pengosongan rumah bordil. Rumah bordil akan segera diratakan, pagar kawat pembatas India-Pakistan akan segera didirikan. Mendengar perintah tersebut, Begum Jaan justru terbahak-bahak. Ia kemudian mendatangi salah seorang pelanggan dan memberinya pertanyaan:

Did you ask about the girl’s caste, her religion? Is she hindu or muslim? Hei Mr. Brahman, you were in a bed with a girl. Do you know her caste? She’s sudra.
Selanjutnya, Begum Jaan kemudian mengalihkan omongannya pada dua politikus perwakilan India dan Pakistan tadi:

Hey Mr, we didn’t asked them any question either. Caste, creed, religion. They just chose a girl, fixed a price and we welcomed them. Call this brother or a whorehouse. This is my home, my country. There are no hindus or muslims, high or low caste.
Fragmen di atas kita tahu telah mengkritik berbagai isu secara bersamaan. Sudut pandang kritik yang disampaikan oleh seorang perempuan saja sudah mengindikasikan bahwa film ini berusaha mengangkat isu feminisme: perempuan yang berani bersuara. Belum lagi, fragmen ini juga menyajikan kaum-kaum agamawan yang moralis namun haus kekuasaan.

Carut marut isu kekuasaan, agama, dan perempuan memang perihal yang begitu pelik di India. Institusi politik sebagai instrumen kuasa memang selalu bekerjasama dengan kaum agamawan untuk terus melanggengkan narasi perempuan sebagai second sex, jenis kelamin yang berada satu tingkat di bawah kelamin laki-laki. Maka, kaum perempuan India sejak dulu hingga hari ini masih terus mengalami represi seksual yang dilegitimasi melalui kultur patriarki dan dalil-dalil agama. Kaum perempuan hindu harus bersedia dinikahi orang yang memiliki kasta lebih tinggi, sementara kaum perempuan muslim harus menuruti perjodohan yang dilakukan orang tuanya. Mereka tak punya kesempatan untuk memilih. Maka ketika Begum Jaan sebagai perempuan sekaligus pelacur menyampaikan kritik kerasnya tentang kasta, politik, dan gender di depan dua politikus dan agamawan tadi, film ini seolah ingin menyampaikan dengan tegas bahwa politikus dan agamawan di India sebenarnya sama sekali tidak lebih ‘tinggi’ dibanding sosok perempuan. Bahkan mereka lebih ‘rendah’ daripada sosok pelacur.

Sebagaimana kebanyakan film India modern, Begum Jaan memang berusaha menyampaikan berbagai isu sosial. Sayangnya, isu politik, agama, dan gender, ini tidak disampaikan secara rapi dan seringkali berjejalan dalam satu fragmen. Banyak sekali fragmen-fragmen yang terasa mubadzir dan dipanjang-panjangkan untuk menyampaikan isu tersebut. Sebut saja dongeng-dongeng yang diceritakan Amma (Ila Arun) – perempuan tua yang bekerja di rumah bordil Begum Jaan— yang menyajikan mitologi-mitologi India tentang perempuan-perempuan kuat di zaman dahulu. Fragmen-fragmen yang disajikan dalam gambar hitam putih ini menurut saya selain terlalu banyak juga gagal memperlihatkan kekuatan kaum perempuan. Ia justru disajikan seperti film humor klasik yang menyajikan artis-artis dengan ekspresi yang kaku dan datar. Benar-benar seperti parodi.

Saya sebenarnya juga sedikit kecewa dengan tindakan resistensi perempuan dalam film ini yang lebih ditampilkan dalam wujud resistensi fisik: perempuan berani berdebat, perempuan bisa pegang senjata, perempuan berani perang. Saya sebenarnya berharap bahwa sosok pelacur di film ini ditampilkan seperti sosok Firdaus di novel Perempuan di Titik Nol karya Nawaal El Saadawi. Dalam novel yang dianggap sebagai adikaryanya tersebut, Nawaal berhasil menghadirkan perempuan yang melawan dengan penuh kesadaran melalui erotisme: membuat lelaki bertekuk lutut, menyerah, dan tak berdaya di hadapannya. Ia membuat lelaki hadir sebagai makhluk yang sangat lemah dan tak punya wibawa apapun ketika datang hasrat libidonya.

Bagaimanapun, Begum Jaan adalah film yang layak ditonton terutama bagi kalian yang menyukai film-film bertema perempuan. Terlepas dari kekurangan-kekurangan di banyak adegan film tersebut, Begum Jaan pada akhirnya benar-benar berhasil menyajikan perlawanan kaum perempuan yang sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. Kalau tak percaya, tonton saja endingnya.


Bagaimana cara memasukkan gajah ke dalam kulkas? Ambil gajah, buka pintu kulkas, masukkan gajahnya, tutup pintu kulkasnya. Sederhana bukan? Sesederhana pertanyaan “bagaimana cara memasukkan tahi ke dalam kakus?”.  Masuk toilet, buka celana, nikmati prosesnya, biarkan kakus melumat tuntas hajatmu sampai tak berbekas. Urusan perut lega, kita bahagia.

Urusan buang hajat memang sederhana, kecuali jika kita tinggal di India. Bayangkan saja, di negara berpenduduk kurang lebih 600 juta tersebut, lebih dari 300 juta warganya belum memiliki toilet di rumah. Sementara itu, 70 persen dari rumah tangga juga memilih tak membangun tempat merenung terbaik tersebut. Urusan tersebut akan semakin rumit jika kita memahami bahwa toilet bukan sekadar urusan buang tahi lalu kelar. Nyatanya, permasalahan toilet juga bersilang paut dengan permasalahan tradisi, agama, hingga gender di India. Mbulet. Dan urusan mbulet-nya boker di India ini disampaikan dengan cukup oke oleh film Toilet Ek Prem Katha (2017) yang disutradarai oleh Shree Narayan Singh dan dibintangi oleh artis kawakan Akhsay Kumar dan Bhumi Pednekar.

Plot utama dari Toilet Ek Prem Katha adalah rencana Jaya (Pednekar) menceraikan suaminya, Keshav (Kumar), yang tak mampu juga membangun toilet di rumahnya setelah menikah selama 6 bulan. Di India, seorang istri memang berhak dan legal menceraikan suaminya yang enggan membangun toilet di rumahnya. Legalitas tersebut hadir seiring dengan gencarnya kampanye sanitasi yang digencarkan pemerintah India sejak tahun 2014. Dalam film ini, Keshav sebenarnya sudah berniat membangun toilet di rumahnya demi Jaya. Akan tetapi, keinginan Keshav untuk membangun toilet tak sesederhana yang dibayangkan. Keshav ternyata harus menghadapi ayahnya, seorang tradisionalis kolot dan fanatis, yang menganggap buang hajat di semak-semak adalah tradisi nenek moyang yang perlu dipertahankan. Lebih parahnya, masyarakat di desa Keshav juga setali tiga uang. Baik mayoritas lelaki maupun perempuan di sana menganggap bahwa membuang hajat di dalam rumah justru membuat rumah mereka tak suci dan jorok.





“Only animals which defeated in outdoor place”, ucap Jaya berkali-kali. Jaya yang pernah mengenyam kuliah di Jepang tentu saja merasa geli bukan main ketika perempuan di desa Keshav mengajaknya mengikuti “Lota Party”, sebuah “pesta” buang hajat bersama yang dilakukan saat subuh. Dimana perempuan ini buang hajat? Mereka melakukannya di semak-semak.




Para lelaki sebenarnya lebih parah lagi. Mereka terbiasa melakukannya di pinggir jalan, di pematang sawah, atau bahkan di samping rumah.




Adapun konflik utama dalam film ini terjadi ketika Jaya dan Keshav akhirnya bersatu dan berupaya menyadarkan masyarakat India akan pentingnya sanitasi. Mereka memilih memanfaatkan media dan pemerintah untuk mengubah mindset masyarakatnya. Lalu, apa yang terjadi berikutnya? Kontroversi di se-antero Indialah jawabannya. Kali ini bukan hanya soal tradisi, agama, dan gender, orang-orang bahkan tak segan menyalahkan pendidikan sebagai penyebabnya. Mereka menyebut Jaya sebagai “The girl poisoned by education”.

Jika kamu sering menonton film India, tentu kamu tak asing lagi dengan formula film India modern. Pertama, tangkap isu sosial yang tengah ramai diperbincangkan. Kedua, ambil sikap entah pro atau kontra terhadap kebijakan pemerintah India atas isu tersebut. Ketiga, selipkan isu budaya, agama, atau gender di dalamnya. Ketiga unsur tersebut tentu saja masih dominan dalam Toilet Ek Pram Katha. Narayan Singh menyajikan pada kita fragmen demi fragmen yang dengan jelas mendukung kampanye sanitasi yang sebenarnya pernah disampaikan Mahatma Gandhi saat baru memerdekakan India puluhan tahun lalu. Keberpihakan Narayan Singh pun disajikan melalui adegan-adegan yang memorable dan penuh kritik sosial. Sebut saja misalnya adegan ketika Ayah Keshav terjungkal dari motor saat berniat melirik seorang perempuan yang tengah buang hajat di semak-semak yang ternyata adalah Jaya, menantunya sendiri. Dalam film garapannya ini, Narayan Shingh juga berhasil menghadirkan Jaya sebagai sosok yang memikat. Jaya tidak ditampilkan sebagai perempuan berpendidikan modern yang sok open-minded dan pada akhirnya hanya mampu mengeluh dan menghujat tradisi lokal sambil membanding-bandingkannya dengan budaya Barat. Ia misalnya sudi beberapa kali mencoba Lota Party dan alih-alih terus marah pada Keshav, ia juga bersedia menerima ajakan Keshav untuk buang hajat di toilet kereta yang tengah istirahat. Jaya adalah perempuan yang kuat meski pada akhirnya ia tetap menangis. Tapi tangisan Jaya membuat kita turut berempati alih-alih menganggapnya sebagai perempuan manja. Namun dari semua keistimewaan Jaya, ia nampak paling istimewa ketika dihadirkan sebagai perempuan yang pandai menulis dan berani menyampaikan opininya di media massa. Bukankah perempuan yang pandai menulis dan berani bersuara adalah sememikat-memikatnya perempuan?




Film ini jelas bukan tanpa kekurangan. Meski mampu menyajikan fragmen demi fragmen yang memorable tentang isu sanitasi dan menghadirkan tokoh perempuan yang cukup mengesankan, Toilet Ek Prem Katha nyatanya masih jauh dari kata sempurna. Kekurangan utama dari film ini adalah penyajian isu sanitasi yang baru disajikan setelah 50 menit film berjalan. Sementara itu, dari menit pertama hingga 50, film ini praktis hanya menyajikan kisah cinta yang dikemas secara lebay à la film India. Rayuan Keshrav yang basi dan terlalu gombal, adegan menyanyi dan menari yang biasa-biasa saja, hingga hampir tidak adanya fragmen yang menunjukkan betapa joroknya orang India yang membuat kita sebagai penonton sempat bertanya, “sebenarnya film ini mau ngomongin apa sih?”. Ya, dan jika kita tidak sabar-sabar menunggu film ini berjalan hingga 50 menit pertama, saya jamin kita tak akan pernah paham: betapa rumitnya urusan boker di India.
.
.
.
Nilai: 7/10

“Sejak kapan istilah pagar ayu berubah jadi bridesmaid?.”
Pertanyaan tersebut terlontar begitu saja ketika beberapa hari lalu saya menemukan sebuah undangan cantik di atas meja sepupu saya, dengan warna pink motif bunga daisy dan sebuah kalimat “Will you be my bridesmaid?”.
Sebagai seorang pemuda yang baru saja lulus S1 dan masih memasuki tahap usia-orang-tanya-kerja-dimana, barangkali cukup aneh jika saya mengakui bahwa saya begitu tertarik pada obrolan seputar, ehm, pernikahan. Terlebih jika dipikir lagi, saya bahkan belum genap berumur 23 tahun. Wong dari seluruh redaktur Kibul yang rata-rata sudah berkepala tiga saja, nyatanya baru Andreas Nova yang sudah meminang istri. Kok saya yang ribut menulis tema ini?
Akan tetapi di zaman kiwari seperti sekarang, pertanyaan soal menikah nyatanya tak melulu menghantui pria-pria matang usia. Terlebih jika kamu misalnya mengenal baik seorang gadis keturunan Betawi yang mengapresiasi prinsip hidup “halalkan atau tinggalkan”, mengidolai Payung Teduh sejak menciptakan lagu Akad, dan yang paling pas, hidup di tengah era bisnis wedding organizer tengah begitu menggeliat.
Bisnis wedding organizer tengah begitu menggeliat. Ia menawarkan pada kita paket-paket yang seringkali nampak begitu indah. Foto prewedding dengan latar bangunan-bangunan bersejarah, pesta pernikahan dengan menu makanan dari lima benua, hingga video dokumenter yang pakai drone segala.
Couple zaman now bahkan rela merogoh kocek ratusan juta rupiah demi merayakan hari besarnya. Tentu saja hal tersebut sah-sah saja. Toh banyak orang menganggap pernikahan adalah hari terindah dalam hidupnya. Hari terindah harus dirayakan dengan cara yang maksimal dong? Saya pribadi seandainya punya uang ratusan juta rupiah, saya tak akan eman-eman kok memberikan mas kawin seperangkat gedung perpustakaan dibayar tunai.
Akan tetapi dari sekian prosesi pernikahan yang ditawarkan wedding organizer, saya justru menggelisahkan penggunaan istilah-istilah seperti bridesmaid atau bridalshower yang hits akhir-akhir ini. Kenapa mesti pakai bahasa Enggris?
Saya kira ini merupakan sebuah gejala kebudayaan yang menarik. Adanya bridesmaid dan bridalshower pada pernikahan sepasang pengantin dari Desa Kalipetung, misalnya, tentu tak bisa dipandang sebagai bagian dari prosesi sakral pernikahan saja. Hal ini bahkan bisa dilihat sebagai gejala bahwa banyak couple zaman now begitu terobsesi pada segala hal yang memiliki citra ‘internasional’. Dan tentu saja kita tahu bahwa ‘internasional’ di sini tak akan merujuk pada negara  macam Lesotho, Gabon, atau Tanzania, namun jelas merujuk pada sesuatu yang berasal dari Barat: Eropa atau Amerika.
Kata bridesmaid, misalnya, ia merujuk pada perempuan-perempuan yang menjadi pendamping mempelai wanita di hari pelaksanaan pernikahan. Dalam budaya Jawa, konsep bridesmaid sebetulnya sangat mirip—kalau tidak serupa— dengan apa yang kita kenal sebagai putri domas atau pagar ayu.
Selanjutnya ada pula bridalshower. Apa lagi nih? Ketika pertama kali mendengar istilah tersebut, saya pun mencoba menebak arti harafiahnya. Jika bridal berarti bunga untuk pengantin, dan shower berarti pancuran untuk mandi, maka bridalshower adalah mandi bunga.
“Owalaah, padusan to”, batin saya.
Namun praduga saya ternyata meleset total. Bridalshower nyatanya tak ada hubungannya sama sekali dengan prosesi siraman air apalagi mandi kembang tujuh rupa. Usut punya usut, bridalshower ternyata merujuk pada pesta lajang pengantin perempuan beberapa hari menjelang pernikahan. Pada saat bridalshower, pengantin perempuan akan mengundang teman-teman terdekatnya untuk berkumpul dan saling ngobrol dengan akrab(girls talk). Selanjutnya teman-teman pengantin perempuan akan memberikan kenang-kenangan tertentu sebagai kado pernikahan. Dalam budaya Jawa, sekilas acara ini mirip dengan tradisi midodareni.
Melihat menanjaknya popularitas istilah bridesmaid dan bridalshower –plus tindakan praksisnya— yang menggantikan istilah pagar ayu dan midodareni, mau tak mau saya jadi mengingat teori ‘membunglon’ alias teori mimikri dari seorang pakar teori pascakolonial bernama Homi K. Bhabha. Dalam esainya “Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse” (The Location of Culture, 1994), Bhabha–seperti para teoritikus paskolonial lainnya—membahas tentang kecenderungan masyarakat bekas negeri jajahan (Timur) yang suka meniru identitas tertentu dari negeri yang pernah menjajahnya (Barat). Meskipun demikian, Bhabha tidak sepenuhnya memandang fenomena ini dengan nada pesimistis. Bagi Bhabha, mimikri tak bisa selalu dipandang sebagai pertanda inferioritas orang Timur terhadap orang Barat. Bhabha justru  menyoroti bahwa sebagian besar praksis mimikri yang dilakukan masyarakat bekas jajahan, justru cenderung tidak murni atawa 100 persen meniru cara Barat. Dalam bahasa Bhabha, subjek yang melakukan mimikri ini bersifat “almost same but not quite”, “hampir serupa tapi tak sama”. Lebih jauh lagi, Bhabha bahkan meyakini bahwa tindakan mimikri yang hanya sebagian (metonimis) itu, justru memberi kesempatan pada subjek terjajah untuk menemukan ‘ruang antara’ sebagai tindak resistensi atau perlawanan.
Hal tersebut sekilas dapat kita lihat dari praksis bridesmaid dan bridalshower di Indonesia. Meski jelas memilih kata bridesmaid dibanding pagar ayu, namun couple zaman now nyatanya cenderung memilih model pakaian khas Indonesia sebagai kostum bridesmaid mereka. Alih-alih memilih dress model Barat, kebanyakan bridesmaid masih memakai kebaya bahkan berhijab. Begitu pula dalam hal bridalshower. Meski bagi saya hal ini nampak genit dan tidak penting-penting amat, namun perlu diakui bahwa couple zaman now cenderung melakukan pesta lajang ini dengan hal-hal yang positif. Jangan bayangkan mereka melakukan pesta lajang seperti di tiga seri film The Hangover. Sebagian besar bridalshower Indonesia saya kira masih menghindari laku hidup perempuan Barat seperti minum anggur alias mabu-mabu.
Sampai di sini kemudian muncul pertanyaan, benarkah praksis bridesmaid dan bridalshower di Indonesia merupakan tindak ‘membunglon’ yang bisa dipandang positif atau bahkan semacam tindak resistensi?
Dengan sedikit menyesal, saya mesti meragukan hipotesa awal tersebut. Mengapa? Hal ini saya simpulkan setelah saya mempelajari sejarah dari bridalshower.
Singkatnya begini. Sejarah bridalshower bermula dari sebuah kisah rakyat yang berasal dari Belanda.
Alkisah, pada saat itu hiduplah sepasang calon pengantin berbeda latar belakang. Yang perempuan adalah keturunan bangsawan, sementara yang lelaki hanya seorang anak petani. Meski hanya seorang anak petani, namun sang lelaki sangatlah baik hati dan suka berderma. Hal tersebut membuat sang lelaki tak hanya dicintai calon istrinya, namun juga semua masyarakat desanya.
Malangnya, hubungan mereka tak direstui ayah dari pihak perempuan. Sang ayah justru bersikeras untuk menikahkan anaknya dengan seorang bangsawan yang bertubuh mirip babi. Mengetahui hal tersebut, masyarakat desa pun merasa tak terima. Mereka lalu berinisiatif mengumpulkan sebagian harta mereka sebagai pengganti mahar yang sesuai dengan tuntutan sang ayah. Berkat bantuan dari para warga, akhirnya kedua calon pengantin pun bisa menikah dan hidup bahagia.
Dari kisah rakyat tersebut, kita mengetahui bahwa bridalshower sebenarnya memiliki makna filosofis berupa ‘menyiram’ rezeki untuk pasangan pengantin yang rudin alias kurang mampu. Sementara itu, bridalshower hari ini justru lebih sering dirayakan oleh pasangan-pasangan yang relatif memiliki modal ekonomi berkecukupan. Kan fals jadinya? Maka dari kontradiksi inilah, saya mengira bahwa banyak couple zaman now sebenarnya tak paham-paham amat dengan budaya Barat yang dipilihnya. Pada akhirnya, sulit untuk menyebut bahwa ada tindak resistensi dalam pernikahan tersebut. Sebab, setiap resistensi selalu diawali dengan pemahaman yang kuat dan utuh terhadap (budaya) yang ‘dilawannya’. Sementara praksis bridesmaid-bridalshower zaman now justru dipilih tanpa pemahaman latar historis yang kuat alias copas, copy-paste, saja.
Maka sampai di titik ini, saya justru curiga bahwa praksis pernikahan couple zaman now justru lebih cocok disandingkan dengan teori “black skin, white mask” dari Frantz Fanon. Dalam teorinya tersebut, Fanon juga membahas tentang kecenderungan kita, masyarakat bekas negeri jajahan (black skin), yang merasa bahwa segala sesuatu yang berasal dari Barat (white skin) adalah sesuatu yang lebih superior. Kepercayaan ini bahkan telah tertanam di alam bawah sadar sehingga kita secara suka rela tak hanya meyakininya, namun senantiasa berusaha menyerupainya. Namun untuk melakukan ‘penyerupaan’ tersebut, kita membutuhkan ‘white mask’, sebuah ‘topeng’ yang membuat sebagian dari diri kita dapat menyerupai orang kulit putih. Bridesmaid-bridalshower dalam hal ini saya kira adalah ‘white mask’tersebut. Sebuah ‘topeng’ yang meskipun berasal dari luar diri kita, namun kita yakini memiliki fungsi untuk membuat kita ‘setara’ dengan ‘mereka’. Perkara perasaan ‘setara’ tersebut berdampak positif atau negatif tentu perlu pemahaman kontekstual yang utuh dan tidak bisa disamaratakan. Tapi poin intinya, jika mimikri atau ‘membunglon’ membutuhkan pemahaman dan teknik kamuflase tingkat tinggi, maka ‘bertopeng’ cenderung lebih praktis karena ia tinggal pasang saja
Benar tidaknya praduga yang penuh suudzon tersebut tentu masih bisa diperdebatkan. Masih banyak faktor yang saya kira sangat berpengaruh membentuk budaya ‘membunglon’ atau ‘bertopeng’ di sekitar kita. Peran media sosial dan upaya pembentukan citra barangkali adalah alasan yang juga masuk akal – selain dampak trauma pascakolonialisme. Tetapi yang jelas, saya mesti segera menutup Ngibul saya yang sudah kelewat panjang ini. Untuk itu saya ingin menyampaikan tiga hal sebagai bentuk pernyataan sikap.
Pertama, tulisan ini tentu tidak bertujuan untuk mengajak seluruh pembaca, wa bil khusus, couple zaman now, untuk menjadi seorang tradisionalis yang kolot dan membosankan. Sebagai manusia yang hidup di negeri beragam identitas, bersikeras menjadi totok Jawa, murni Batak, atau 100 persen pribumi tentu sesuatu yang konyol dan menyebalkan. Tapi yang perlu diingat, jika bersikeras menjadi murni ‘tradisional’ bukanlah sesuatu yang baik, maka menjadi ‘internasional’ tanpa sungguh paham esensinya adalah sesuatu yang sama lucunya.
Kedua, Jacques Derrida berkali-kali meneriakkan, “Dekonstruksi. Hancurkan. Konstruksi sesuai dengan keinginan. Jangan terjebak pada mitos leluhur!”. Saya percaya bahwa setiap orang berhak bertindak kreatif. Maka, berkreasilah. Leburkan batas-batas identitas. Menikahlah dengan caramu sendiri: mengundang seniman lintas bangsa sebagai pengisi hiburan, membuat seratus macam masakan berbahan jamur sebagai menu hidangan, atau mengganti mahar emas dengan seribu ekor onta atau llama. Semua sah-sah saja selama kita paham alasan dan tujuannya.
Ketiga, jika kamu pernah mengadakan bridesmaid dan bridalshower di pesta pernikahanmu, tentu itu juga bukan masalah. Pernikahan selama telah memenuhi hakikatnya untuk menghalalkan pasangan dan mampu menyatukan dua keluarga, toh sisanya adalah hal-hal yang baik. Lagipula kamu tidak merugikan orang lain dan bahkan membuat banyak orang berbahagia. Saya pun turut berbahagia dan akan mendoakan setiap pasangan yang halal untuk menjadi samawa. Bahkan jika itu mantan atau bribikan tersayang saya.
Akan tetapi, plis, jika esok kamu sudah hamil, kamu tak perlu mengunggah foto di instagram dengan sebuah tagar bertuliskan babyshower.
Apa itu babyshower? Babyshower adalah acara merayakan usia kehamilan yang sudah menginjak tujuh bulan.
Ealah, jebul mitoni.

Tulisan ini pertama kali dimuat di www.kibul.in pada 23 Oktober 2017
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ►  2019 (17)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Januari (4)
  • ▼  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ▼  November (3)
      • Harga Diri Pelacur dalam Begum Jaan
      • Urusan Boker yang Rumit di Toilet Ek Prem Katha
      • Bridesmaid, Bridalshower, Babyshower, Praksis Teor...
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (4)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2015 (42)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (68)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember (9)
    • ►  November (13)
    • ►  Oktober (15)
    • ►  September (7)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)

Copyright © 2016 bagus panuntun. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018