Harga Diri Pelacur dalam Begum Jaan



Begum Jaan (2016) adalah film yang mengisahkan kehidupan para pelacur di awal kemerdekaan India dan di tengah konflik pemisahan India-Pakistan. Film yang disutradarai oleh Srijit Mukherji ini menampilkan Vidya Balan sebagai Begum Jaan, pelacur sekaligus pemilik rumah bordil yang terletak tepat di perbatasan India-Pakistan. Film ini hanya meraih poin 5.6/10 di IMDB. 5.6/10 untuk film dengan opening dan ending yang teramat epic. Para kritikus film memang layak dikutuk sebagai manusia yang kurang menghargai mahalnya ledakan sensasi dari hal-hal kecil.

Saya akan sedikit membahas tentang pembukaan film ini yang bagaimanapun cukup mengesankan. Hanya saja, saya tidak ingin memberi tahu ending film ini yang benar-benar membuat saya tidak habis pikir mengapa film ini meraih angka yang begitu rendah.

Mari kita mulai dari opening film.

Begum Jaan dibuka dengan adegan seorang gadis remaja yang dikejar segerombolan pemuda teler yang hendak memperkosanya beramai-ramai. Sekuen pembuka yang singkat ini kemudian diakhiri dengan munculnya sesosok perempuan lanjut usia berumur 80-an yang tiba-tiba berdiri di depan gadis tersebut. Si perempuan tua tadi tanpa diduga melucuti bajunya satu per satu hingga ia telanjang bulat. Melihat “seonggok” badan keriput yang bugil di depannya, para pemuda teler tadi menjadi ketakutan dan terbirit-birit. Fragmen ini menjadi sekuen pembuka yang menurut saya begitu epic. Terlebih, si Perempuan Tua berdiri telanjang di depan depan bendera India yang berkibar-kibar.

Sekuen pembuka ini sebenarnya mengajak kita melihat permasalahan kontemporer di India tentang nasib perempuan di sana. Di India, nasib perempuan disebut tidak lebih aman daripada sapi. Sementara sapi disembah dan dihormati sebagai hewan yang sakral, perempuan-perempuan India justru senantiasa dicekam rasa takut atas berbagai kekerasan seksual.

Setting waktu lantas mundur ke tahun 1947 ketika India baru saja merebut kemerdekaan dari Inggris dan tengah terjadi konflik pemisahan India-Pakistan. India sebagai tanah orang-orang Hindu, Pakistan untuk tanah-tanah orang Islam. Sementara itu, setting latar diambil di sebuah rumah bordil yang terletak di tengah garis batas kedua negara tersebut.

Sampai di titik ini, kita telah dijatuhi berbagai pertanyaan yang membuat kita begitu penasaran. Siapa perempuan tua renta tadi? Mengapa film ini menyajikan isu feminisme India masa kini kemudian membawa kita mundur ke masa lalu dengan isu yang begitu rumit: kemerdekaan, konflik Hindu-Islam, pelacuran. Mampukah film ini menemukan benang merah antara masa lalu dengan masa sekarang? Antara kekuasaan, agama, dan perempuan? Maka, 120 menit berikutnya adalah upaya sutradara Srijit Mukherji untuk mencoba menghubungkan konflik-konflik yang rumit dan tumpuk undung tersebut.

Dalam salah satu fragmen, film ini mengkritik para politikus dan kaum agamawan India melalui sudut pandang sosok Begum Jaan. Fragmen ini menceritakan kedatangan para politikus dari kelompok Hindu dan kelompok Islam  ke rumah bordil untuk memberikan surat perintah pengosongan rumah bordil. Rumah bordil akan segera diratakan, pagar kawat pembatas India-Pakistan akan segera didirikan. Mendengar perintah tersebut, Begum Jaan justru terbahak-bahak. Ia kemudian mendatangi salah seorang pelanggan dan memberinya pertanyaan:

Did you ask about the girl’s caste, her religion? Is she hindu or muslim? Hei Mr. Brahman, you were in a bed with a girl. Do you know her caste? She’s sudra.
Selanjutnya, Begum Jaan kemudian mengalihkan omongannya pada dua politikus perwakilan India dan Pakistan tadi:

Hey Mr, we didn’t asked them any question either. Caste, creed, religion. They just chose a girl, fixed a price and we welcomed them. Call this brother or a whorehouse. This is my home, my country. There are no hindus or muslims, high or low caste.
Fragmen di atas kita tahu telah mengkritik berbagai isu secara bersamaan. Sudut pandang kritik yang disampaikan oleh seorang perempuan saja sudah mengindikasikan bahwa film ini berusaha mengangkat isu feminisme: perempuan yang berani bersuara. Belum lagi, fragmen ini juga menyajikan kaum-kaum agamawan yang moralis namun haus kekuasaan.

Carut marut isu kekuasaan, agama, dan perempuan memang perihal yang begitu pelik di India. Institusi politik sebagai instrumen kuasa memang selalu bekerjasama dengan kaum agamawan untuk terus melanggengkan narasi perempuan sebagai second sex, jenis kelamin yang berada satu tingkat di bawah kelamin laki-laki. Maka, kaum perempuan India sejak dulu hingga hari ini masih terus mengalami represi seksual yang dilegitimasi melalui kultur patriarki dan dalil-dalil agama. Kaum perempuan hindu harus bersedia dinikahi orang yang memiliki kasta lebih tinggi, sementara kaum perempuan muslim harus menuruti perjodohan yang dilakukan orang tuanya. Mereka tak punya kesempatan untuk memilih. Maka ketika Begum Jaan sebagai perempuan sekaligus pelacur menyampaikan kritik kerasnya tentang kasta, politik, dan gender di depan dua politikus dan agamawan tadi, film ini seolah ingin menyampaikan dengan tegas bahwa politikus dan agamawan di India sebenarnya sama sekali tidak lebih ‘tinggi’ dibanding sosok perempuan. Bahkan mereka lebih ‘rendah’ daripada sosok pelacur.

Sebagaimana kebanyakan film India modern, Begum Jaan memang berusaha menyampaikan berbagai isu sosial. Sayangnya, isu politik, agama, dan gender, ini tidak disampaikan secara rapi dan seringkali berjejalan dalam satu fragmen. Banyak sekali fragmen-fragmen yang terasa mubadzir dan dipanjang-panjangkan untuk menyampaikan isu tersebut. Sebut saja dongeng-dongeng yang diceritakan Amma (Ila Arun) – perempuan tua yang bekerja di rumah bordil Begum Jaan— yang menyajikan mitologi-mitologi India tentang perempuan-perempuan kuat di zaman dahulu. Fragmen-fragmen yang disajikan dalam gambar hitam putih ini menurut saya selain terlalu banyak juga gagal memperlihatkan kekuatan kaum perempuan. Ia justru disajikan seperti film humor klasik yang menyajikan artis-artis dengan ekspresi yang kaku dan datar. Benar-benar seperti parodi.

Saya sebenarnya juga sedikit kecewa dengan tindakan resistensi perempuan dalam film ini yang lebih ditampilkan dalam wujud resistensi fisik: perempuan berani berdebat, perempuan bisa pegang senjata, perempuan berani perang. Saya sebenarnya berharap bahwa sosok pelacur di film ini ditampilkan seperti sosok Firdaus di novel Perempuan di Titik Nol karya Nawaal El Saadawi. Dalam novel yang dianggap sebagai adikaryanya tersebut, Nawaal berhasil menghadirkan perempuan yang melawan dengan penuh kesadaran melalui erotisme: membuat lelaki bertekuk lutut, menyerah, dan tak berdaya di hadapannya. Ia membuat lelaki hadir sebagai makhluk yang sangat lemah dan tak punya wibawa apapun ketika datang hasrat libidonya.

Bagaimanapun, Begum Jaan adalah film yang layak ditonton terutama bagi kalian yang menyukai film-film bertema perempuan. Terlepas dari kekurangan-kekurangan di banyak adegan film tersebut, Begum Jaan pada akhirnya benar-benar berhasil menyajikan perlawanan kaum perempuan yang sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. Kalau tak percaya, tonton saja endingnya.

Share:

0 komentar