Urusan Boker yang Rumit di Toilet Ek Prem Katha
Bagaimana cara memasukkan gajah
ke dalam kulkas? Ambil gajah, buka pintu kulkas, masukkan gajahnya, tutup pintu
kulkasnya. Sederhana bukan? Sesederhana pertanyaan
“bagaimana cara memasukkan tahi ke dalam kakus?”. Masuk toilet, buka celana, nikmati prosesnya,
biarkan kakus melumat tuntas hajatmu sampai tak berbekas. Urusan perut lega,
kita bahagia.
Urusan buang hajat memang
sederhana, kecuali jika kita tinggal di India. Bayangkan saja, di negara
berpenduduk kurang lebih 600 juta tersebut, lebih dari 300 juta warganya belum
memiliki toilet di rumah. Sementara itu, 70 persen dari rumah tangga juga memilih tak membangun tempat merenung terbaik tersebut. Urusan tersebut
akan semakin rumit jika kita memahami bahwa toilet bukan sekadar urusan buang
tahi lalu kelar. Nyatanya, permasalahan toilet juga bersilang paut dengan
permasalahan tradisi, agama, hingga gender di India. Mbulet. Dan urusan mbulet-nya
boker di India ini disampaikan dengan cukup oke oleh film Toilet Ek Prem Katha
(2017) yang disutradarai oleh Shree Narayan Singh dan dibintangi oleh artis
kawakan Akhsay Kumar dan Bhumi Pednekar.
Plot utama dari Toilet Ek Prem
Katha adalah rencana Jaya (Pednekar) menceraikan suaminya, Keshav (Kumar),
yang tak mampu juga membangun toilet di rumahnya setelah menikah selama 6
bulan. Di India, seorang istri memang berhak dan legal menceraikan suaminya
yang enggan membangun toilet di rumahnya. Legalitas tersebut hadir seiring
dengan gencarnya kampanye sanitasi yang digencarkan pemerintah India sejak
tahun 2014. Dalam film ini, Keshav sebenarnya sudah berniat membangun toilet di rumahnya demi Jaya. Akan tetapi, keinginan Keshav untuk membangun toilet tak sesederhana yang dibayangkan. Keshav ternyata
harus menghadapi ayahnya, seorang tradisionalis kolot dan fanatis, yang
menganggap buang hajat di semak-semak adalah tradisi nenek moyang yang perlu
dipertahankan. Lebih parahnya, masyarakat di desa Keshav juga setali tiga
uang. Baik mayoritas lelaki maupun perempuan di sana menganggap bahwa membuang
hajat di dalam rumah justru membuat rumah mereka tak suci dan jorok.
“Only animals which defeated in outdoor place”, ucap Jaya
berkali-kali. Jaya yang pernah mengenyam kuliah di
Jepang tentu saja merasa geli bukan main ketika perempuan di desa Keshav
mengajaknya mengikuti “Lota Party”, sebuah “pesta” buang hajat bersama yang
dilakukan saat subuh. Dimana perempuan ini buang hajat? Mereka melakukannya di semak-semak.
Para lelaki sebenarnya lebih parah lagi. Mereka terbiasa melakukannya di pinggir jalan, di pematang sawah, atau bahkan di samping rumah.
Para lelaki sebenarnya lebih parah lagi. Mereka terbiasa melakukannya di pinggir jalan, di pematang sawah, atau bahkan di samping rumah.
Adapun konflik utama dalam film
ini terjadi ketika Jaya dan Keshav akhirnya bersatu dan berupaya menyadarkan
masyarakat India akan pentingnya sanitasi. Mereka memilih memanfaatkan media dan
pemerintah untuk mengubah mindset masyarakatnya. Lalu, apa yang terjadi berikutnya?
Kontroversi di se-antero Indialah jawabannya. Kali ini bukan hanya soal
tradisi, agama, dan gender, orang-orang bahkan tak segan menyalahkan pendidikan
sebagai penyebabnya. Mereka menyebut Jaya sebagai “The girl poisoned by education”.
Jika kamu sering menonton film
India, tentu kamu tak asing lagi dengan formula film India modern. Pertama,
tangkap isu sosial yang tengah ramai diperbincangkan. Kedua, ambil sikap entah
pro atau kontra terhadap kebijakan pemerintah India atas isu tersebut. Ketiga, selipkan isu budaya, agama, atau gender di dalamnya. Ketiga unsur tersebut tentu
saja masih dominan dalam Toilet Ek Pram
Katha. Narayan Singh menyajikan pada kita fragmen demi fragmen yang dengan
jelas mendukung kampanye sanitasi yang sebenarnya pernah disampaikan Mahatma
Gandhi saat baru memerdekakan India puluhan tahun lalu. Keberpihakan Narayan
Singh pun disajikan melalui adegan-adegan yang memorable
dan penuh kritik sosial. Sebut saja misalnya adegan ketika Ayah Keshav
terjungkal dari motor saat berniat melirik seorang perempuan yang tengah buang
hajat di semak-semak yang ternyata adalah Jaya, menantunya sendiri. Dalam film
garapannya ini, Narayan Shingh juga berhasil menghadirkan Jaya sebagai sosok
yang memikat. Jaya tidak ditampilkan sebagai perempuan berpendidikan modern
yang sok open-minded dan pada
akhirnya hanya mampu mengeluh dan menghujat tradisi lokal sambil
membanding-bandingkannya dengan budaya Barat. Ia misalnya sudi beberapa kali
mencoba Lota Party dan alih-alih
terus marah pada Keshav, ia juga bersedia menerima ajakan Keshav untuk buang hajat
di toilet kereta yang tengah istirahat. Jaya adalah perempuan yang kuat meski
pada akhirnya ia tetap menangis. Tapi tangisan Jaya membuat kita turut
berempati alih-alih menganggapnya sebagai perempuan manja. Namun dari semua
keistimewaan Jaya, ia nampak paling istimewa ketika dihadirkan sebagai
perempuan yang pandai menulis dan berani menyampaikan opininya di media massa.
Bukankah perempuan yang pandai menulis dan berani bersuara adalah sememikat-memikatnya perempuan?
Film ini jelas bukan tanpa kekurangan. Meski mampu menyajikan
fragmen demi fragmen yang memorable tentang isu sanitasi dan menghadirkan tokoh perempuan yang cukup mengesankan, Toilet Ek Prem Katha nyatanya masih jauh dari
kata sempurna. Kekurangan utama dari film ini adalah penyajian isu sanitasi yang
baru disajikan setelah 50 menit film berjalan. Sementara itu, dari menit
pertama hingga 50, film ini praktis hanya menyajikan kisah cinta yang dikemas
secara lebay à la film India. Rayuan
Keshrav yang basi dan terlalu gombal, adegan menyanyi dan menari yang biasa-biasa saja, hingga hampir tidak adanya fragmen yang
menunjukkan betapa joroknya orang India yang membuat kita sebagai penonton sempat
bertanya, “sebenarnya film ini mau ngomongin apa sih?”. Ya, dan jika kita tidak
sabar-sabar menunggu film ini berjalan hingga 50 menit pertama, saya jamin kita
tak akan pernah paham: betapa rumitnya urusan boker di India.
.
.
.
Nilai: 7/10
.
.
.
Nilai: 7/10
0 komentar