[Cermin] 2017: Tahun Menganggur yang Berfaedah. 2018: (?)



2017 bagi saya adalah 365 hari yang patut disyukuri meski dalam soal asmara saya harus mengalami kejamnya dunia perkecuan—yang lebih kejam dari dunia persilatan. Terlepas dari soal cinta yang sedang enggan saya bahas, 2017 sebenarnya adalah tahun penuh berkah. Sebab, sebagian besar resolusi yang saya rencanakan di tahun 2016 akhirnya bisa terwujud. Lulus sarjana, lolos tes DELF B2, dapat beasiswa LPDP, dan dapat LoA dari jurusan kajian sastra francophone.

Bagaimana saya dapat  meraih hal-hal  tersebut? Saya kira semua tercapai berkat status “pengangguran” yang saya sandang hampir sepanjang tahun.

Sebenarnya, saya tak nganggur-nganggur amat sih. Sepanjang 2017, saya sempat bekerja selama tiga bulan sebagai penerima tamu di sebuah hostel di Prawirotaman.  Hostel tersebut cukup ramai dikunjungi para bule kere yang ingin dapat penginapan murah di Jogja. Soal gaji memang menyedihkan. Seringkali di bawah UMR Jogja yang sudah ngepres itu. Tapi setidaknya kemampuan bicara bahasa Inggris saya jadi jauh meningkat setelah bekerja di sana. Selain itu, saya bahkan menjadi pelapak buku online yang melayani lebih dari 1.000 pelanggan sepanjang 2017. Belum lagi bisa mendapat hampir 13.000 followers instagram dalam waktu setahun. Lumayan kan?

Tapi tetap saja, kita akan selalu dicap pengangguran selama kita tidak sedang bekerja pada orang lain atau bisa berdagang sendiri dengan keuntungan puluhan juta rupiah. Kalau yang nanggung-nanggung seperti awak, ya jangan protes kalau tetap disebut pengangguran.

Saya pun tidak akan protes pada status tersebut. Sebenarnya, saya malah mensyukurinya.

Dan lewat tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman tentang faedah menjadi seorang pengangguran setelah lulus kuliah.

Mari kita awali cerita ini dengan dua kalimat pengantar: Saya lulus sidang skripsi tanggal 31 Januari 2017. Setelah itu, saya menghabiskan sebagian besar waktu sampai akhir tahun untuk belajar di kos-kosan.

Menuntaskan Apa yang Membuatmu Penasaran

Sejak dulu saya percaya bahwa masa muda adalah masa untuk untuk menuntaskan apa-apa yang membuat kita penasaran. Maka waktu "menganggur" yang begitu lama di kos-kosan tersebut saya gunakan untuk mencapai hal-hal yang membuat saya begitu penasaran.

Bagi saya, hal yang paling membuat penasaran dan sejak lama saya cita-citakan adalah merasakan hidup di Prancis. Selama ini, saya ingin melanjutkan apa yang telah saya geluti selama empat tahun terakhir. Saya ingin memahami bahasa dan sastra Prancis sedalam-dalamnya, lalu menjadi penerjemah dan pengkaji bidang ilmu yang paling saya minati: Kajian Sastra Prancis dari negeri-negeri jajahan atau sastra francophone.

Untuk mencapai hal tersebut, saya sadar bahwa jalan yang akan saya tempuh tidaklah mudah. Apalagi dengan lingkar otak saya yang pas-pasan. Di samping itu, sugih pun saya tidak. Membayar dengan biaya sendiri? Yo ra mungkin. Wong beli sempak Indomaret saja saya pikir-pikir. Maka jalan yang paling mungkin untuk bisa mencapai hal tersebut adalah  meraih beasiswa.

Maka beginilah yang saya rencanakan setelah lulus kuliah: mencari kerja yang selo dengan tingkat penghasilan yang penting bisa buat makan, memanfaatkan tiap waktu selo tersebut untuk belajar bahasa Prancis sampai berdarah-darah—demi DELF B2, juga belajar bicara dan menulis bahasa Inggris sampai gumoh—demi tes LPDP, dan akhirnya menyisakan waktu senggang lainnya untuk menghibur dan mengkatarsiskan diri dengan menonton film, membaca buku, dan melewatkan hari bersama teman-teman terdekat.

Seandainya setelah lulus saya langsung bekerja, bisakah saya melakukan hal-hal tersebut? Mungkin bisa, tapi susah.


Maka saya memutuskan menganggur. Lalu memanfaatkan waktu nganggur tersebut untuk membuat saya berprogres sebaik mungkin di bidang yang berhubungan dengan mimpi yang sedang saya kejar.

Meredam Keterlenaan
Menganggur juga bisa membuatmu terlena dan seringkali jadi tak serius mengejar apa yang telah kamu resolusikan. Banyak sekali hal menggoda di kala menganggur. Keasikan jualan buku, ngidam jalan-jalan, atau khilaf maraton tv series misalnya. 
Maka saya melakukan dua hal penting untuk membuat saya tak sampai terlena: pertama, saya menyetel alarm 1 tahun untuk mimpi-mimpi tersebut. Kedua, saya meminta restu orang tua dan membicarakan dengan mereka tentang batas waktu yang telah saya tentukan. 


Soal izin dengan orang tua, hal tersebut pn jadi cobaan tersendiri. Saya tak seberuntung kebanyakan teman-teman yang berasal dari keluarga mampu. Sedari awal kuliah sampai lulus, saya misalnya tidak pernah dapat jatah bulanan. Lebih-lebih, di posisi setelah lulus begini, orang tua saya sebenarnya sudah berhak segera mendapat "balas budi" dari anak-anaknya. Lah gimana, wong kanca-kanca sedesa saya yang lulusan SMK saja sudah pada bisa ngirimin uang rutin bulanan, nah aing yang sarjana ini, mosok hanya kirim sms mama minta pulsa?

Puji Tuhan, orang tua saya akhirnya dapat memahami cita-cita jangka panjang saya. Mereka bahkan turut mendoakan saya untuk menjadi peneliti sastra, bukan sekadar sekrup di perusahaangede saja.

Jika saja kau punya orang tua yang lebih mampu, saya kira mereka akan lebih mudah memahami keinginanmu untuk mengejar apa-apa yang membuatmu penasaran.

Pertanyaanya, bagaimana jika saya gagal meraih cita-cita saya dalam jangka waktu tersebut?

Jawaban saya sederhana: mengikuti "arus umum" dengan segera bekerja. Kalau sampai hal ini yang diputuskan Tuhan, saya pun akan ikhlas menerimanya. Toh kewajiban nomor satu seorang anak adalah membahagiakan orang tua. Bisa dengan kasih sangu atau kasih mantu.

Resolusi 2018



Refleksi tak akan berarti tanpa diikuti resolusi. Resolusi penting untuk memahami jalan menuju kebahagiaan. Dan kebahagiaan sebenarnya hanya soal perubahan saja. Ingat kan rasanya ketika kita mulai bisa naik sepeda, mulai paham fungsi kopling dalam motor racing, atau yang paling sederhana  ketika kita menguasai satu vocab baru. Bahagia kan? Maka, setiap akhir tahun saya selalu merencanakan beberapa hal besar dan kecil yang mesti berubah.

Di tahun 2018, saya ingin mengakhiri status sebagai pengangguran. Saya akan bekerja entah di Bali atau di Jogja. Selama setahun, saya ingin mengumpulkan uang untuk membahagiakan Bapak-Ibu sebelum di 2019 berangkat ke Prancis.

Sembari itu, saya akan tetap mengembangkan kemampuan bahasa Prancis saya yang jelek saja belum. Dua tahun lagi ketika saya tiba di Marseille, saya sudah memiliki kemampuan membaca sehebat dosen-dosen saya, haha, amin. Perlu belajar berdarah-darah lagi ya.


Maka untuk mengasah kemampuan membaca dan menulis tersebut, saya ingin menerjemahkan satu kumpulan cerpen dari Emmanuel Dongala berjudul Jazz et Vin de Palme. Oh ya, Emmanuel Dongala ini adalah sastrawan Kongo yang nanti karya-karyanya akan saya teliti sebagai objek tesis.

Perihal buku, saya akan membaca setidaknya empat karya Emmanuel Dongala. Selain itu, saya akan membaca banyak buku tentang kajian poskolonialisme dan sastra francophone. Saya akan mengurangi membaca buku berbahasa Indonesia karena saat ini saya lebih butuh mengembangkan kemampuan berbahasa Prancis yang masih terlalu rudin. Untuk buku Indonesia, saya ingin membaca karya-karya Kuntowijoyo, legenda sastra yang berasal dari satu almamater saya. Sampai hari ini, saya belum pernah membaca satupun karyanya. Memalukan.


Resolusi lainnya, saya akan lebih aktif menulis di blog ini. Awalnya saya ingin membuat rubrik bernama nggambleh, yang artinya ngomong seperti tanpa arah dan juntrungan tapi sebenarnya punya poin yang ingin dibicarakan. Tapi nggambleh terdengar kurang nyeniCangkeman juga terlalu kasar. Ngecret rada njijiki. Jadi saya kasih judul "cermin" saja karena tulisan seperti ini banyak mengandung refleksi.

Resolusi terakhir, semoga tulisan saya tak hanya dimuat di kibul, tetapi juga di minum kopi, basabasi, dan dimuat di mojok lagi.

Sekian resolusi saya di tahun 2018. Selamat tahun baru 2018. Untuk kawan-kawan yang baru lulus, jangan takut jadi pengangguran!


Wonosobo, 1 Januari 2018












Share:

0 komentar