KOPI SLUKATAN: KOPI LERENG SINDORO-SUMBING YANG KURANG DIKENAL WARGANYA SENDIRI
1.
Di sebuah kota yang dingin,
kopi seharusnya menjadi teman yang intim bagi para penghuninya. Tapi tak
demikian dengan Wonosobo. Di kota kecil yang terletak di lereng Sindoro-Sumbing
ini, kopi masih jarang menghangatkan perbincangan di meja-meja keluarga.
Kopi memang kalah pamor
dibanding teh yang sejak lama telah menjadi salah satu komoditas utama kota.
Tapi tetap saja, faktanya seharusnya tak begini-begini amat: di sebuah desa bernama
Slukatan, 4 dari 5 warga yang kami temui mengaku tak pernah mendengar nama Kopi
Slukatan.
2.
Pada mulanya adalah
perbincangan dengan seorang teman yang didaulat menjadi Duta Wisata Wonosobo.
Saya bertanya adakah varietas kopi lokal yang ia tahu. Ia menjawab akan
menanyakannya di grup whatsapp
perkumpulan Duta Wisata. Tak sampai lima menit, ia memberi tiga nama. Pertama, kopi
Bowongso dari kecamatan Kalikajar. Nama ini adalah yang paling jamak disebut
sebagai produk kopi kebanggaan lokal. Kopi Bowongso sudah gampang ditemui di
kafe-kafe yang mulai tumbuh di sekitar alun-alun kota. Kedua adalah Kopi
Karangsari dari kecamatan Sapuran. Nama kopi ini baru pertama kali saya dengar.
Tapi sebab letaknya yang terlalu jauh dari pusat kota, saya memilih sejenak
mengabaikannya. Sementara nama yang ketiga adalah Kopi Slukatan. Ia berasal
dari Kecamatan Mojotengah yang relatif lebih dekat karena bisa ditempuh kurang 1
jam dari pusat kota.
Saya pun memutuskan untuk
mengunjungi Desa Slukatan demi menyicipi kopi desa tersebut. Sebelumnya, saya
berterima kasih pada teman-teman Duta Wisata. Nyatanya, Duta Wisata mampu
memberi lebih banyak faedah dibanding sekadar menjadi among tamu di Pendopo
Kota.
3.
Saya berangkat menuju Slukatan
bersama tiga kawan saya, Indra, Dede, dan Dika. Kami pergi ke sana naik sepeda
motor di mana Indra memandu di posisi paling depan. Jarak kota Wonosobo sampai
Desa Slukatan sebenarnya tak jauh-jauh amat. Kira-kira 15 kilometer. Hanya
saja, separuh dari jalur tersebut adalah jalan berbatu yang naik-turun. Yang
aduhai, perjalanan menuju Slukatan akan diselingi oleh pemandangan-pemandangan
yang menawan di kanan-kiri jalan. Setidaknya selama perjalanan, kita akan berjumpa
dengan Sungai Serayu, hamparan sawah hijau berlatar Sindoro-Sumbing, hingga
lembah Desa Slukatan yang hijau berbukit-bukit.
Sebenarnya hari itu kami sama
sekali tak tahu di mana tepatnya kami bisa mendapat kopi Slukatan. Kami tak
berbekal informasi tentang adakah semacam kedai kopi di sana atau siapa nama
petani kopi yang bisa kami temui. Maka, ketika kami memasuki Desa Slukatan,
kami memutuskan menyambangi dahulu Jembatan Gantung Slukatan yang beberapa kali
muncul di akun instagram @wonosobohitz. Harapannya, di jembatan tersebut kami
akan bertemu dengan seorang warga lokal yang tengah lewat atau sedang istirahat
untuk bertanya-tanya tentang Kopi Slukatan.
Warga lokal pertama yang kami
temui adalah juru parkir di area tersebut. Munculnya foto Jembatan Slukatan di
akun-akun instagram populer ternyata membuat kunjungan ke desa ini cukup
meningkat sehingga diputuskan bahwa desa memiliki juru parkir. Sayangnya sang
juru parkir mengaku tak tahu sama sekali tentang Kopi Slukatan.
Kami kemudian menuju ke arah
pemukiman warga di mana jalan masih tetap naik-turun berbatu namun pemandangan di
sisi jalan tak lagi dihiasi oleh bukit-bukit melainkan rumah-rumah. Kami
berhenti di depan sebuah warung sembako dan menanyakan perihal yang sama pada
tiga orang Ibu-ibu yang tengah bertukar cerita.
“Bu, nuwun sewu, kalau mau cari kopi Slukatan dimana nggih ?”, tanya saya setelah turun dari
motor.
“Kopi Slukatan? Kopi nggih kopi aja mas. Kalau kopi sih di sini ada. Kopi Kapal Api. Kapal
Api oke!”, jawab seorang Ibu.
“Yawla. Yang oke RCTI bu”, batin saya, agak kesal.
Kami mulai merasa janggal dan
meragukan keberadaan kopi Slukatan. Beruntung, kami kemudian berjumpa dengan
seorang Bapak yang tengah menikmati udara segar lewat jendela kamarnya sembari ngerokok
dan ngopi. Bapak itu memberi tahu kami tentang seorang petani kopi bernama Pak
Parman.
“Mungkin Mas sedang cari Pak Parman.
Silahkan balik arah ke arah masjid nanti ada jalan kecil di sebelah kanan.
Masuk saja ke sana lalu turun sampai di rumah paling mentok”.
4.
Ruas jalan ke arah rumah Pak
Suparman hanya selebar 1 meter dengan turunan yang cukup curam dan licin-berbatu.
Rumahnya benar-benar berada di ujung pemukiman, berdiri sendiri dengan tenang
dan bersahaja. Di depan rumah itu, kami bertemu dengan seorang lelaki paruh
baya berbadan gempal yang nampaknya tengah bersiap berangkat ke kebun.
“Nuwun sewu Pak, bisa
bertemu Pak Parman?”,
“Saya Pak Parman. Wah, dari
mana ini? Ada apa nggih?”,
“Dari Wonosobo juga Pak. Ingin
nyicipi kopi Slukatan”,
“Wah untung saya belum
berangkat ngarit (mencari rumput)”,
balasnya sambil tertawa lebar.
Ternyata tak ada kedai kopi di
Slukatan. Yang ada hanyalah rumah sederhana berdinding kayu-berlantai tanah
dengan pintu yang selalu terbuka lebar. Di dalam rumah itu, terdapat
ornamen-ornamen khas warga Nahdlatul Ulama. Kaligrafi Surat Yaasin dari kulit
hewan, foto para sesepuh kyai NU, hingga lukisan Baitul Makdis yang terpajang
gagah di atas pagar. Kami disambut oleh pasangan Suami-Istri Pak Parman yang mempersilahkan
kami duduk sembari menunggu mereka memasak air. Di depan kami sudah tersedia kudapan
ceriping, peyek, dan kue kering.
Sekitar 10 menit kemudian, Pak
Parman keluar dari dapur dengan membawa lima buah cangkir dan satu teko air
mendidih. Tak lupa dibawanya pula sebungkus kopi bubuk Slukatan yang telah
dikemas dengan gaya modern.
Kami sedikit heran mengapa kopi
yang telah dikemas menjadi produk seperti ini bisa tidak dikenali
warga-warganya. Maka sembari menyeduh kopi tubruk dengan cita rasa pahit yang
ringan, cenderung asam, dan agak manis ini, kami membicarakan pelbagai hal
tentang kopi Slukatan bersama Pak Parman.
Kopi Slukatan adalah jenis kopi
Arabika yang telah ditanam sejak tahun 1990. Dalam satu kali panen, desa
Slukatan dapat menghasilkan lebih dari 20 ton bijih kopi. Selama ini, kopi
Slukatan sebenarnya hampir selalu menjadi bahan utama untuk kopi campuran yang
dijual di pasar-pasar Wonosobo. Hanya saja, nama kopi Slukatan memang belum
terkenal karena belum dikemas secara kreatif oleh masyarakat desa. Keluarga Pak
Parman lah yang memulai pengemasan ini beberapa bulan lalu.
Kami pun mencoba menanyakan
perihal keterlibatan pemerintah Wonosobo dalam mengelola salah satu komoditas
potensialnya.
“Pemerintah tidak ikut membantu
Pak? Misalnya merencanakan Slukatan sebagai desa wisata agrikultur, begitu?”,
“Pemerintah dari dulu sebenarnya
sudah menawarkan mas. Tapi sumber daya manusianya yang nggak ada. Pemudanya masih kurang aktif mas di sini. La kalau ada teman-teman yang mau KKN
di sini mungkin nanti bisa berubah pemikiran warganya”, terang Pak Parman dengan
suaranya yang tegas tapi juga ramah.
Menyesap kopi di daerah dingin
begini, apalagi ditambah klethikan criping yang tak habis-habis, benar-benar membuat
kami betah berlama-lama. Pak Parman, meski harus menunda waktunya ke kebun,
ternyata tak nampak terganggu sama
sekali. Ia justru bercerita banyak tentang keluarganya yang turun temurun telah
jadi petani kopi. Salah satu anaknya kini juga membantunya mengolah bijih kopi
Slukatan dan menjadi sosok yang punya ide memasarkannya dengan gaya anak muda.
Kopi Slukatan telah beberapa kali mengikuti pameran hasil pertanian yang
diselenggerakan pemerintah Wonosobo dan Temanggung. Kopi ini dijual dengan
harga 250.000 rupiah per kilonya. Sejak mengikuti beberapa pameran, rumah Pak
Parman jadi kerap dikunjungi tamu-tamu dari luar kota. Dari sini, ia berharap
bahwa kopi Slukatan akan makin dikenal dan membuat anak-anak muda di sana bisa
hidup dari bertani.
“Kalau anak muda mau bertani
Mas, banyak sekali lo bantuan dari pemerintah yang bisa diminta. Mas-mas ini seharusnya
besok tua punya kebun sendiri. Boleh jadi sarjana sastra, boleh jadi insinyur,
boleh jadi apa saja, asalkan tetap jadi petani. Kalau nggak ya namanya menyia-nyiakan rezeki. Wong tanah kita bisa
ditanami apa saja”, ujarnya begitu mantap.
Saya menandaskan sisa kopi yang
tinggal seperempat cangkir saja. Tak
terasa, waktu telah beranjak sore dan dingin mulai menembus switer yang saya
kenakan sampai menyentuh pori-pori. Kopi terakhir yang saya seduh menghangatkan
kembali tubuh saya. Tapi saya harus segera berpamitan. Sebelum beranjak pulang,
kami berterima kasih sambil menanyakan harga kopi pada Parman.
“Mohon maaf Pak Parman, berapa
musti kami bayar ya Pak?”,
Kemudian ia menjawab “Nggak usah bayar Mas, gratis sesama
Wonosobo, bantu promosikan saja”, ujarnya, lagi-lagi sambil tertawa.
.
Wonosobo, 28 Desember 2017
0 komentar