PERTAMA, ORANG-ORANG YANG HANYA MEMBACA BUKU-BUKU TERE LIYE. KEDUA, ORANG-ORANG YANG MERASA TIDAK SUKA MEMBACA

Tak terasa sudah tahun 2018. Artinya, setahun sudah saya menjadi pelapak buku online. Melapak buku pun dimulai dengan posisi keterhimpitan yang keparat. Januari tahun lalu, nasib hidup saya benar-benar kecut. Skripsi belum selesai, beasiswa negara tak lagi cair, ditambah saya harus keluar kerja. Maka dengan gaji terakhir yang bahkan kurang dari UMR Jogja, saya nekat menggunakan uang tersebut untuk mengulak buku dan memulai bisnis online melapak. Kelak saya akan memberi nama lapak buku saya dengan nama Warung Sastra.
Satu tahun menjadi pelapak buku, mau tak mau membuat saya berinteraksi dengan banyak pembaca. Dari sekian banyak interaksi inilah, saya menemukan dua persoalan dalam dunia literasi yang masih jarang didiskusikan. Pertama, orang-orang yang hanya membaca buku-buku Tere Liye. Kedua, orang-orang yang merasa tidak suka membaca buku. Demi dunia literasi yang makin bergairah, dua tipe manusia ini sesungguhnya adalah insan-insan yang perlu kita ruqyah supaya move on. Saya menceritakan pengalaman bertemu dua tipe manusia tersebut dan bagaimana usaha memperkenalkan bacaan-bacaan baru pada mereka.

BUKU-BUKU UNTUK ORANG-ORANG YANG HANYA MEMBACA KARYA TERE LIYE

Saya memulai langkah melapak buku dengan membuat sebuah akun dagang instagram. Akun tersebut dulunya belum bernama Warung Sastra. Kau boleh percaya atau tidak, tapi saat itu saya memberi nama akun tersebut dengan @jualbukutereliye. Haha.
Selain karena keisengan, pemilihan nama @jualbukutereliye sebenarnya merupakan bentuk kesinisan dan pelampiasan hasrat kurang ajar saya pada apapun yang sedang disukai banyak orang, misalnya Game of Throneses krim matcha, juga penulis bernama ganjil ini. Tidak seperti kesinisan saya pada GoT dan es krim matcha yang hampir tidak beralasan, kesinisan saya pada Tere Liye diawali dengan pengalaman membaca karyanya yang berjudul Rx King yang Digeber Tak Pernah Membenci Knalpot Bombongan—maaf, maksud saya Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Kisah cinta dalam novel tersebut benar-benar menye dan picisan. Hasilnya, ia sama-sama membosankannya dengan anak muda yang percaya indahnya pacaran setelah menikah.
Tak disangka, di bulan pertama saya menjual buku, saya mampu menjual lebih dari 30 eksemplar buku. Angka ini tentu tak buruk bagi seorang pelapak kelas newbie. Adapun lebih dari separuh buku tersebut adalah buku Tentang Kamu karya Tere Liye. Pada awalnya saya cukup bergembira.  Diawali dengan keisengan, ternyata berbuah hasil juga. Tapi setelah berpikir panjang, saya malah prihatin sendiri. Apakah penggemar Tere Liye memang sebanyak itu sampai akun instagram dengan nama semenjijikkan ini plus bermodal foto-foto dari google pun tetap mendapat jatah pembeli?
Saya pun mengingat pengalaman beberapa tahun belakangan. Saya telah berpuluh kali bertemu orang yang begitu memuja Tere Liye. Dan kesalnya, setiap kali kami mendiskusikan perihal sastra, ia akan selalu mengembalikan obrolannya ke karya-karya Tere Liye. Jangankan sastra, bahkan seandainya saya bicara tentang cawat Neptunus pun, barangkali ia akan kembali ke Tere Liye.
Akhirnya, saya pun memutuskan mengganti nama akun tersebut dan tidak lagi menjual karya-karya Tere Liye. Sebaliknya, saya memiliki misi untuk memberi alternatif bacaan baru pada para fans garis kerasnya. Tentu ada alasan lain yang lebih masuk akal di balik keputusan tersebut. Tetapi sebelum berlanjut ke situ, saya ingin memberikan beberapa rekomendasi buku yang sering saya berikan pada mereka:

1. RADEN MANDASIA PENCURI DAGING SAPI KARYA YUSI AVIANTO PAREANOM.


Buku tentang pengembaraan Raden Mandasia, Sungu Lembu, dan Loki Tua menuju kerajaan Giling Wesi. Mereka bertiga akan mengajak kita beradu maut di tempat-tempat yang mendebarkan: desa yang melarang penyebutan warna, samudra dengan badai terkejam, gurun pasir yang karena saking luasnya hanya dinamai ‘gurun’ saja, hingga kerajaan dengan penduduk paling kreatif dalam mengeksekusi hukuman mati.
Salah satu hal paling menakjubkan dalam novel ini adalah kemampuan Yusi Avianto Pareanom meminjam puluhan kisah epik: sejarah Majapahit, legenda Tangkuban Perahu, Rara Mendut, petualangan Sindbad, kisah Nabi Yunus, penyaliban Yesus, kecantikan Ratu Balqis, dan wabah black death, untuk melebur dalam satu kisah utuh yang menakjubkan.
2. TETRALOGI BURU KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

Minke, tokoh utama dalam novel ini, adalah seorang priyayi jawa yang berbakat dan menekuni dunia tulis menulis. Dengan bakatnya tersebut, ia berusaha membela kepentingan orang-orang yang tertindas di bawah kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Dalam mengasah bakat dan kesadaran politiknya, Minke disokong oleh “guru-gurunya” yang berlatar belakang beragam: Nyai Ontosoroh dari Jawa, Khouw Ah Soe dari China, Miriam de la Croix dari Prancis, bahkan Khommer yang berasal dari Belanda.
Tetralogi Buru adalah novel Indonesia pertama yang menceritakan proses bangkitnya kesadaran berbangsa. Novel ini menjadi bacaan wajib bagi kita untuk menelusuri kembali identitas Indonesia, identitas yang terbentuk oleh pengaruh berbagai bangsa.
3. ULID TAK INGIN KE MALAYSIA KARYA MAHFUD IKHWAN

Lerok, sebuah desa yang sebagian besar warganya berprofesi sebagai petani bengkoang dan penambang gamping, mengalami perubahan drastis sejak warganya mendapat tawaran kerja menjadi TKI di Malaysia. Semua orang merayakan Malaysia. Kecuali Ulid, seorang bocah cilik yang merasa teman-teman terdekatnya  dan Bapaknya sendiri telah direnggut oleh negeri tersebut.
Dari sekian banyak karya Mahfud Ikhwan, buku ini mungkin menjadi bukunya yang paling kurang terkenal. Padahal, buku ini dengan luar biasa mampu menceritakan perubahan corak sosial masyarakat Indonesia era orde baru dari sudut pandang yang segar. Uniknya lagi, isu yang nampaknya serius ini dinarasikan lewat kacamata seorang bocah cilik yang lugu, yang pada akhirnya membuat cerita menjadi nampak begitu jujur dan tidak tendensius.

Saya sebenarnya ingin menulis beberapa judul buku lain seperti Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan atau Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Nama-nama tersebut saya kira juga penting untuk dikenal anak-anak muda kita. Tetapi nampaknya, akan lebih penting jika saya melanjutkan penjelasan tentang keputusan tidak menjual buku Tere Liye.
Kebijakan Warung Sastra untuk tak lagi menjual karya Tere Liye sebetulnya tak sesederhana persoalan selera pribadi saja. Lebih dari itu, keputusan ini adalah bentuk perlawanan kecil terhadap permasalahan selera baca masyarakat yang dibentuk pasar. Kita tentu tahu, setiap kali masuk ke gramedia atau toko-toko buku besar lain, kita akan selalu melihat satu tempat, paling depan, paling strategis, di mana puluhan judul buku Tere Liye dipajang bertumpuk seolah merupakan buku terpenting umat manusia. Karya-karya Tere Liye bagi saya dijual overrated. Hal ini berujung pada terbentuknya selera baca masyarakat yang cenderung monoton.
Meskipun demikian, perlu kita akui bahwa karya-karya Tere Liye sebenarnya telah membuat banyak orang suka membaca. Maka, daripada hanya mencacat selera baca mereka, bukankah lebih baik jika kita menawarkan solusi dengan memperkenalkan bacaan-bacaan alternatif yang lebih segar dan bermutu?
Saya juga berpikir, apakah orang-orang seperti saya—yang baru membaca satu karyanya—berhak menghakimi seorang fans Tere Liye sebagai pembaca berselera rendah? Tentu saja tidak. Malah snob dan konyol kan?
Bagaimanapun, akan lebih baik jika kita memberi referensi-referensi baru bagi siapapun yang terjebak pada zona nyamannya. Sesudah itu, biarkan seseorang menilai sendiri adakah karya yang jauh lebih penting daripada karya yang diidolakan sebelumnya.

BUKU-BUKU UNTUK ORANG YANG MERASA TIDAK SUKA MEMBACA

Di zaman kiwari di mana informasi mengalir begitu deras dan hampir tak terkendali, kemampuan membaca adalah kebutuhan primer yang dibutuhkan setiap orang. Sebagai sebuah proses melatih diri untuk menangkap informasi secara utuh, kemampuan membaca selayaknya dimiliki siapapun demi menghindarkan diri dari mudarat hoax atau mal-interpretasi atas apa yang dibaca. Persoalannya, banyak sekali orang-orang di sekitar kita, bahkan yang paling dekat, yang merasa bahwa mereka tidak suka membaca.
Satu tahun terus berkutat dengan buku-buku memberi saya pengalaman baru dalam usaha membuat orang-orang terdekat saya menjadi suka membaca. Buku-buku di bawah ini adalah beberapa judul pilihan yang saya rekomendasikan:

1. PARA BAJINGAN YANG MENYENANGKAN KARYA PUTHUT EA

Buku karya Puthut EA ini merupakan memoar persabatan Puthut bersama lima teman kuliahnya yang hobi judi dan mabuk-mabukan. Mereka membuat sebuah komplotan bernama Jackpot Society yang merupakan plesetan dari judul film Dead Poets Society.
Para Bajingan yang Menyenangkan penuh dengan tokoh yang jauh dari konsep ideal seorang teladan. Mereka adalah para pendosa yang gemar misuh dan kerap melanggar norma-norma masyarakat. Persoalannya, semua tokoh di sini memiliki satu pandangan yang begitu kuat dalam menghargai persahabatan.
Saya pernah memberikan buku ini untuk adik saya sendiri. Adik saya adalah gambaran sejati seorang gondes nom-noman. Ia anak SMK jurusan otomotif yang sejak dulu tak suka belajar apalagi membaca, ranking 35 dari 36 siswa, hobi touring dan sesekali balap liar, bahkan sempat jadi anak reggae. Apa yang terjadi ketika saya memberikan buku tersebut? Ia menyelesaikan buku ini dalam waktu kurang dari sehari. Setelah itu, ia bahkan meminta saya untuk sering-sering memberikannya buku baru.
2. MERASA PINTAR BODOH SAJA TAK PUNYA KARYA RUSDI MATHARI

“Kenapa yang harus dihormati hanya orang yang berhaji? Kenapa orang yang salat tidak dipanggil pak Salat? Orang yang puasa dipanggil Pak Puasa? Orang yang berzakat, Pak Zakat?” – Cak Dlahom (Halaman 137)”
Nasihat-nasihat à la sufi yang seringkali terlalu menggurui, dalam buku ini justru disampaikan oleh Cak Dlahom, tokoh yang mirip orang gila. Hasilnya tentu berbeda dengan ceramah-ceramah yang seringkali sok bijak. Buku ini berisi kisah-kisah yang mengocok perut tapi juga menyentil nurani. Membaca buku ini juga mengajak kita merenungkan kembali praktik kita dalam beragama yang seringkali keminter.
Suatu hari, saya memaketkan buku ini pada adik piara saya—adik angkat ketika KKN—di Pulau Obi, Maluku Utara. Ia seorang gadis SMA yang tertarik pada ilmu agama. Ia misalnya selalu membaca Al-Qur’an setiap hari. 1 bulan setelah paket tersebut dikirim, adik piara saya menelfon dan bercerita telah membaca buku tersebut tiga kali. Kami bahkan mendiskusikan cerita-cerita mana yang paling kami sukai. Saya menyukai cerita  ketika Cak Dlahom menyampaikan filosofi garam di air telaga, adik piara saya menyukai cerita saat seluruh desa kebingungan melihat Cak Dlahom menangis berhari-hari di depan makam tetangga miskinnya. Setelah panjang lebar bercakap tentang buku ini, ia berkeluh tentang sesalnya tak pernah membaca cerita. “Kakak, kalau ada rezeki lagi, jang lupa kasi kirim adik buku lagi e!”, mintanya sambil tertawa kecil.
3. MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI

Dalam buku yang berisi 15 cerpen ini, Ahmad Tohari menceritakan pada kita tokoh-tokoh golongan bawah dengan segala lika-likunya menghadapi kerasnya hidup. Ia misalnya menceritakan tokoh pengemis yang buta, keluarga gelandangan yang tinggal di bekas toilet terminal, seorang lansia yang takut menyeberang jalan, hingga orang desa pelaku pesugihan.
Saya pernah memberikan buku ini pada seorang kawan lama yang kini menjadi buruh cuci mobil di Bekasi. Selang seminggu, ia menelfon saya. Kami pun membicarakan nasib sial tokoh-tokoh di buku ini yang kami bandingkan dengan nasib kami sendiri. Cerpen-cerpen Ahmad Tohari adalah refleksi dari kehidupan rakyat yang serakyat-rakyatnya. Bagi orang-orang yang sejak lahir hingga hari ini tak kunjung merasakan hidup yang mudah, cerpen-cerpen Ahmad Tohari seolah mengajak kita berdialog untuk saling merutuki nasib.

Ada beberapa hal yang selalu saya pertimbangkan sebelum memberikan buku pada seseorang. Pertama, saya melihat latar belakang mereka. Untuk orang seperti adik saya yang hidup di lingkungan geng remaja yang solid dan nakal, buku Para Bajingan yang Menyenangkan tentu akan lebih pas dibanding Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya atau Mata yang Enak Dipandang. Pun sebaliknya.
Kedua, saya melihat bagaimana gaya penulisan buku tersebut. Buku-buku yang telah saya sebut di atas, sebenarnya memiliki gaya penulisan yang mirip. Ketiganya dinarasikan dengan bahasa yang sederhana. Sebagian orang yang mengaku tidak suka membaca, sebenarnya adalah orang-orang yang kadung menganggap bahwa karya sastra adalah karya yang adiluhung. Sastra bagi mereka adalah melulu rangkaian kata yang ndakik dan berbelit-belit. Padahal, ada karya sastra seperti milik Puthut EA, Rusdi Mathari, atau Ahmad Tohari yang justru ditulis dalam bahasa keseharian yang biasa-biasa saja.
Ketiga, saya mesti memastikan bahwa buku-buku yang saya berikan adalah buku yang pernah saya baca. Melalui pengalaman tersebut, setidaknya saya dapat memastikan bahwa buku-buku yang saya berikan adalah buku-buku yang mengajak kita merenung. Selain itu, dengan sudah membacanya, kita juga bisa mendiskusikan isi buku ini untuk bertukar pikiran. Tentu setelah mereka selesai membaca.
Jika seorang gondes, gadis pelosok Maluku, atau seorang buruh cuci mobil saja bisa menyukai membaca, bukankah ini berarti bahwa membaca bisa disukai siapa saja? Saya sih malah percaya, sebenarnya tak ada orang yang tak suka membaca. Mereka hanya belum bertemu buku yang memperkenalkan mereka dengan asyiknya membaca saja.

Wonosobo, 7 Januari 2018

Share:

0 komentar