[WAWANCARA] Ronny Agustinus: Punya Sikap Terhadap Isu Sosial itu Penting bagi Film Dokumenter


Ia lebih dikenal sebagai penerjemah dan pengamat karya-karya sastra Amerika Latin. Karya-karya terjemahannya bisa diakses dengan mudah di kanal blognya hingga lewat buku-buku yang sudah diterbitkan oleh berbagai penerbit. Termasuk oleh Marjin Kiri, penerbitan yang ia kelola sejak tahun 2005 dan dikenal luas salah satu penerbit Indonesia terbaik yang menerbitkan puluhan kajian kritis di bidang sosial-politik, budaya, ekonomi, sejarah, maupun sastra.

Meski lebih terkenal sebagai aktivis di dunia perbukuan, di penghujung tahun ini, ia dipercaya menjadi juri di Festival Film Dokumenter (FFD), Yogyakarta. Bersama dengan Anna Har (direktur Freedom Film Fest) dan Sandeep Ray (dosen University of Wisconsin), ia didapuk untuk menjadi juri pada kategori film dokumenter panjang (feature length documentary).

Pada pagelaran FFD hari kedua, tepatnya 11 Desember 2017, saya bertemu dengannya di depan Taman Budaya Yogyakarta. Kami mengobrol selama kurang lebih 30 menit. Sambil minum kopi rempah, ia bercerita terkait keterlibatannya dalam FFD 2017, komentarnya tentang ekosistem film dokumenter di Indonesia, hingga harapan-harapannya terhadap perfilman Indonesia yang seringkali paradoksal: menggantung di antara rasa optimis dan pesimis.
Berikut wawancara lengkapnya:

Anda kan lebih dikenal sebagai penerjemah dan penerbit, Bung. Bagaimana Bung kemudian dipercaya menjadi juri FFD?

Saya sendiri tentunya kurang tahu pertimbangan panitia, tapi begini: sebelum dikenal sebagai penerjemah dan penerbit, bagaimanapun lingkaran saya tidak jauh-jauh dari seni visual dan film. Saya ikut mendirikan Ruangrupa dan meski sudah lama saya tidak aktif, tapi sempat beberapa kali menulis untuk perhelatan OK Video mereka—mungkin pameran seni video dan media baru yang pertama dan paling rutin di Indonesia. Lalu seorang kawan lama saya yang juga salah satu pendiri Ruangrupa, Hafiz, mendirikan Forum Lenteng dan menggelar Arkipel, festival film eksperimental dan dokumenter di Jakarta. Di Arikipel saya dipercaya mengurasi film-film tentang Amerika Latin, karena sangat berkaitan dengan fokus dan minat saya. Saya juga dua kali diminta menjadi juri kompetisi di Arkipel. Di FFD juga sebenarnya sudah kedua kalinya saya menjadi juri. Yang pertama kali tahun 2015. Mungkin mereka puas dengan pertimbangan-pertimbangan dan penilaian saya. (tertawa)

Saya sering membaca blog Bung Ronny, sastraalibi.blogspot.com. Bung sebenarnya cukup sering mengulas tentang film, khususnya film-film Amerika Latin. Jadi sebenarnya Bung sudah lama ya mengkaji dan menyukai film?

Tentu. Saya akan heran kalau ada orang nggak suka film. Terlepas dari apa yang ditontonnya, saya pikir semua orang suka film sebagaimana semua orang juga menyukai musik.

Dari 43 film dokumenter panjang yang masuk FFD, kriteria apa yang digunakan untuk menyaring lima besar?

Kalau untuk soal ini saya kurang tahu karena tim juri hanya diserahi 5 besar film untuk dinilai. Sementara 43 film sebelumnya sudah diseleksi oleh tim kurasi.

Tidak ada film Indonesia yang masuk 5 besar. Ada komentar?

Ini juga menjadi pertanyaaan dan keheranan awal para juri. Tapi panitia menegaskan kalau memang tahun ini tim kurasi menganggap tidak ada film dari Indonesia yang layak masuk. Aku pikir ini justru bagus untuk menjaga integritas festival ini. Seleksi di festival ini tidak seperti Piala Dunia yang meloloskan begitu saja tuan rumah hanya karena ia tuan rumah. Jadi dalam satu hal FFD sebenarnya lebih berintegritas daripada Piala Dunia. (tertawa)

Kriteria film dokumenter seperti apa yang diharapkan juri?

Kurator atau tim sebelumnya telah menyerahkan kepada kami kriteria apa yang harus dinilai. Misalnya kepaduan teknik, riset, plot dasar, pengembangan ide, dan sebagainya. Aku pikir dari pengalamanku sebagai penerbit buku non-fiksi, film dokumenter itu pada prinsipnya seperti buku non-fiksi. Ia harus mengedepankan fakta meskipun cara narasinya boleh memakai berbagai teknik.
Teknik narasi akan terus berkembang dan perkembangannya sangat terasa di FFD tahun ini. Kalau dibandingkan pengalamanku dua tahun lalu, cara-cara bercerita di film-film tahun ini sangat berbeda dengan film dua tahun lalu yang bisa dibilang masih konvensional.

Misalnya tahun ini ada film dokumenter tentang seorang fotografer Jerman karya sutradara Prancis yang dibuat dengan dialog-dialog imajiner seperti di fiksi, meskipun yang ia narasikan itu hal-hal yang aktual.

Film dokumenter kerap identik dengan advokasi. Seberapa penting advokasi dalam sebuah film dokumenter? Haruskah film dokumenter mengadvokasikan suatu isu?

Dalam pandanganku secara pribadi, setiap seniman harus punya sikap terhadap suatu isu. Apakah itu dengan serta merta tercermin secara lugas atau disampaikan secara lebih subtil dalam sebuah karya, itu persoalan berbeda dan pilihan masing-masing. Seperti tadi kubilang, film dokumenter itu seperti buku non-fiksi. Ada buku-buku yang dibuat untuk proses advokasi, bahkan propaganda dan agitasi. Ada pula yang ditulis dengan maksud kritis tapi ditulis dengan cara ilmiah dan lebih dingin. Itu adalah pilihan yang bisa diambil. Tapi apakah setiap dokumenter harus mengadvokasikan sesuatu? Saya pikir nggak. Tapi punya sikap terhadap permasalahan sosial itu sangat penting.

Tiga film dokumenter rekomendasi Bung?

Aku akan bilang Battle of Chile, dokumenter tentang masa-masa usaha penumbangan Allende oleh Pinochet. Patricio Guzmán merekam semua kejadian itu. Aku pikir penting untuk ditonton karena banyak yang bisa terungkap dari situ terkait banyak hal, bukan hanya soal gerakan kiri.
Terkait dengan FFD kali ini dan karenanya bisa ditonton langsung, coba tonton film-film Mark Rappaport dalam retrospeksinya.

Aku harus kasih contoh Indonesia ya. Mungkin ini bukan yang terbaik tapi isunya sangat penting untuk ditonton. Tanah Mama, film tentang perjuangan perempuan Papua untuk bisa mempunyai tanah sendiri. Meskipun isunya spesifik perempuan Papua, tapi aku pikir film ini perlu ditonton masyarakat patriarkis di mana saja.

Bicara soal ekosistem perfilman dokumenter, saat ini nampaknya masyarakat Indonesia masih sulit untuk mengakses film dokumenter. Televisi Indonesia yang menyiarkan film dokumenter juga belum banyak.

Aku pikir ini terjadi juga di kesenian lain. Baik teater, buku, dan lain sebagainya. Tapi kan festival semakin marak ya. Kita sekarang harus berpikir bahwa masyarakat itu semakin kompleks dan besar. Jadi kurasa kita tidak perlu meratap ketika film kita hanya ditonton 20-30 orang di satu kota. Memang dalam hitung-hitungan bisnis akan terlihat menyedihkan, tapi minat orang semakin beragam dan ketika bioskop mainstream tidak bisa mewadahi itu ya kita juga tidak perlu menuntut mereka untuk itu. Teknologi juga makin maju, manfaatkan. Kemampuan dan kesempatan untuk membikin acara-acara (festival) macam ini juga makin semudah.

Penonton yang lebih banyak dan luas sebenarnya juga bisa berusaha dijangkau dengan misalnya Youtube. Tapi aku pernah meriset tentang ini, ternyata media alternatif seperti internet yang dulu diyakini akan membuat karya semakin mudah tersebar ternyata ya tidak semulus yang dikira. Logika selera pasar tetap ada. Misalnya, beberapa video performing art yang pernah diunggah di youtube ternyata jumlah penontonnya jauh lebih sedikit dibanding video tutorial atau vlog-vlog seleb tertentu.

Sekarang kita bicara perfilman Indonesia secara umum ya. Di masyarakat kita, film terlihat jauh lebih popular dibanding karya sastra. Tapi mengapa buku tentang kritik film lebih susah dicari dibanding buku tentang kritik sastra?

Kritikus film kita tampaknya memang masih sedikit ya, pendidikan dan kajian khususnya di perguruan tinggi juga sangat terbatas. Dan ketika masuk di zaman sekarang ini, posisi mereka sudah langsung diambil alih oleh internet, karena ulasan di internet lebih cepat memberi efek popularitas ke filmnya sendiri dan kepada persepsi penonton juga. Buku kritik film jadi susah.

Di tahun 2017, nampaknya ada hawa positif dari perfilman Indonesia. Dapat kita lihat dari banyaknya film Indonesia yang dianggap sebagai film bermutu. Sebut saja Marlina, Turah, Posesif. Apakah ini pertanda bahwa perfilman kita sedang menuju arah yang baik?

Saya suka mengutip Gramsci bahwa kita perlu bersikap optimis dalam berkarya dan pesimis dalam berpikir. Kalau kita berbuat dan berkarya terus, menghasilkan karya-karya bagus sambil memperbaiki apa yang kita anggap kurang bagus –baik di film, buku, dll—saya percaya hasilnya pada akhirnya akan terlihat juga. Harapan dan pandangan optimisnya sih, maraknya film Indonesia belakangan dan larisnya film Indonesia juga akan berpengaruh ke film-film independen juga. Akan banyak investor yang tertarik untuk membiayai film-film kita.

Pertanyaan terakhir. Saya mengamati bahwa film-film bioskop India sangat berani menghadirkan realita sosial-politik dengan sangat gamblang. Sebut saja bagaimana film India berani menghadirkan sosok polisi yang korup, polisi yang dikendalikan mafia, dan sebagainya. Sementara di film Indonesia, polisi dan politikus selalu ditampilkan sebagai sosok yang baik. Apa pendapat Bung Ronny tentang sensor-sensor seperti ini?

Aku selalu menjawab bahwa semua permasalahan sosial kita ini berpangkal dari ‘65. Ketika orang tanya kenapa ilmu sosial kita terbatas seperti ini, kenapa film kita seperti ini, kenapa politik kita seperti ini, kenapa di India bisa begitu, kadang jawabannya bermuara ke pokok soal yang sama.
Sejak ‘65 semua gerakan kritis kita sudah habis, digantikan oleh para pengabdi rezim yang efeknya masih terasa sampai sekarang, termasuk ke para filmmaker. Nggak mudah untuk menghapus tabu-tabu yang diturunkan bertahun-tahun ke filmmaker kita. Filmmaker kita dari dulu dibatasi tentang apa yang boleh tampil dan apa yang nggak.

Ada juga arogansi kekuasaan yang belum terhapus. Persoalannya, kita nggak pernah seperti revolusi Prancis yang bisa memenggal raja. Begitu raja dipenggal, orang-orang biasa akhirnya bisa melihat bahwa kekuasaan bisa dirobohkan. Pasca ’98, Soeharto itu bisa disebut lolos sebenarnya karena tak pernah ditetapkan sebagai penjahat. Akhirnya kekuasaan ya masih saja arogan.


Share:

0 komentar