[CERMIN] Habis Gelap Tidak Terang-terang



Ada satu-dua-tiga-dst hal yang sangat saya nikmati dari pekerjaan saya. Dan salah satunya adalah letak kantornya.

Kantor ini terletak di Desa Tanjungwangi, Subang. Kota kelahiran @kaniasard yang tadinya saya kira hanya diketahui pribumi Subang dan Gusti Allah. Seperti nampak di foto, kantor ini terletak tepat di sebelah sungai. Jadi selama bekerja, kau bisa mendengar suara alirannya yang gemericik, aduhai, dan menyegarkan. Kalau bosan bekerja, kamu bahkan bisa langsung mancing ke depan. Biasanya, di sela-sela jam kerja, saya izin sebentar untuk merokok sambil melihat arusnya.

Tapi sebagaimana kita tahu, tak ada yang tak kecu dalam hidup. Setelah menikmati 8 jam kerja yang banyak main dan diskusinya, saya harus kembali ke rumah yang membuat saya lebih suka kerja daripada istirahat, lebih suka ramai daripada sendiri, lebih suka Jogja daripada Subang.

Rumah saya di sini adalah rumah yang disewakan lembaga untuk tempat tinggal saya. Seperti halnya kantor, rumah ini juga terletak di sebelah sungai tapi dengan ukuran yang lebih kecil. Letaknya dengan tetangga terdekat sekitar 10 meter. Lumayan jauh. Sehingga yang bisa saya dengar selama berada di dalam hanyalah deras arus.

Awalnya saya senang dengan rumah ini. Sudah gratis, jauh dari keramaian pula. Saya pikir ini tempat yang sempurna untuk melepas penat dan membaca buku.

Tapi semua bayangan itu keliru.

Dimulai dengan perasaan tidak enak sejak melihat almari tua yang mirip pintu ke Narnia, saya makin mikir aneh-aneh sejak tahu ada 3 kamar di rumah itu dengan dua kamar yg kosong - satu kamar di tengah adalah kamar saya.

Satu kamar yang membuat saya tak habis pikir adalah kamar paling pojok, tepat di sebelah almari. Kamar itu berukuran memanjang 1 x 3 meter. Mirip lorong. Anehnya, kamar itu tak punya jendela dan benar-benar mirip ruang isolasi penjara. Saya sempat memasukinya dan mendadak mual. Saya tak membayangkan jika saya mencoba duduk di dalamnya, 5 menit saja. Mungkin saya akan merasa seperti sedang tidak di dunia.


Ruang tengah rumah ini juga kelewat luas. Di pojok ruang dekat pintu ke dapur, ada satu meja makan bundar yang dikelilingi 4 kursi. Letak meja dan kursi itu terlalu mojok dan rasanya sangat tak nyaman seandainya saya harus makan malam di sudut itu. Belum lagi lampu kamar mandi dan dapur tak bisa dinyalakan meskipun sudah diganti. Listrik pun sempat anjlok sendiri, padahal saat itu saya hanya menyalakan lampu kamar. Tanpa laptop, tanpa cas HP.

Lucunya, tiap berada di kamar, saya bisa merasa tenang. Aura kamar yang saya tempati berbeda sekali dengan ruang-ruang di sekitarnya. Mungkin karena pencahayaan di kamar saya yang cukup terang.

Tapi begitu keluar ke ruang tengah meski cuma sejengkal, saya langsung merinding. Sempat saya paksa duduk 10 menit di sana, kepala saya pening tidak karuan. Ya sudah lah akhirnya saya tinggal tidur saja. Eh la kok, tiap satu atau dua jam saya terbangun. Kenapa? Karena rep-repan dan mimpi kecu.

Mimpi saya kira-kira begini. Saya terbangun dari tidur, lalu keluar menuju ruang tengah. Anehnya, di ruang itu semuanya basah. Dimana-mana air menggenang, agak kehitaman. Lalu dinding penuh lumut dan kerak. Seperti rumah kosong yang baru digampar banjir. Lalu di pojokan sana, dekat pintu menuju kamar mandi dan di sebelah meja makan, seorang yang buruk rupa dengan pakaian serba hitam berjalan ngesot, menatap saya dengan tatapannya yang pedih. Setelahnya, saya tak ingat apa-apa lagi kecuali saya langsung terbangun dengan tubuh berkeringat.

Di sela-sela kepanikan itu, akhirnya saya memaksakan diri membaca buku biografi Karl Marx. wqwqwq. Absurd memang. Tapi cukup menghibur diri yang immateralis ini.

Akhirnya saya merasa cukup berada di situ dua malam saja. Sebab, tinggal di situ membuat saya merasa malam terlalu panjang dan terang tak kunjung datang.

Di hari ketiga saya berada di Subang, saya minta ngungsi ke salah satu rumah staf desa. Ketika mendengar hal tersebut, alih-alih merasa kesal, orang-orang desa justru menertawakan saya bareng-bareng. Beruntunglah hamba yang akhirnya bertemu dengan Pak Odang, ketua Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) Desa Tanjungwangi yang sejak itu jadi papa piara saya hingga hari ini, he he he.


Ketika di hari ketiga saya tidur di rumah Pak Odang, di hari itulah saya bisa tidur nyenyak untuk pertama kalinya. Saya bahkan yakin saat itu saya tertidur sambil tersenyum. wqwq. Dan ketika pada akhirnya terbangun dengan sangat segar di pagi hari, saya langsung berpikir: mungkin begini rasanya khusnul khotimah.

Tanjungwangi, 15 Maret 2018

Share:

0 komentar