MENGGUGAT THANOS, EKOSOFIS IMBESIL DENGAN 6 AKIKNYA


“Pantas Thanos ingin menghabisi setengah makhluk hidup ya!”

Saya tengah terjebak macet Kota Bandung ketika keluhan itu keluar dari mulut saya. 30 menit sebelum berada di angkot ini, saya baru saja menonton Avengers: Infinity War dan masih hangover setelah melihat Thanos mengosak-ngasik para superhero hingga mereka keruntang-pungkang dan depresi.
Kali ini giliran saya yang depresi. Siapapun yang sering bepergian di kota ini tentu tak asing lagi dengan kemacetan kota yang sudah pilih tanding dengan kemacetan Jakarta. Perjalanan yang harusnya bisa kita tempuh dalam 10 menit, bisa-bisa belum tuntas setelah satu jam. Parahnya, macet ini membuat kita tak mungkin lagi percaya bahwa dunia akan jadi lebih baik. Jumlah penduduk kota makin bertambah, sementara pertumbuhan ruas jalan tak sebanding. Di sisi lain, ekspansi pasar mobil dan motor telah mencapai titik gila-gilaan yang membuat siapapun bisa punya kendaraan pribadi. Bagaimana menguraikan masalah ini? Dengan walikota gaul yang konon jenius itu pun masalah ini sama sekali tak nampak lebih baik. Tambah parah, iya. Lalu bagaimana mengatasinya?
Seperti kata Thanos: habisi setengah makhluk hidup! Cepat, singkat, adil pula. Tak pandang ras, tak pandang kaya-miskin, bahkan tak pandang kualitas iman. Semua sama di mata Thanos: layak lenyap.
Tapi seketika saya terkesiap ketika lewat di depan Pasar Gandok. Tiba-tiba saya teringat bapak-emak saya yang juga seorang pedagang pasar.  Lalu saya membayangkan seandainya mereka jadi salah dua korban Thanos. Sungguh tidak adil jika mereka harus lenyap dari muka bumi karena dianggap membuat dunia tidak seimbang. Apa dosa orang-orang desa macam bapak-emak saya? Mereka yang tiap hari tandhur, makan secukupnya, tidak pernah menyerap sumber daya alam berlebih, dan rajin sholat pula, bukankah sosok-sosok yang justru membuat dunia jadi lebih baik?
Baiklah, saya mulai meragukanmu meski belum sepenuhnya tak setuju dengan idemu, Thanos! Tapi saya mulai curiga, jangan-jangan selama perjalanan langlang buanamu mengelilingi planet-planet, kau hanya hanya turun di kota-kota besar saja? Jangan-jangan kau hanya tahu tempat-tempat macam Bandung atau New York? Jangan-jangan kau hanya seorang bocah metropolitan Titan yang sama sekali tak tahu ada tempat yang tentram macam Nglipar atau Kalipetung?
Di titik inilah saya mulai mempertanyakan ide besar Thanos. Darimana Thanos mendapat ide segila itu? Keheranan saya datang sebab pertama, Thanos bukan seorang psikopat. Tak seperti Joker dalam Batman atau Hidan dalam Naruto, Thanos tidak membunuh untuk bersenang-senang. Hal ini terlihat misalnya ketika Thanos tak segera meremukkan kepala Thor di fragmen pertama Infinity War. Kedua, Thanos nampaknya tak punya masa lalu yang kelam-kelam amat. Sebagian besar villain, kita tahu, adalah tokoh-tokoh dengan masa lalu sangat kelam yang akhirnya memilih menjalani sisa hidupnya dengan merusak dan membalas dendam. Bukankah kisah “pengkhianatan” Gamora terhadap Thanos juga bukan kisah cinta yang pedih-pedih amat? Kalau Thanos mau merenung sedikit, kepergian Gamora bahkan tak pantas disebut pengkhianatan. Kita tahu, Gamora pergi bukan untuk bergabung dengan pihak lain. Gamora pergi semata karena ia muak dengan orang tua asuh yang hanya mendidik anaknya untuk adu jotos dan bahkan menyiksanya sedari kecil.
Jikalau Thanos benar memiliki masa lalu kelam, satu-satunya hal yang menurut saya paling masuk akal adalah pengalaman Thanos ditertawakan orang-orang seplanet Titan karena idenya.
Masalahnya, apakah Thanos memang tidak layak ditertawakan untuk ide fantastisnya tersebut? Kita mungkin masih bisa memaklumi jika misalnya Thanos mendapat ide itu dari wahyu kitab kuno atau  kitab suci. Tapi kita tahu, Thanos tak berpijak pada hal tersebut, apalagi kajian ilmiah.
Maka saya mulai memikirkan hipotesis selanjutnya: alasan ideologi.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, kita tak asing lagi dengan orang-orang yang melakukan banalitas kejahatan macam Thanos atas nama filsafat atau ideologi. Pol Pot misalnya, tokoh yang membantai dua juta rakyat Kamboja atas nama kesetaraan kelas ini adalah penganut komunisme agrarian. Ia percaya bahwa pada dasarnya manusia harus hidup tanpa sekat kelas dan setiap orang harus mengolah tanah dengan cara yang adil. Bagaimana cara mencapai tujuan itu? Paksa orang untuk jadi petani. Kalau tak mau, bunuh saja. Siksa mereka pelan-pelan sampai akhirnya mati. Daftar nama ini tentu masih bisa bertambah jika kita menyebut ideolog lain seperti Adolf Hitler dengan antisemitisnya atau Abu Bakr Al-Bahgdadi dengan kekhilafahan ISIS-nya.
Pertanyaan selanjutnya, apa ideologi Thanos sebenarnya?
Setelah merenung beberapa saat, saya menyimpulkan bahwa Thanos adalah seorang penganut ekosofi, yaitu sebuah aliran filsafat yang berusaha memahami sebab-musabab terjadinya ketidakseimbangan di alam semesta. Aliran ini dipelopori oleh filsuf sekaligus aktivis lingkungan asal Norwegia bernama Arne Naess (1912-2009). Naess sebagaimana para ekolog sebelumnya, meyakini bahwa perkembangan peradaban tidak berbanding lurus dengan bijaknya manusia dalam memahami alam.
Ia selanjutnya menganggap penyebab utama dari fenomena ini adalah pencerahan abad 18 yang menjadikan manusia sebagai pusat dari kehidupan. Filsafat cartesians yang menjadikan rasio sebagai pusat dari subjek juga dianggap sebagai bibit dari gagasan antroposentris, yaitu gagasan yang menyatakan alam hanya berharga dalam konteks kegunaannya terhadap kesejahteraan manusia. Akibat hal tersebut, bumi pun mengalami kerusakan. Rasio manusia modern yang selalu memiliki justifikasi untuk menyedot segala sumber daya alam telah membuat bumi jatuh dalam hiper-industrialisasi dan nampak makin tak punya harapan.
Naess kemudian merumuskan solusi atas permasalahan ini. Ia merumuskan ekosofi sebagai filsafat yang tak hanya berpijak pada rasio tetapi juga pada emosi sebagai cara kita memahami alam. Menurut Naess, selama ini dualisme rasio dan emosi merupakan sebab berbagai kesalahpahaman daya imajinasi dan daya pikir kita terhadap alam. Oleh karena itu, manusia harus mulai berubah: ia harus melibatkan emosinya dalam memandang alam. Dengan cara ini, Naess percaya bahwa selanjutnya manusia akan menemukan alam sebagai entitas yang magis dan sakral, yang pada akhirnya membuat kita menyadari bahwa kita adalah entitas yang satu dengan alam.
Thanos saya yakin adalah seorang ekosofis. Ia pertama-tama mewakili kekhawatiran paling mendasar para ekosofis yaitu bahwa “alam belantara merupakan sumber daya yang hanya bisa menyusut, tetapi tidak dapat bertumbuh”. Sebagaimana ide dari Arne Naess, Thanos juga contoh sempurna dari bagaimana seorang makhluk memiliki sentimentalitas yang luar biasa kuat dengan alam. Demi menyelamatkan semesta, ia bahkan ingin menumbalkan Gamora, satu-satunya makhluk di dunia yang konon ia cintai. Thanos dengan kesedihan yang tak dibuat-buat juga sangat mengkhawatirkan dunia sebagai tempat yang akan dilingkupi kemiskinan, kelaparan, perang, penyakit, dan kematian. Tak tanggung-tanggung, Thanos akhirnya punya misi yang terdengar sangat mulia: mengembalikan keseimbangan kosmis.
Sayangnya meski terdengar mulia, sebenarnya ada permasalahan besar pada sosok kita satu ini: ia terlalu berlebih dalam melibatkan sisi emosional sampai hampir menihilkan rasionya. Di titik ini, ia bukanlah ekosofis seperti apa yang diharapkan Arne Naess. Pada akhirnya, Thanos memang seorang ekosofis, tapi ekosofis yang cacat pikir: ekosofis imbesil.
Hei, Thanos! Jika kau mau berpikir sedikit saja, maka kau akan sadar bahwa dunia mungkin tak se-nirharapan yang kau bayangkan. Kau misalnya bisa sedikit berimajinasi bahwa masih ada banyak sekali planet yang kosong. Dengan space stone, kau seharusnya bisa memindahkan makhluk hidup dengan mudah. Kau juga perlu mikir dikit bahwa permasalahan overpopulasi yang kau khawatirkan sebenarnya tak bisa disimplifikasi sebagai penyebab utama ketidakseimbangan kosmis.
Memang benar saat ini penduduk dunia semakin bertambah. Jika kita merujuk pada Planet Bumi, saat ini Bumi sudah ditinggali 7,6 milyar penduduk dan pada 2050 diproyeksikan mencapai 10 milyar. Tetapi data dari FAO (Food and Agriculture Organization) PBB—sebuah organisasi pangan internasional planet kami—menyatakan bahwa wabah kelaparan telah mengalami angka penurunan dari angka 18,6% pada 1991 menjadi 10,8% pada 2015. Angka kelahiran bayi juga mengalami penurunan yang signifikan. Jika dulu kakek-nenek kami bisa beranak-pinak untuk membentuk kesebelasan, orang tua kami rata-rata hanya punya 2 atau 3 anak saja.
Fred Pearce (1951-sekarang), seorang peneliti bidang lingkungan lulusan Cambridge University—salah satu universitas terbaik di planet kami—bahkan menyatakan jika permasalahan utama Bumi bukanlah overpopulasi, tetapi overkonsumsi. Menurut Pearce, permasalahan yang saat ini kami hadapi datang dari tingkat konsumsi masyarakat negara maju yang mengonsumsi makanan melebihi apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Ujung-ujungnya, permasalahan yang saat ini sedang kami hadapi sebenarnya adalah masalah pemerataan pembagian sumber daya alam, bukan kekurangan sumber daya alam. Dari sini kita tahu, bahwa Bumi mungkin sedang tidak baik-baik saja, tetapi menghabisi setengah makhluknya sama sekali bukan solusi yang tepat.
Hei, Thanos! Apa kau sempat berpikir sejauh itu? Saya yakin tidak. Sebab kita tahu, kau hanyalah monster ungu jelek yang kelewat baperan tapi tak pernah pakai otak.
Sudah jelek, baperan, malas mikir pula. Kau ini penguasa semesta apa netizen?
Ah, Thanos! Panas kota Bandung yang kering kemarau membuat saya tersadar bahwa saya masih berada di dalam angkot. Sulit dipercaya bahwa selama 30 menit, saya baru saja memikirkanmu dengan keras. Juga soal keselamatan dunia. Hei, nampaknya saya sudah jadi ekosofis juga. Tapi kalaupun iya, tentu saya harus jadi ekosofis yang berpikir. Tidak sepertimu.
Sial! Saya telah tersadar dan kembali berada di tengah kemacetan yang mengular. Tapi ada yang lebih menjengkelkan. Samar-samar terlihat baliho besar bertuliskan “Jabar Asyik!”. Di dalam baliho itu, nampak seorang politikus berpeci hitam tersenyum lebar sambil menyorongkan jempolnya: Sip. Sementara itu, di bagian bawah baliho terlihat logo-logo partai politik pendukung yang berjajar horizontal. Lalu seketika saya cekikikan. Saya teringat kembali Thanos dengan 6 akiknya yang warna-warni. Tapi kali ini saya tak membayangkan keampuhan akik yang luar biasa itu. Saya justru curiga, jangan-jangan akik ini adalah metafor dari kekuasaan. Jangan-jangan mind stone adalah Golkar, reality stoneadalah PDIP, space stone adalah NasDem, time stone adalah PKB, dan seterusnya.
Duh Gusti, monster ungu dengan janggut mirip gethuk lindri yang bertaut dengan kemacetan kota dan jempol politikus memang bisa bikin gila. Tapi tak apa lah. Setidaknya dari sini saya mendapat pesan tersirat Infinity War: makhluk imbesil yang diberi kekuasaan terlalu besar, hanya akan membuat dunia jadi remuk redam.

Sumber Bacaan:

Chamary, JV. 2018. Is Thanos Right About Killing People In ‘Avengers: Infinity War’?, [online]
Dewi, Saras. 2018. Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam: Marjin Kiri
Pearce, Fred. 2010. The Overpopulation Myth: Overconsumption is the real proble, [online]


Share:

0 komentar