MINAT MENANAM SAMA PENTINGNYA DENGAN MINAT MEMBACA
Sejak menjadi mahasiswa sastra dan penjual buku sastra lalu sering
bertemu dengan orang-orang yang mengaku menyukai sastra, ada satu anekdot
menggelikan yang kerap saya dengar dari mereka: bercita-cita menjadi petani di
wilayah yang jauh dari hingar bingar kota untuk menjalani hidup yang damai.
Pernah dengar mimpi semacam itu? Atau barangkali kamu sendiri yang
mendambakannya?
Imajinasi macam itu barangkali hadir dari banyak penggambaran kehidupan
pedesaan yang identik dengan suasana tentram, adem ayem, dan gemah
ripah loh jinawi. Sejak masih SD, misalnya, kita seringkali membaca
puisi-puisi tentang indahnya alam, kisah liburan di rumah nenek di desa, hingga
lukisan mooi indie yang terpampang di dinding-dinding kelas,
yang menggambarkan hijaunya sawah dengan latar belakang gunung, sungai jernih,
pohon-pohon kelapa, dan para petani yang tengah menyemai padi dengan sumringah.
Tetapi, saya terus bertanya-tanya apa yang membuat banyak pecinta sastra—termasuk
sebenarnya banyak pecinta musik indie, aktivis kiri, dan seniman artsy— begitu
mendambakan hidup menjadi petani desa. Persoalannya, kita tahu ada banyak
sekali karya sastra yang justru menghadirkan desa sebagai ruang yang pelik dan
penuh masalah. Karya-karya Ahmad Tohari, Kuntowijoyo, atau Mahfud Ikhwan,
misalnya, seringkali menggambarkan desa dengan penduduknya yang penuh
prasangka, norma-norma yang terlalu mengikat, praktik-praktik korupsi
pejabatnya, hingga orang-orang kecil macam petani, tukang
batu, atau pedagang gorengan, yang kerap menjadi korban dari sistem kehidupan
di sana.
Bagi saya yang lahir dan tumbuh besar di desa, dan kini juga bekerja di
desa, impian jadi petani nampak lebih garib lagi. Hari ini, saya melihat bahwa
kehidupan petani di desa tidak sesyahdu yang sering kita bayangkan. Kebetulan,
saat ini saya sedang meneliti permasalahan pertanian di Desa Tanjungwangi,
Subang. Dari penelitian ini, saya bertemu dan berbincang dengan puluhan petani.
Dari berbagai perbincangan itulah, ada satu masalah yang kini sangat mereka
risaukan: mereka tak lagi punya penerus yang bisa mengolah sawah atau ladang
mereka. Bahkan dari cerita-cerita mereka, mereka tak punya lagi anak kandung
yang bisa memegang cangkul. Alhasil, mereka memperkirakan bahwa dalam 30-40
tahun ke depan, sawah dan ladang yang saat ini mereka garap akan dijual kepada
para pebisnis tanah. (Wow, bisa kita bayangkan kan betapa menggiurkannya bisnis
menjadi mafia tanah dalam beberapa dasawarsa ke depan?)
Kembali ke pembahasan utama tulisan ini, ngibul kali ini tentu tidak
hadir untuk menyinyiri semata mimpi aduhai para pecinta sastra. Saya malah
sangat mendukung siapapun yang punya cita-cita tersebut, wong saya
juga masih haqqul yaqin bahwa kelak saya akan punya kebun
sayur di Wonosobo. Masalahnya, sudahkah kita punya modal atau persiapan untuk
menuju ke mimpi yang namaste itu? Saya sih menduganya,
belum. Bahkan, saya was-was kalau impian tersebut pada akhirnya hanya
angan-angan yang tidak pernah ditindaklanjuti.
Lalu, hal kecil apa yang misalnya bisa kita lakukan?
MEMAHAMI HUBUNGAN MENANAM DENGAN MEMBACA
Begini, pertama kita harus memahami bahwa sedikit banyak, ada kaitan
antara menanam dengan membaca. Terbuat dari apa buku yang kita baca? Yak benar,
buku terbuat dari kertas, dan bahan baku kertas terbuat dari pohon, bukan dari
secangkir kopi dan senja. Bicara soal kertas, sejarah dunia sebenarnya sudah
membuktikan bahwa kertas memang sangat penting bagi kehidupan manusia. Kertas,
misalnya, menjadi bagian dari dimensi kultural manusia untuk mengekspresikan
dirinya. Lewat kertas, manusia mulai membuat puisi, cerita, surat, hingga
kemudian makalah, esai, sampai berbagai penelitian. Penyebaran kitab-kitab suci
di muka bumi bahkan menjadi efektif sejak ditemukannya kertas sebagai media
penulisan. Singkat kata, kertas sangat berpengaruh dalam memajukan peradaban
umat manusia.
Yang barangkali tidak kita tahu, ada peran ekologis dari kertas yang
berpengaruh negatif dalam kehidupan manusia. Saat ini dalam kurun waktu satu
tahun, ada lebih dari 400 juta ton kertas yang diproduksi di seluruh dunia.
Angka tersebut membuat industri kertas menjadi industri ketiga di dunia yang
menghasilkan polusi tertinggi di udara, air, dan minyak. Selain itu, kertas
juga dianggap berpengaruh terhadap masalah deforestasi di muka bumi sebab, 14
persen dari hasil produksi kayu dunia digunakan untuk bahan baku kertas.
Selain itu, untuk memproduksi 1 ton kertas maka dibutuhkan setidaknya 17
pohon. Dari angka tersebut, jika dihitung-hitung, maka 1 pohon sebenarnya bisa
digunakan untuk memproduksi 58 kg kertas. Berapa buku yang bisa diproduksi dari
58 kg kertas? Jika kita ambil rata-rata berat buku adalah 400 gram, maka ada
145 buku yang bisa diproduksi dari 1 buah pohon.
Maka, kini kita tahu, bahwa jika kita punya 145 buku di rak perpustakaan
pribadi kita, maka setidaknya ada satu batang pohon yang sudah ditebang.
Sementara itu, satu pohon setidaknya berfungsi menghasilkan oksigen untuk 3
manusia.
Melihat angka tersebut, sebenarnya kita bisa memberikan kontribusi kecil
pada bumi dengan setidaknya menanam 1 pohon jika sudah punya 145 koleksi buku.
Tidak berat-berat amat kan? Angka menanam satu pohon itu minimal lo. Minimal
banget.
Tapi, sudahkah kita melakukannya? Ehm, jangankan
menanam pohon, menanam cabai pun barangkali kita tidak pernah. Lah minat
menanam kita saja masih nol?
MENUMBUHKAN MINAT MENANAM BAGI PECINTA SASTRA
Beberapa hari lalu, teman saya, Henry Satria Hutabarat, mengirimkan dua
video tentang dampak pembabatan hutan di Indonesia. Video pertama memperlihatkan
seekor orang utan yang muncul di tengah lokasi penebangan hutan di Kalimantan.
Orang utan itu nampak berusaha menghentikan traktor dan melawan para pekerja
yang ada di hadapannya. Sementara video kedua memperlihatkan puluhan orang dari
suku pedalaman di Maluku Utara yang terpaksa keluar hutan dan masuk ke
pemukiman warga untuk mengiba-iba dan menangis meminta makan. Dua video
tersebut mau tak mau membuat saya berpikir keras mengapa seiring kita bertumbuh
dewasa, alam rasanya semakin diperlakukan tidak adil oleh manusia. Atas nama
pembangunan dan kemajuan, alam liar berangsur-angsur dibabat untuk digantikan
beton dan gedung-gedung. Dan hasilnya, hutan kita jadi kopong.
Sementara hutan semakin ditebangi, minat menanam justru makin menyusut.
Di sisi lain, publik sastra masih sering menempatkan alam dalam imajinasi yang
terlalu romantis. Sekadar bermimpi menjadi petani di pinggir pedesaan tanpa ada
kemauan sama sekali untuk belajar menanam, saya kira adalah satu dari
tindakan snob yang perlu kita ubah.
Dari permenungan ini, saya kemudian mendapat ide inovatif untuk lapak
jualan saya, Warung Sastra. Yak, bagian ini mungkin agak
mengandung promosi ya, hehe. Tapi bagaimanapun, sebagai penjual buku sastra,
saya menyadari bahwa saya adalah subjek yang juga berperan dalam isu yang
sedang kita bahas. Maka, saya membuat satu terobosan baru dari penjualan buku
di lapak kami. Insyaallah, mulai bulan Juli, kami akan berupaya menyebarkan
semangat kecil untuk menyadarkan bahwa “Minat menanam sama pentingnya dengan
minat membaca”. Wujud kongkritnya, kami akan memberikan beberapa benih bunga
atau sayuran bagi siapapun yang membeli buku di Warung Sastra. Bonus benih ini
akan mulai diberikan setelah launching website kami
yang saat ini masih dalam proses penggarapan. Harapannya, berawal dari
tumbuhnya minat menanam, maka tumbuh pula kesadaran untuk lebih terlibat dalam
upaya pelestarian alam. Berawal dari menanam bunga matahari, bunga telang, atau
sawi dan tomat, barangkali kerja melestarikan alam jadi lebih semangat.
Ada pelbagai jalan untuk mencintai dan menjaga alam. Salah satu hal yang
bisa kita lakukan adalah menumbuhkan minat menanam pada orang-orang terdekat.
Masing-masing dari kita bisa memberikan kontribusi kecil sesuai bidang yang
kita tekuni. Toh saya kira, keterkaitan antara sastra dengan
menanam juga sebenarnya sudah ada sejak jaman dahulu, sebagaimana
dikatakan Voltaire dalam penutup novel klasik Candide yang terkenal itu “cela
est bien dit, mais il faut cultiver notre jardin” yang mungkin bisa kita
maknai lagi sebagai “sastra adalah pepesan-pepesan yang bagus, tapi
bagaimanapun, kita juga harus merawat kebun kita”.
0 komentar