Di Kedai, Semarang Kali Kedua



1.

Ini kali kedua saya ke Semarang untuk menemui Deborah. Yang pertama bulan Agustus lalu saat saya masih jadi mas-mas biasa yang sedikit perhatian banyak capernya. Sementara yang kedua ini saya sudah jadi pacar yang sedikit ketemu banyak kangennya. Jarak kami terbentang Subang-Semarang. Jadi belum tentu sebulan sekali bisa tatap muka.

Untuk menemuinya pun tidak pernah semudah menjentikkan abu rokok ke tanah. Misalnya di usaha kali ini, saya harus menjadi penumpang gelap dari Stasiun Tegal sampai Semarang.

Kronologinya begini. Saya berangkat ke Semarang menggunakan kereta Tawang Jaya yang sebenarnya punya rute Subang-Semarang. Hanya saja tiket langsungan tersebut sudah habis. Saya hanya mendapat tiket sampai stasiun Tegal, salah satu stasiun yang dilewati jika pergi dari Subang ke Semarang. Alhasil sedari Stasiun Tegal, saya harus mengungsi di kantin sambil waspada jangan sampai dicurigai satpam.

Baiklah, saya paham. Ini agak kurang ajar. Tapi sesekali menjadi pacar yang baik jauh lebih penting daripada jadi warga negara teladan.

2.

Ini akhir pekan. Seharusnya kami bisa jalan-jalan menyusuri Semarang bagian utara atau menuju perbatasan Ungaran yang dingin. Tapi tidak dengan Sabtu ini. Deborah punya kedai yang menjual makanan khas Palembang dan Manado. Ia harus menjaganya hampir setiap hari kecuali Selasa.

Lagipula ia punya Ibu yang melarangnya pacaran. Jadi, mana mungkin kami pamit main berdua, di hari kerja pula?

Supaya aman, hari ini saya datang ke rumahnya tidak sebagai pacar, tapi sebagai pelanggan Take One, nama kedai miliknya. Saya pikir ini strategi jitu. Sebab, pembeli adalah raja. Setidak setuju apapun Ibunya melarang kami pacaran, ia hampir tak mungkin melarang saya mengisi perut di kedai anaknya. Toh saya punya rencana iblis: kalau sampai kena semprot, saya akan memberi poin bintang satu untuk kedai ini, menulis ulasan panjang tentang buruknya pelayanan, dan mengirim jarkoman whatsapp tentang ulah-ulah buruk pemilik Take One.

Apa saya tega melakukannya? Tentu saja.

Tapi boong.


3.


Mungkin ini pertama kalinya ada pelanggan kedai yang duduk di kursi yang sama sedari 12 siang sampai 9 malam.

Makanan pertama yang saya pesan adalah tekwan, makanan berkuah khas Palembang yang disajikan dalam mangkuk seperti soto. Sajian utama tekwan adalah bola-bola adonan terbuat dari ikan dan daging tapioka yang disiram kuah udang dan ditaburi irisan daun bawang, sledri, bawang goreng, dan yang paling unik: irisan bengkoang. Rasa gurihnya unik sekaligus menyegarkan. Jika kapan-kapan saya datang lagi ke sini bersama teman, tentu saya akan merekomendasikan menu ini.

Selain tekwan, saya juga memesan tahu gejrot yang sedari lama sudah sangat ingin saya cicipi. Tahu gejrot sebenarnya hanya tahu goreng biasa yang kemudian digeprek. Tapi tahu ini dilumuri kecap asin dengan irisan cabe hijau dan bawang merah yang bikin menggiurkan bahkan sebelum dimakan. Dan benar pula, tahu gejrot di sini maknyus sekali.

Untuk minumnya, saya memilih lemon squash. Kebanyakan minuman di sini adalah minuman dari buah segar. Saya kira makanan macam tekwan, tahu gejrot, pempek, kapal selam, bubur manado, dan beberapa menu lain yang tersedia di Take One memang lebih cocok disandingkan dengan minuman segar dibanding kopi atau susu.

Sembari melahap makanan yang sudah datang, saya mulai memperhatikan sudut demi sudut kedai ini. Meja kasir. Tempat Deborah duduk dan bekerja dari siang sampai malam. Di sana, ia hampir tak pernah bisa lepas dari laptopnya, yang selain ia pakai untuk mencatat pemasukan-pengeluaran, juga untuk twitteran, fangirling BTS, sesekali nonton film. Di sebelah meja kasir, ada satu bilik kecil tempat 3 karyawan Take One meracik minuman. Saya sempat memperhatikan interaksi kecil antara mereka dengan Deborah, si Ibu Bos, yang terasa egaliter karena mereka tak bisa saling bercakap kecuali dengan cengengesan. Sementara sudut lain hanya ada meja kayu dan kursi plastik biasa yang diapit dinding coklat muda dan beberapa kipas angin, juga foto-foto menu makanan, yang kalau diromantisir seperti apapun, juga tak ada faedahnya.

Lalu Ibu Bos datang. Duduk di sebelah saya. Mau ngapain?

Ya seperti pada umumnya orang pacaran. Ngobrol, ghibah, tukar film, dan tak jarang cari-cari topik omongan yang rada dipaksakan. Lalu Zahira datang. Saya gembira bukan main melihat bocah belum genap setahun yang bola matanya hampir penuh ini. Juga raut tanpa ekspresinya yang bikin makin sayang. Di beberapa fotonya yang pernah saya lihat, Zahira ini mirip Roy Kiyoshi. Tapi begitu melihat langsung, ternyata mirip sekali. Zahira pergi, lalu kami tukar hadiah. Deborah memberi saya tanaman hias kecil berbentuk mirip mahkota nanas, saya memberinya boneka buroq. Lalu ia masuk rumah dan keluar membawa gitar. Jauh sebelum kami pacaran, saya sudah ngefans melihatnya main gitar sambil nyanyi di @kisumindi. Dulu saya selalu membayangkan kapan bisa gitaran bareng mbak ini dan angan-angan itu kesampaian juga hari ini. Kami menyanyi lagu Shallow yang direkam untuk dipamerkan di di instastory, lalu lanjut mendendangkan Cipta Bisa Dipasarkan di mana kami berbagi suara. Lagu kedua ini sebenarnya lebih asyik untuk direkam dan diunggah di instastory. Tapi saya kira akan jadi terlalu riya. Lebih baik kami sudahi bermain gitar dan mari menggerakkan kaki. Keluar sejenak dari Take One. Kami lalu masuk Sam Poo Kong lagi, tempat pertama kami kencan di Semarang. Di sana akhirnya kami bisa ngobrol lebih nyaman, selfie di depan patung Ceng Ho, dan beberapa kali lendotan. Halo, waktu pukul 7 malam. Mari kembali karena satu jam lagi kedai akan tutup. Sayang, malam itu kedai ramai sehingga ia lembur sampai jam 9. Padahal rencananya kami masih mau lanjut cari es krim, tapi mempertimbangkan hari yang mulai larut akhirnya kami cuma jalan 20-an meter untuk makan bubur kacang ijo.

Sudah setengah 11 malam. 10 jam lebih kami pacaran dan ini tandanya saya harus pulang. Sudah tak banyak omongan yang keluar. Kami lelah. Tapi entah kenapa saat mulai kucel dan kelelahan begini ia selalu kelihatan paling cantik. Cengengesannya ilang, berganti jadi senyum mengembang dengan mata menyipit. Ini senyum yang dulu saya lihat di Lasem saat kami pertama ketemu dan hendak pamitan. Juga suatu malam saat kami makan di Pecinan. 

Tuhan, kalau boleh saya ingin sering-sering lihat senyum itu.

Semarang, 3 November 2018










Share:

0 komentar