Catatan di Atas Kereta tentang Seperti Roda Berputar


1.
Seperti Roda Berputar adalah catatan yang ditulis esais idola saya, Almarhum Rusdi Mathari, ketika ia dirawat di rumah sakit selama setahun karena kanker ganas di tulang punggung dan lehernya.

Catatan ini mulai ditulis Cak Rusdi pada Desember 2016 ketika ia mulai menyadari ada tumor di tubuhnya. Selama setahun selanjutnya hingga menjelang akhir 2017, Cak Rusdi mencoba menulis catatan ini dengan gajet. Tangan kiri memegang gajet, jempol tangan kanan mengetik. Namun ada pula dua bab buku yang ditulis menjelang akhir 2017 ketika ia tak mampu lagi memegang gawai dan harus meminta orang lain untuk mengetikkan apa yang ia ceritakan.

Sampai ia wafat, buku ini memang tak bisa rampung. Tapi bagaimanapun, buku ini adalah memoar dari seorang yang semangat menulisnya tak pernah padam meski harapan tinggal setipis kabut di musim kemarau.


2.
Dalam catatan pembuka buku ini,  Cak Rusdi menulis "Tidakkah selain kelahiran, salah satu perayaan terbesar manusia adalah kematian?".

Saya membaca catatan pembuka ini tadi pagi sebelum berangkat kantor dan mata saya berkaca-kaca ketika membaca paragraf terakhir di mana Cak Rusdi meminta maaf pada orang-orang yg pernah ia sakiti, bahkan untuk kesalahan-kesalahan sederhana seperti tidak membalas whatsapp atau mengangkat telfon. Ia mengaku tak bisa menebus kesalahan-kesalahan yang pernah ia perbuat namun ia tetap membutuhkan maaf itu agar ia bisa tenang merayakan hidupnya untuk mengakrabkan diri dengan sahabat-sahabat baru: tumor-tumor di tubuhnya.

Saya tak pernah membayangkan seorang selapang dada Cak Rusdi yang bisa menganggap tumor adalah sahabat: sesuatu yang harus ia kenal, dekati, bahkan anggap sebagai bagian dirinya sendiri.

3.
Saya duduk di kursi bisnis 8D kereta api Malabar Jogja-Bandung. Kereta berangkat pukul 23.30 dan saya ingin segera tidur. Sayang, tubuh ini menolak dilelapkan. Padahal saya sudah sengaja tak minum kopi.

Sepanjang satu jam pertama, saya gelisah karena tak bisa mengantuk atau bahkan merasa nyaman. Mungkin karena AC yang kurang dingin atau sandaran kursi yang hanya mundur 10 derajat. Akhirnya saya putuskan untuk kembali membaca buku ini.

Pada bab-bab berikutnya, Cak Rusdi menulis tentang pengalamannya di rumah sakit dengan nada-nada muram. Ia menceritakan betapa repotnya jadi pasien BPJS di negeri ini. Misalnya ketika ia harus ikut antrian mengular sejak subuh namun baru bisa diperiksa bakda Dzuhur. Bedebahnya, ia hanya bertemu dokter muda yang bahkan memeriksanya pun tidak. Dokter ini cuma membaca hasil periksa dari rumah sakit swasta sebelumnya dan langsung memberi rujukan supaya Cak Rusdi pergi ke rumah sakit provinsi.

Tapi itu belum seberapa dibanding apa yang Cak Rusdi alami di rumah sakit provinsi. Saat itu tulang punggung Cak Rusdi sudah mulai bengkok dan nyerinya makin parah. Namun di sana, Cak Rusdi hanya diperiksa dokter magang untuk kemudian dirujuk ke dokter ortopedi. Kabar biadabnya, ia baru bisa bertemu dokter ortopedi itu dua bulan kemudian karena jadwal yang padat dan antrian yang panjang.

Lewat catatan Cak Rusdi, kita tahu bahwa menjadi pasien BPJS itu ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga, keruntuhan genteng, kaki patah, jidat bocor, dan masih dilindas truk.

Saya kira pengalaman ini yang membuat Cak Rusdi menulis "Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal".

4.

Buku pertama Cak Rusdi yang saya baca adalah Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya, sebuah kisah sufi Madura. Buku ini sampai sekarang menjadi salah satu buku kesukaan saya. Saking berkesannya, buku ini bahkan jadi buku yang paling sering saya jadikan hadiah untuk teman-teman yang ulang tahun atau wisuda. Di buku ini, ia menghadirkan Cak Dlahom, orang gila yang bisa membuat kita cekakakan sekaligus menyadarkan kita kalau peradaban jauh lebih gila dari orang gila manapun. Jika pernah membaca buku ini, kita tentu tahu bahwa Cak Rusdi punya selera humor sangat tinggi.

Dalam Seperti Roda Berputar, Cak Rusdi pun tetap bisa menghadirkan kelucuan-kelucuan itu. Dan kelucuan itu ia temukan di tengah suasana yang suram, antah berantah, dan nyaris tanpa harapan. Di rumah sakit tempat ia akhirnya dirawat sampai menjelang meninggal, keadaan Cak Rusdi sudah semakin gawat. Kankernya makin menyebar, sekadar duduk sendiri saja tak bisa, bahkan ia harus dibantu orang lain ketika buang hajat. Tapi keadaan itu tak menyurutkan jiwa guyon-nya.

Kelucuan itu hadir misalnya saat ia menjawab pertanyaan seorang dokter dengan "Sir, Yes, Sir" untuk meniru gaya dokter-dokter junior yang entah mengapa selalu berkata begitu pada seniornya. Di salah satu tulisannya, ia juga memberi judul "Bye..bye..ICU" untuk ucapan selamat tinggal pada sebuah ruangan yang berhari-hari mempertemukannya dengan bau kematian. Ya, Cak Rusdi memang sempat mengalami pengalaman wingit di ICU ketika ia melihat pasien demi pasien menjemput takdir setiap harinya. Juga pasien sekarat yang tiba-tiba menoleh padanya sambil ngomong "nggak jadi" yang membuat saya merinding ketika membacanya. Ketika membaca judul "Bye-bye ICU" pada bab ini, saya membayangkan Cak Rusdi sedang mengucapkan kalimat itu dengan nada ngece. "Bye..bye..ICU, dadaaaaah"

Ujung waktu barangkali tak jauh lagi. Tapi hidup tak pernah kehabisan bahan untuk ditertawakan, begitu Cak?

5.

Ada satu fragmen dalam buku yang menceritakan seorang dokter yang mengatakan "Elu pingin mati?" pada Cak Rusdi.   Ketika membaca bagian itu, saya merasa jengkel bukan main. Kalau saja saya di situ, saya ingin menggampar kepala dokter itu dengan tabung oksigen.

Saya mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa dekat dengan Cak Rusdi meskipun kami belum pernah ketemu. Barangkali rasa dekat ini muncul sejak pembacaaan saya pada Aleppo, kumpulan status facebook Cak Rusdi yang dibukukan penerbit EA. Dari buku tersebut, saya jadi mengenal kesukaan Cak Rusdi pada musik rock, ketekunannya sebagai wartawan, juga rasa cintanya pada anaknya si Voja. Buku ini membuat saya merasa sudah mengenal Cak Rusdi dalam waktu lama.

Kemarahan saya pada dokter bajingan tadi barangkali juga tak lepas dari perasaan dekat itu.

Ketika akhirnya Cak Rusdi menumpahkan emosinya pada si dokter dengan mengatakan "La, lu, la, lu, siapa Anda seenaknya memanggil saya 'elu?", saya merasa bangga bukan main. Saya merasa Cak Rusdi seolah mewakili semangat muda saya yang enggan jika harga diri kesenggol dan percaya bahwa orang keparat mesti diberi pelajaran.

Namun apa yang terjadi selanjutnya justru membuat saya merenung dan sadar bahwa saya masih belum banyak belajar darinya.

3 hari setelah marah-marah, Cak Rusdi menjulurkan tangan dan meminta maaf terlebih dahulu pada Si Dokter.  Si dokter bergeming. Tapi Cak Rusdi tidak mendongkol. Ia berujar bahwa kankernya adalah bagian dari takdir yang harus ia terima. Tumor di tubuhnya, adalah masalah antara ia dengan dirinya sendiri, bukan dengan orang lain.

Dari cerita ini saya belajar bahwa nasib terburuk pun tak seharusnya membuatmu merasa berhak mengumbar murka.

Tapi kali ini, saya tak yakin bisa melakukannya.

Share:

0 komentar