Le Dernier Ami: Menelanjangi Persahabatan, Mengungkap Isu Gender dan Nasionalisme di Maroko


Dalam Ngibul kali ini kita akan membahas novel Le Dernier Ami karya Tahar Ben Jelloun, sastrawan asal Maroko yang dikenal sebagai salah satu sastrawan terbesar Afrika Maghreb (Barat Daya) abad 20. Buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Sahabat Terakhir oleh Slamet P. Sinambela dan diterbitkan penerbit Basa-basi bulan lalu, Agustus 2018.

Bicara tentang Tahar Ben Jelloun tentu tidak bisa dipisahkan dari salah satu novelnya La Nuit Sacrée (Malam Keramat) yang meraih Prix Goncourt, penghargaan tertinggi untuk karya sastra berbahasa Prancis, tahun 1987 di mana karya tersebut kini telah diterjemahkan dalam 43 bahasa. Ia terkenal dengan karya-karyanya yang secara ekspresif berbicara tentang budaya Maroko, hak asasi manusia, identitas seksual, dan kegamangan identitas masyarakat pascakolonial.

Ben Jelloun sendiri dikenal sebagai salah seorang penulis sastra francophone. Apa itu sastra francophone? Sebelum melanjutkan tulisan ini, izinkan saya terlebih dahulu menjelaskan secara singkat definisi kata tersebut. Sebab, rencananya saya akan lebih sering menulis tentang karya-karya francophone di Ngibul-ngibul selanjutnya.

Jadi begini, sastra francophone adalah sebutan untuk menyebut salah satu khazanah sastra berbahasa Prancis, tetapi ditulis oleh pengarang dari luar Prancis. Biasanya, mereka adalah penulis yang berasal dari negara-negara bekas jajahan Prancis. Oleh sebab itu, tak jarang sastra francophone digolongkan sebagai sastra pasca kolonial. Dalam artian, sastra francophone mempermasalahkan persoalan bahwa meskipun penjajahan telah lama berlalu, namun  trauma-trauma akibat penjajahan  terus berlangsung hingga saat ini.

Meskipun istilah sastra francophone masih asing bagi sebagian besar orang Indonesia, namun sebenarnya khazanah sastra ini sudah masuk ke Indonesia sejak lama. Di antara para pengarang francophone yang karyanya pernah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia antara lain Jean Marie Gustave le Clezio asal Mauritius, Amin Maalouf asal Lebanon, dan tentu saja Tahar Ben Jelloun sendiri. Kibul sendiri pernah menerbitkan salah satu terjemahan cerpen dari penulis francophone asal Kongo, Emmanuel Dongala, dengan cerpennya yang berjudul Kereta Hantu.

Kembali ke novel Le Dernier Ami. Novel ini bersetting di Maroko penghujung 1950-an. Di tengah semangat perayaan pasca kemerdekaan atas Prancis, dua bocah, Ali dan Mamed bertemu di SMA Prancis (lycée français). Mamed adalah bocah yang kasar dan arogan, sementara Ali bocah yang naif lagi cupu. Suatu hari Mamed membela Ali yang dirundung teman-temannya karena berkulit putih dan dianggap mirip Yahudi. Semenjak itu mereka berteman, sering pergi bersama, mendiskusikan politik dan buku secara serampangan, dan terutama terobsesi pada obrolan tentang seks.

Pertemanan mereka terus berlanjut hingga 30 tahun selanjutnya, tak peduli Mamed kuliah di Prancis, Ali kuliah di Kanada. Mamed komunis dan kiri, Ali anak film dan seni. Mamed pergi di Swedia, Ali menetap di Maroko. Kedekatan mereka makin terikat erat ketika mereka sempat dijebloskan bersama ke penjara dan kamp militer paksa oleh rezim otoriter Raja Hassan II yang menuduh mereka sosok berbahaya bagi negara.

Kisah pertemanan Mamed dan Ali tersebut diceritakan melalui tiga sudut pandang: sudut pandang Ali, Mamed, dan seorang yang mengenal mereka bernama Ramon. Masing-masing narator menceritakan kisah yang sama namun dengan subjektivitas masing-masing dan dari situlah kita sebagai pembaca seperti diajak menambal sulam apa yang terselip di antara persahabatan mereka.  Buku ini menunjukkan bahwa di sela pertemanan yang begitu intens dan seolah sempurna, selalu ada kata-kata yang tak tersampaikan di antara keduanya.

Menelanjangi Konsep Persahabatan

Apa kau punya seorang yang kepadanya kau lebih nyaman menceritakan perihal apapun ketimbang dengan pacar  atau bahkan orang tuamu? Yang kepadanya misalnya kau berani terbuka soal berapa nominal hutang-hutangmu—atau bahkan hutang bapakmu. Bersamanya, kau bisa menceritakan apa saja mulai dari hal paling receh sampai yang paling privasi.

Hampir setiap orang saya kira punya setidaknya satu teman seperti itu. Dan dalam novel ini, pertemanan Ali-Mamed yang begitu eratnya tersebut dideskripsikan Ali sebagai berikut:
Kami memuji satu sama lain, kami saling memerlukan. Kami berdua saling mengakui ini dan kami bangga karenanya. Seperti aku, Mamed memilih persahabatan, ikatan yang kami pilih, ketimbang ikatan keluarga yang dipaksakan

– 75
Pertemanan Ali dan Mamed pada awalnya memang dinarasikan begitu mesra. Ketika muda, mereka pergi ke tempat pelacuran bersama. Beranjak dewasa, mereka disekap di kamp militer dan saling menyelamatkan nyawa masing-masing. Suatu kali, Ali tersedak dan hampir mati, Mamed berteriak sekencangnya sambil menangis sampai akhirnya dokter datang. Di waktu lain, giliran Ali yang menyelamatkan Mamed yang sekarat karena kram perut. Semalaman, Ali memijat perut Mamed agar ia tetap sadar diri.

Hingga akhirnya Mamed harus pindah ke Swedia, mereka tetap terbiasa saling bertelfon berjam-jam untuk membicarakan perihal apapun, mulai dari keluarga hingga gosip terbaru di kota asal mereka.
Kedekatan mereka bahkan menimbulkan kesan yang ganjil sampai membuat istri mereka masing-masing cemburu. Akan tetapi, di balik pertemanan yang nampaknya begitu erat, selalu ada hal-hal yang tak tersembunyi. Dan Ben Jelloun melalui Le Dernier Ami, seperti hendak menelanjangi apa-apa yang jarang sekali tersampaikan dalam sebuah pertemanan:
“Aku sering cemburu kepada Ali, karena dia lebih berbudaya daripada aku, karena dia berasal dari keluarga yang sebagian aristokrat……..Mengapa aku harus cemburu? Dia tidak terkenal, dia bukan professor kedokteran, bukan penulis hebat

 – 141
Dalam sebuah pertemanan, seorang kadang merasa sedang memupuk kepercayaan, namun bisa jadi yang sebenarnya sedang ia pupuk adalah kecemburuan. Ben Jelloun melalui novel ini seolah hendak menunjukkan bahwa di balik senyum, doa, dan dukungan yang kerap kita lontarkan saat teman kita bercerita, selalu terbesit pikiran untuk tidak percaya, untuk mencurigainya, untuk membanding-bandingkannya. Kecemburuan pada seorang teman, bahkan seringkali berwujud nyinyiran macam ungkapan Mamed berikut:
Ali tidak pernah melewatkan kesempatan untuk memamerkan latar belakang sastranya—atau lebih tepatnya untuk menunjukkan kekuranganku akan itu .

-144
Dalam novel ini, Ali memang dinarasikan sebagai sosok yang tekun membaca dan menonton film. Di bagian pertama ketika Ali menjadi narator, ia juga menyebut beberapa nama penulis dan sutradara beken macam Albert Camus, Frantz Fanon, Jean Genet, John Ford, atau Howard Hawks. Membaca dan menonton film sebenarnya merupakan hobi Ali sejak lama dan Mamed tahu betul soal ini.

Namun siapa sangka bahwa diam-diam, setelah puluhan tahun berteman, Mamed masih menganggap hobinya Ali sebagai cara pamer saja?

Le Dernier Ami bagi saya seperti teman gibah yang asyik, yang di tengah obrolan tiba-tiba mengajukan beberapa pertanyaan yang mengganggu pikiran, dan kalian sebagai pembaca boleh turut menjawab pertanyaannya.
  1. Sebutkan 1 saja nama teman terdekatmu.
  2. Kapan terakhir kali ia menceritakan satu pencapaian dalam hidupnya?
  3. Pencapaian seperti apa itu?
  4. Menurutmu, apa tujuannya cerita padamu? Berbagi saja, memotivasi, atau biar kelihatan keren?
  5. Kerenan mana, dia apa kamu?

Isu Gender dan Nasionalisme di Maroko

Maroko adalah negara dengan kultur Islam yang kuat akibat pengaruh bangsa Berber yang hidup berabad-abad di wilayah ini. Dominasi Islam ini sempat tersisihkan menjadi dominasi Barat ketika Maroko menjadi daerah protektorat Prancis sejak 1912 hingga 1957.

Pasca kemerdekaan, kultur Islam kembali menjadi kuat, namun di sisi lain Prancis juga masih menanamkan pengaruh yang cukup besar di antaranya dalam bidang budaya dan bahasa. Bahasa Prancis misalnya menurut OIF (Organisasi Internasional Francophonie) masih digunakan oleh 33 persen warga Maroko dan menjadi bahasa Internasional wajib yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Tahar Ben Jelloun adalah salah satu warga Maroko yang mendapat pengaruh besar dari budaya Prancis. Ia tak hanya sempat mengalami masa penjajahan Prancis dan mengenyam pendidikan bahasa ini, namun juga sempat tinggal di Paris sejak tahun 1971.

Akibat pengalaman tersebut, karya-karya Ben Jelloun turut menghadirkan permasalahan yang jamak dialami bangsa-bangsa francophone, yaitu persoalan identitas yang demikian kompleks. Hal ini akibat kehidupan mereka yang di satu sisi memiliki norma-norma tradisional Islam tetapi di sisi lain juga mengenal wacana à la Prancis yang identik dengan modernitas, terutama kebebasan dan kesetaraan. Dalam novel Le Dernier Ami, Ben Jelloun nampak mencoba mengungkapkan tarik-menarik identitas ini dengan turut mengungkap dua isu yaitu gender dan nasionalisme.

Gender Kelas Dua di Tengah Kultur Islam

Isu gender dalam novel ini bisa kita lihat sejak permulaan novel di mana Ben Jelloun menghadirkan sosok Ali dan Mamed sebagai pemuda yang tumbuh dengan nilai-nilai Islam tapi justru terobsesi dengan hal yang begitu tabu di lingkungannya, yaitu seks.

Pada permulaan novel, diceritakan bahwa sekolah mereka sedang mengadakan piknik. Di tengah piknik itu, para murid SMA bermain tantangan jujur-jujuran, mungkin semacam game truth or dare, untuk menceritakan rahasia orang terdekatnya. Pada giliran Mamed, ia memilih mendeskripsikan Khadija, pacarnya di SMA sebagai berikut:
Dia berusia 18 tahun tapi masih perawan. Dia lebih memilih disodomi ketimbang meregangkan kakinya 

– 16
Ketika membeberkan keperawanan Khadija dan bagaimana mereka melakukan hubungan seks, Mamed menceritakan hal tersebut dengan penuh rasa bangga. Ia menganggap Khadija, sosok perempuan, sebagai objek yang sah-sah saja ia beberkan privasinya. Lebih parahnya, Mamed mengungkapkan hal tersebut di depan Khadija sendiri tanpa rasa bersalah. Namun Alih-alih marah dan melawan, Khadijah justru hanya bisa berlari dan menangis. Fragmen tersebut seperti mencerminkan fenomena sosial di Maroko di mana para lelaki bisa mengobjektivikasi perempuan semaunya sementara perempuan tak punya kemampuan untuk melawan.

Menariknya, adegan-adegan dan ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan tema seks dinarasikan Ben Jelloun dengan deskriptif dan sangat jelas. Fragmen-fragmen tentang masturbasi, penetrasi, hingga hubungan seksual di luar cara lazim diceritakan tanpa sensor. Padahal, novel ini bersetting di Maroko, negeri yang identik dengan citra Islam kuat. Di Maroko, obrolan tentang seks sudah pasti merupakan tema yang tabu. Lebih-lebih jika itu berbicara tentang tindakan sodomi atau anal seks.

Melalui fragmen-fragmen bertema adegan seksual yang dinarasikan dengan begitu detil dan gamblang, saya kira Ben Jelloun pertama-tama ingin menyingkap Maroko yang selalu menampilkan dirinya dengan citra Islam, namun sebenarnya mempunyai permasalahan akut dalam cara memandang perempuan, di mana perempuan masih dianggap sebagai gender kelas dua dan objek seksual . Sementara teknik penceritaan yang realis menjadi semacam pesan dari Ben Jelloun, bahwa permasalahan gender di Maroko sebaiknya tak lagi dibicarakan secara diam-diam. Ben Jelloun seperti mewakili sebagian masyarakat Maroko yang berharap bahwa ketidakadilan terhadap perempuan harus menjadi isu yang bisa dibicarakan secara terbuka.

Maroko adalah negara dengan isu kesenjangan gender yang mengkhawatirkan. Hingga hari ini, data dari World Economic Forum misalnya menunjukkan bahwa kesenjangan gender di Maroko berada di peringkat 136 dari 144 negara. Data tersebut dilihat dari keterlibatan perempuan dalam perpolitikan, kesempatan bekerja, kesehatan, dan tingkat pendidikan. Saat ini, perempuan Maroko masih kesulitan untuk mengakses Pendidikan. 58,6 persen perempuan masih buta huruf. Sementara itu hanya 26,9 persen perempuan yang mampu berkarir di dunia kerja. Perempuan Maroko selama ini terkungkung dalam norma-norma yang mengharuskan mereka untuk tetap tinggal di rumah, melayani laki-laki, dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Tahar Ben Jelloun, melalui novel ini saya kira hendak menyuarakan kritik yang cukup keras terhadap budaya patriarki sebagaimana nampak dalam kutipan di bawah ini:
Biasanya tidak ada hal tabu dalam pembicaraan kami, namun kami pasti memikirkan tentang lagu misoginis Bob Marley “No Woman No Cry”. Di Maroko, seperti semua orang tahu, prialah yang membuat wanita menangis. Mereka menangis dalam diam, wanita tidak berhak untuk protes. 

(53)

Nasionalisme Maroko dan Kegamangan Identitas

Tahar Ben Jelloun dalam karya-karyanya seringkali menghadirkan tokoh-tokoh yang mengalami kebimbangan dan kegamangan dalam menemukan identitas dirinya. Hal ini juga turut ia hadirkan dalam Le Dernier Ami, terutama melalui sosok Mamed.

Singkat cerita, setelah berkeluarga dan menjadi dokter yang sukses di Maroko, Mamed mendapat tawaran kerja di WHO di Stockholm, Swedia. Ia kemudian menerima pekerjaan tersebut dan berpisah dengan Ali.
Tiba di Swedia dari Maroko, hal pertama yang aku sadari adalah keheningan. Keheningan mereka, putihnya kulit mereka, mata mereka yang jernih, dan rasa hormat mereka pada peraturan, aku menemukan peradaban dalam setiap individu. Ini luar biasa!
-137
Kutipan di atas adalah ungkapan pertama yang dinyatakan Mamed ketika baru menjejakkan kaki di Swedia. Kutipan tersebut saya kira menunjukkan dengan cukup jelas bagaimana cara pandang sebagian besar masyarakat Timur terhadap Barat. Dalam kutipan tersebut, tertulis dengan jelas bahwa kekaguman Mamed terhadap Swedia tidak tertuju pada keheningan dan keteraturannya saja, tetapi ia juga terpesona pada ciri fisik orang-orang yang ia lihat, yaitu orang berkulit putih dengan mata yang jernih. Keterkejutan akan warna mata dan kulit tersebut adalah banalitas yang kerap terjadi pada masyarakat Timur yang mana selalu  memandang segala hal yang berbau Barat sebagai sesuatu yang superior. Padahal kita tahu, warna kulit dan mata tidak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang Mamed sebut sebagai peradaban.

Setelah setahun hidup di Swedia, Mamed menjadi orang yang hidupnya serba berkecukupan. Namun demikian, ia justru mulai merasa merindukan kembali Maroko. Ia tiba-tiba dipenuhi perasaan melankolis dan mengenang Maroko seperti tertulis pada kutipan di bawah ini:
Ini gila rasanya, tapi hal-hal yang paling kurindukan adalah hal-hal yang sebelumnya menggangguku:kebisingan mobil, teriakan pedagang jalanan, para teknisi yang mengotak-atik lift tanpa mau mengakui kalau sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa, wanita yang menjual sayuran dari kebun mereka sendiri… Aku bahkan merindukan polisi di persimpangan yang bisa kami suap sekali-kali.. Aku bahkan merindukan para pengemis dan orang cacat di jalanan.

(139)
Kutipan di atas nampaknya merupakan cara Ben Jelloun mendeskripsikan perasaan orang imigran Maroko yang kerap berada dalam kegamangan akan identitasnya yang kompleks. Mamed yang sudah lama tinggal di negara miskin dan kering kerontang sekaligus serba dibatasi oleh diktatorian berbalut norma agama, kemudian merasakan hidup di Swedia, yang ibarat oase, mampu memberikan kemakmuran, kenyamanan, dan kebebasan. Permasalahannya, dari situlah kegamangan justru muncul. Segala fasilitas dan kenyamanan yang Mamed dapatkan di Swedia justru mengingatkannya pada segala hal yang ada di tanah airnya, yang semuanya justru berbanding terbalik dengan yang ia miliki.

Di titik ini, Memed barangkali mengalami keterasingan total atau situasi yang disebut Hommi Bhabha sebagai situasi “beyond”, “neither a new horizon, neither a leaving behind the past”, “tidak ada harapan bagi masa depan, maupun masa lalu yang dapat menjadi pijakan”. Sebab, ia tidak bisa merasa menjadi orang Swedia, namun di sisi lain ia juga sadar bukan lagi orang Maroko.

Terkait permasalahan identitas ini, Ben Jelloun melalui Le Dernier Ami nampaknya menawarkan solusi tersendiri yaitu dengan  menawarkan identitas ketiga yang disebut identitas “nomade”, yaitu identitas yang tidak terikat pada satu identitas tertentu. Hal ini ditunjukkan dengan sikap Mamed setelah mengalami pendewasaan dan tinggal cukup lama di Swedia, di mana ia akhirnya mengkritik baik kebudayaan Barat maupun kebudayaan Timur dari negerinya sendiri.

Kepada Barat ia menuliskan “sebuah negara yang pernah menjajah negara lain tidak pernah bisa menjadi teladan (174)”, sementara di sisi lain ia juga mengkritik budaya Maroko dengan menulis “Islam fundamentalis itu bukan Islam. Itu omong kosong politik (154)” untuk mengkritik kondisi sosial politik di negaranya yang carut marut namun tersembunyi di balik topeng agama.

Referensi:
Ben Jelloun, Tahar, 2004. Le Dernier Ami, Paris: Editions du Seuil.
Ben Jelloun, Tahar. 2018. Sahabat Terakhir, Yogyakarta: Basabasi.
Brace, Richard M. 1964. Morocco, Algeria, Tunisia, a Spectrum Book. Prentice-Hall., Englewood Cliffs, New Jersey.
Combe, Dominique. 2010, Les Littératures francophones, questions, débats, polémiques, Presses  Universitaires de France, Paris
Said, Edward. 2000. Reflections on Exile, Cambridge: Harvard University Press.




Shahab, Ali. 2012. Nasionalisme dalam Roman Les Yeux Baisses karya Tahar Ben Jelloun. Yogyakarta: UGM Press

Share:

0 komentar