Di penghujung tahun 2018, Bapak Junjungan Umat
Kampret Indonesia, Prabowo Subianto, mengeluarkan pernyataan sembrono yang segera saja jadi bola panas terutama di kalangan Umat Cebong. Pernyataan itu kurang lebih berbunyi bahwa tingkat ekonomi negara
kita setingkat dengan Haiti dan Rwanda, dua negara di Benua Afrika yang menurutnya tak pernah kita kenal dan ketahui letaknya.
Segera setelah pernyataan itu meluncur, para
cebong pun ramai-ramai menyebut Prabowo idiot dengan alasan: Haiti berbeda dengan Rwanda karena Haiti terletak di kepulauan
Karibia, bukan Afrika.
Lalu waktu lewat begitu saja. Perdebatan soal Haiti-Rwanda
hilang tak berbekas. Umat Indonesia, baik cebong
maupun kampret, beralih ke
perdebatan yang malah makin ampas, dari tata cara bersuci yang benar sampai lafadz Allah di atas jidat.
Berbicara soal Rwanda, beberapa waktu lalu ketika sedang berada di Srilanka saya berkenalan dengan
seorang dari negara tersebut bernama Janvier Sekamana. Kebetulan saat itu kami adalah sesama presentator di sebuah forum internasional yang membahas model pembangunan desa.
Kami bertemu ketika sedang
jamuan makan siang di salah satu restoran di Kolombo. Saat itu di bawah cuaca
Srilanka yang terik, ia memakai jas abu-abu gelap. Sebab merasa gerah, ia pun membuka seluruh kancing jasnya dan menampakkan dalaman kaos putih bergambar seorang tokoh yang sepertinya tak asing bagi saya. Melihat sosok di kaos itu, saya pun menyapanya
terlebih dahulu.
"Vous devez être
vraiment fier de votre président. Je le connais. Paul Kagame, n'est-ce pas?". Anda pasti sangat bangga
dengan Presiden anda. Saya tahu siapa foto orang di kaos anda. Paul Kagame, bukan?
Seperti sudah saya duga, ia terperangah mendengar
saya mengenal sosok tersebut.
Lebih-lebih, ketika saya mengatakannya dengan bahasa Prancis.
Kemudian sebelum sempat
membahas tentang sosok di kaosnya, kami pun saling berkenalan. Ia memperkenalkan dirinya
sebagai pendamping desa di salah satu distrik di Kigali, sementara saya bercerita perihal 4 tahun kuliah sastra Prancis.
“Belajar Bahasa asing di negeri sendiri membuat saya jarang berinteraksi dengan penutur asli, jadi mohon maaf jika bahasa
prancis saya remuk redam”, ujar saya seraya
mengharap ia memaklumi kalau sesekali saya membuka kamus daring.
Berawal dari perkenalan tersebut, selama 3 hari berikutnya kami jadi sering terlibat dalam
obrolan. Obrolan
kami lebih banyak membahas tentang negaranya, Rwanda. Tapi tak jarang pula saya bercerita padanya tentang Indonesia dan
mencoba membandingkan beberapa hal di antara kami.
Lewat perbincangan dengan
Paman Sekamana lah, banyak sekali hal baru yang saya tahu tentang
negara tersebut. Dan dari situlah, saya menyimpulkan bahwa saya perlu
menuliskan beberapa perihal dalam obrolan kami tentang Rwanda. Sebab, selain
penting untuk bahan permenungan, saya yakin bahwa orang-orang yang sama sekali
tak tahu tentang Rwanda adalah orang yang merugi, kalau bukan udik.
GELAP
Ketika berbicara tentang Rwanda, orang akan selalu
menyebut untuk pertama kali tentang Genosida 1994. Tragedi yang membantai dan menewaskan
lebih dari 800.000 orang ini pun menjadi tema di banyak film tentang Rwanda seperti Hotel
Rwanda (2004) atau Sometimes
in April (2005).
Genosida ini berakar dari konflik antar suku, yaitu suku Tutsi yang merupakan
minoritas dan suku Hutu yang merupakan mayoritas. Konflik ini bermula ketika Rwanda masih berada di bawah jajahan Belgia.
Kala itu Belgia sebagaimana
bajingan kolonial lainnya menerapkan politik adu domba—divide et impera—dengan cara mendudukkan orang-orang dari suku Tutsi di jabatan-jabatan penting
pemerintahan. Hal ini memicu dengki bagi suku Hutu
yang merasa lebih berhak mendapat porsi
kekuasaan karena mereka adalah mayoritas.
Kecemburuan ini menjadi bom waktu ketika akhirnya Rwanda
merdeka
pada 1962. Suku Hutu yang
merasa ditindas di masa lalu merasa berhak membalaskan dendamnya
pada suku Tutsi. Maka sepanjang 1962-1994, rasa benci itu seperti eceng gondok di atas air keruh. Perlahan tumbuh, semakin subur, dan tak terkontrol.
Puncaknya
terjadi pada tanggal 6 April 1994. Hari itu, Presiden
Juvenal Habyarimana—yang mempunyai visi mempersatukan semua suku—tewas setelah
pesawat yang ia tumpangi ditembak rudal saat hendak mendarat di Bandara
Internasional Kigali.
Dengan kosongnya kekuasaan itulah, beberapa pihak memanfaatkan
situasi. Mereka mengkonfrontasi suku Hutu untuk mulai membalaskan dendamnya dengan
membunuh siapapun cockroach—julukan
untuk orang Tutsi—yang mereka temui.
Maka,
dalam tempo
kurang dari 100 hari, Rwanda menjadi
palagan yang lebih mengerikan daripada neraka. Satu per satu orang dibedil atau
disembelih. Rwanda menjadi kubangan
darah dengan mayat-mayat Tutsi yang bertumpuk hingga menutupi jalan. Anyir. Dengan kepala buntung, dan organ tubuh pating berceceran.
Paman
Sekamana berusia 24 tahun
saat pembantaian itu terjadi. Usianya sama seperti saya sekarang. Ujarnya, ia adalah saksi hidup yang melihat langsung bagaimana leher manusia
digorok di tempat yang seharusnya menjadi
tempat paling suci: gereja.
Kala
itu, gereja adalah tujuan utama bagi orang-orang yang lari bersembunyi.
Orang-orang barangkali mengira bahwa di dalam rumah Ilah, setan tak bisa
bernafas sehingga manusia-manusia paling beringas pun tak akan mengokang
senjatanya. Tapi dugaan itu sepenuhnya keliru. Sebab, di dalam gereja lah
pembantaian justru paling mangkus. Dengan beberapa berondong peluru, ajal datang
sekaligus. Begitulah kematian demi kematian terjadi. Di antara dinding kapel
yang dingin. Di bawah salib yang menjadi merah.
Setelah
mendengar kisah tersebut, saya lantas memberondongi Paman Sekamana dengan
pelbagai pertanyaan.
“Jadi karena Anda selamat, maka Anda seorang Hutu ?".
« Non ».
Bukan.
"Tutsi ?!"
« Non plus ».
Bukan pula.
"Jadi, bagaimana Anda masih waras sampai sekarang?”.
Ia nyengir, mengeluarkan suara tawa
kecil dan memperlihatkan giginya yang seputih kapur, « Ma mère est
Tutsi, mon pêre est Hutu.
Si votre père est Hutu, il pouvait sauver toute votre famille »
Ibuku Tutsi, ayahku Hutu. Jika
ayahmu seorang Hutu, maka ia bisa menyelamatkan seisi keluargamu.
“Paman, dari film-fim yang saya tonton, saya kira orang
Tutsi sedikit lebih berkulit terang daripada Hutu yang lebih legam. Jadi, para
jagal itu membedakan suku dengan menebak warna kulit ya?”
“Tidak sama sekali. Orang Rwanda
bahkan tak bisa membedakan mana Hutu
mana Tutsi. Kami sangat mirip. Nyaris sama. Kala itu jika kau seorang Hutu tapi kau lupa membawa KTP, sudah pasti nyawamu juga akan melayang”.
Ia lalu mengambil dompet hitam dari sakunya, mengeluarkan selembar kartu identitas
berwarna biru laut, menyerahkannya pada
saya, dan meminta saya mengamatinya.
Kartu
Tanda Penduduk Rwanda.
Isi
kolom: nama, tempat tanggal lahir,
jenis kelamin, tanda tangan, nomor KTP.
Saya
tak tahu apa yang ingin ia tunjukkan pada saya. Sejauh pengamatan, KTP ini tak nampak beda dengan KTP Indonesia kecuali
dalam hal bahasa.
“Alors?” Jadi
intinya apa?.
Lalu
ia menjelaskan, “24 tahun lalu, ada 1
kolom tentang identitas ras apakah kamu seorang Hutu atau Tutsi. Tapi kolom jahanam itu
kini sudah hilang. Kau tahu siapa
yang melenyapkannya?
Ia adalah orang yang sama dengan orang yang menghentikan genosida Rwanda.”
Paman Sekamana lalu
berdeham, sedikit membusungkan dadanya, sembari dengan raut penuh bangga menunjuk gambar di atas kaos putihnya
“Presiden Paul Kagame”.
TERANG
“Today, Rwanda is the land of hope,
not hatred”.
Paman
Sekamana mengatakan hal tersebut sebelum menceritakan satu per satu perubahan
yang terjadi di Rwanda selama 2 dekade terakhir—sejak Kagame menjadi presiden.
Ketika
menceritakan Paul Kagame, Paman Sekamana bisa sampai berbusa-busa. Ia pertama
menjelaskan bahwa berkat Kagame negaranya kini mendapat julukan “Singapore de l’Afrique”. Singapura-nya
Afrika.
“Seperti
Singapore, negara kami kecil dan sumber alam kami pas-pasan. Lebih buruknya,
kami bahkan tak punya laut”.
Tapi
Paul Kagame menciptakan gelombang perubahan besar terutama di bidang ekonomi.
Ia mulai membangun sekolah, rumah sakit, bandara, dan jalan raya yang
menghubungkan distrik dengan distrik. Ia membuka lahan jagung seluas-luasnya
dan membangun pabrik jagung pertama. Ia juga mencanangkan program “1 Sapi, 1 Keluarga”
yang membuat Rwanda kini jadi negara pengekspor ternak tersebut. Singkatnya, ia
begitu cerdas dan kreatif dalam memaksimalkan sumber daya yang terbatas. GDP
Rwanda yang jatuh dari angka 1,6 Milyar menjadi 450 Juta Euro pada 1994, kini
kembali mencapai angka 4,4 M Euro. Tingkat perkembangan ekonomi Rwanda setiap
tahunnya mencapai angka 7 hingga 8 persen.
Kreativitas
Kagame juga tak berhenti pada program peningkatan ekonomi saja. Ia menjadikan
negaranya sebagaimana negeri yang diimpikan kaum feminis: Rwanda menjadi negara
dengan persentase tertinggi di dunia untuk anggota perempuan di parlemennya
(68%). Dalam hal kesetaraan gender di bidang politik, Rwanda bisa mengungguli
negara macam Denmark, Swedia, atau Canada.
Salah
satu perubahan besar di Rwanda yang paling kerap dibicarakan dunia saat ini
adalah kebijakannya di bidang lingkungan. Beberapa terobosan dilakukan
pemerintah Kagame misalnya dengan melarang penggunaan tas plastik sejak 2008.
Sebagai solusi atas pelarangan ini, pemerintah Rwanda membuka keran investasi
bagi pengusaha kreatif yang mau menjadi produsen tas dari kain, kertas, atau
daun pisang. Selain itu, Rwanda juga menggalakkan program penghijauan dengan
misi menutupi 30 persen daratannya dengan hutan hijau. Hutan hijau ini kemudian
disulap menjadi cagar alam atau taman nasional. Berkat usahanya membuka taman
nasional Nyungwe, Gishwati, Mukura, dan Rugezi, Rwanda mendapat penghargaan Green Globe Award pada 2010.
Saya
kira sangat jarang sebuah negara berkembang peduli amat dengan isu lingkungan.
Tapi Rwanda membuktikan bahwa dengan komitmen penuh di bidang lingkungan,
Rwanda bisa menciptakan perubahan besar. Salah satu perubahan besar itu bisa
dilihat dari Kigali, Ibu kota Rwanda, yang kini dijuluki sebagai kota paling
bersih di Afrika.
Seandainya
kau punya sedikit waktu, cobalah meluncur ke youtube dan ketikkan kata kunci
“Kigali”. Niscaya, kata kunci itu secara otomatis akan diikuti beragam
embel-embel macam “the cleanest” atau
“the safest” city in Africa. Selanjutnya,
kau bisa membuka satu demi satu video itu dan melihat bagaimana sebuah kota di
negeri “tak dikenal” itu, sepatutnya membuat warga Indonesia—apalagi orang
Jakarta—tutup muka. Kigali adalah kota yang resik. Sangat resik. Pepohonan
ditanam dengan rindang, trotoar menjadi tempat titian kaki yang bikin warga
bungah, petugas kebersihan maupun warga sipil bisa bekerja sama mewujudkan kota
yang nyaman dipandang.
Jempolan sekali bukan?
TERANG ATAU GELAP?
Rwanda
hari ini adalah negara di benua hitam yang paling kerap menjadi perbincangan
dunia internasional. Kendati demikian, perbincangan itu tak melulu berisi
puja-puji atas keberhasilan mereka di bidang ekonomi. Sebab nyatanya, Rwanda
juga kerap disinggung atas problematikanya di bidang politik.
Di
hari terakhir ketika berada di Srilanka, saya melemparkan pertanyaan yang saya
kira cukup sensitif. Pertanyaan itu berkisar pada isu demokrasi di Rwanda yang
kerap dipermasalahkan terutama oleh orang-orang Barat.
Tak
sedikit orang yang menyebut Paul Kagame sebagai diktator. Panggilan diktator
yang disematkan padanya semakin gencar seiring dengan duduknya kembali Kagame
di kursi presiden untuk periode ketiganya. Padahal di konstitusi Rwanda,
seorang presiden hanya bisa memimpin selama dua periode di mana tiap periode
berjalan tujuh tahun. Tapi, konstitusi tersebut diubah sebelum pemilu 2017.
Dalam aturan baru yang dibuat, presiden boleh memimpin negara selama 3 periode.
Perubahan ini tentu menguntungkan Kagame yang akhirnya bisa melenggang kembali
ke kursi kekuasaan sampai 7 tahun ke depan.
Sejauh
perbincangan kami dalam dua hari sebelumnya, saya mengenal Paman Sekamana
sebagai seorang yang agak fanatik pada Kagame. Untuk menanyakan perihal yang
buruk tentang hal yang disukai seseorang, kita perlu menunggu waktu yang tepat
atau lebih baik diam sama sekali. Tapi saat itu kami sedang minum teh Ceylon,
teh khas Srilanka dengan komposisi teh hitam bercampur kelopak bunga kering
berwarna ungu yang aromanya begitu semerbak dan menenangkan. Lalu sambil
menyesap perlahan teh itu, akhirnya saya memberanikan diri bertanya perihal
Kagame dan demokrasi.
“Paman,
mohon maaf jika saya menyinggung Paman. Tapi bagaimana dengan Demokrasi di Rwanda?
Bukankah beberapa pihak memanggil Kagame sebagai presiden otoriter?
“Bagus, laissez-moi
vous répondre. De peu un peu. Mari kita jawab sedikit demi sedikit”,
ujarnya.
Kemudian
ia meminum tehnya dengan cara menenggak, sebelum memberikan jawaban yang justru
disesaki pertanyaan.
“Jika
benar Kagame diktator, mengapa ia menang pemilu dengan perolehan 99% suara? Let me tell you, Kagame telah mengubah
Rwanda. Angka kemiskinan turun, angka kematian bayi turun, begitu pula dengan
angka buta huruf. Jika rakyat mencintainya lalu ia memimpin lagi, kenapa ia
dipanggil diktator? Lagipula, apa itu demokrasi? Siapa yang mengharuskan negara
demokrasi hanya dipimpin 10 tahun? Apakah lagi-lagi, kita harus mengekor pada bangsa
oksidental?”.
“Paman,
tapi saya pernah membaca artikel tentang betapa bahaya mengkritik Kagame bagi
orang Rwanda. Patrick Karegeya, mantan intel negara Anda yang banting setir
jadi pengkritik pemerintah, bahkan tewas dengan berondongan peluru. Lalu
bagaimana pula dengan 8 wartawan yang hilang? Apa sebegitu penting kesuksesan
ekonomi dibanding penghargaan pada kebebasan?”.
Saya
mengeluarkan pernyataan itu sambil menceritakan tentang pengalaman Indonesia 32
tahun di bawah rezim Soeharto. Seperti halnya Kagame, Soeharto juga presiden
yang “dicintai” rakyatnya. Tapi “cinta” itu tidak hadir dari ruang hampa
melainkan dari kemampuan rezim Soeharto menghegemoni rakyat secara sistematis. Ia,
dengan instrumen kekuasaan yang dimilikinya, menasbihkan dirinya sebagai “Bapak
Pembangunan Indonesia”.
Mendengar
cerita saya, Paman Sekamana tetap bersikukuh bahwa Kagame adalah presiden yang
semurni-murninya dicintai rakyatnya. Keyakinan Paman Sekamana semakin bertambah
setelah mendengar cerita saya tentang genosida ’65 yang pernah didalangi
Soeharto.
“Presiden
Rwanda menyelesaikan genosida. Presiden negara Anda jadi dalangnya. Presiden
kami melawan phobia, presiden Indonesia merawatnya”, ujarnya dengan mantap.
Lelaki
bertubuh jangkung itu sejenak kemudian menceritakan pada saya tentang
rekonsiliasi konflik genosida yang pernah dilakukan Kagame untuk mendamaikan
hubungan antara Hutu dan Tutsi.
Pada
tahun 2002, Rwanda misalnya menginisiasi sebuah sistem peradilan yang disebut gacaca. Gacaca adalah program yang
ditujukan pada puluhan ribu jagal yang ditetapkan sebagai tersangka genosida
’94. Dalam gacaca, para tersangka
pada awalnya diminta untuk mengakui kejahatannya. Mereka yang bersedia
melakukan pengakuan, kemudian akan mendapat remisi. Setelah keluar dari
tahanan, mereka juga harus melakukan kerja sosial di lingkungan di mana mereka
dulu pernah berbuat kejahatan. Artinya, mereka tak sekadar saling memaafkan,
tetapi juga harus menjalani kehidupan bersama mereka. Menurut pemerintah
Rwanda, gacaca telah merekonsiliasi
lebih dari 1,9 juta kasus.
Selain
gacaca, Rwanda juga menetapkan
tanggal 7 April setiap tahunnya sebagai kwibuka,
yaitu hari mengenang tragedi ’94. Pada saat kwibuka,
ada seremoni di mana suku Hutu dan Tutsi saling bertemu, saling memaafkan,
lalu berbagi santapan. Selama 100 hari setelah 7 April, Rwanda juga mengajak
warganya baik Hutu maupun Tutsi untuk bersama-sama mengunjungi urwibutso, sebuah monumen untuk
mengenang para korban genosida.
Selain
itu, terobosan paling penting dari pemerintahan
Kagame adalah menghapuskan kolom suku di KTP Rwanda yang sudah bertahan sejak
awal masa kolonialisme. Sebab menurut Kagame, tak penting lagi apakah seorang
terlahir sebagai Hutu atau Tutsi, selama mereka lahir atau hidup di Rwanda maka
mereka adalah rakyat Rwanda.
Cerita
gacaca dan kwibuka itulah yang membuat saya mulai memahami perbedaan antara
Soeharto dengan Kagame. Bahkan lebih jauh, perbedaan Rwanda dengan Indonesia.
Di
Indonesia, setiap kali kita buka mulut tentang tragedi ’65, pemerintah akan meninggikan
suara: masa lalu untuk apa diungkit-ungkit terus, ayo move on! Atau yang lebih sering: Ngapain sih terus-terusan membuka luka lama?
Indonesia
hingga detik ini selalu menolak untuk bicara tentang genosida ’65. Dalam narasi
yang dirawat pemerintah, genosida ’65 masih berhenti pada cerita tentang
penjahat dan korban. Semua yang berhubungan dengan PKI—meskipun hanya hubungan
darah—adalah penjahat, sementara yang tidak adalah korban. Narasi ini terus
dibiarkan sampai bangsa kita percaya betul bahwa ada sebagian dari warga negara
kita yang sah-sah saja hak-haknya tercerabut. Sementara itu, Rwanda justru
menjadikan genosida ’94 sebagai tema yang selalu jadi pembahasan, dengan tujuan
utama mewujudkan rekonsiliasi dan permaafan bagi semua rakyat. Ada usaha serius
dari pemerintah Rwanda untuk menjadikan pengalaman buruknya sebagai pelajaran,
sementara kita selalu menampik bahwa ada borok yang mesti segera diobati.
Saya
percaya bahwa pemerintah yang baik mengajak rakyatnya saling memaafkan, sementara
pemerintah yang buruk membiarkan rakyatnya dihantui rasa bersalah. Dalam hal
ini, kita benar-benar harus belajar dari Rwanda.
Di
masa depan, Indonesia mungkin bisa punya mobil buatan sendiri. Merk Esemka,
Esempe, atau bahkan Emtees. Dalam beberapa dekade ke depan, bukan tak mungkin
Iron Man Indonesia benar-benar ada: Dengan lilitan kabel yang ditempelkan ke dua
sisi pelipis, seorang lumpuh bisa menggerakkan kaki atau tangannya. Saya bahkan
optimis jika suatu hari Indonesia akan menemukan bahan bakar ramah lingkungan entah
dari pohon jarak, atau kecapi, atau kedondong yang menjadi solusi permasalahan
energi dunia.
Satu-satunya
hal yang tidak pernah saya percaya adalah jika suatu hari Indonesia paham betapa
berharganya sebuah pengakuan dan permaafan.
Ada banyak sekali perbedaan antara saya dan adik saya. Dan sialnya, kami hidup di tengah manusia: Makhluk yang entah mengapa gemar sekali membeda-bedakan. Mereka selalu membuat jarak dari apapun yang sudah dekat.
Satu-satunya manusia yang membuat kami merasa bahwa kami begitu sama, cuma Ibu.
Satu-satunya manusia yang membuat kami merasa bahwa kami begitu sama, cuma Ibu.
Seorang cantik suatu hari pernah berkata “Salah satu pelarian terbaik dari hidup yang
teruk adalah dengan fangirling”.
Saat itu sepertinya kami sedang menceritakan nasib dan kesialan masing-masing.
Kami mencari tahu adakah cara mengatasi nasib buruk yang lebih baik daripada bunuh diri.
Sebab, putus asa sebagaimana patah hati justru kerap menjatuhkan orang pada
kubangan kelakuan-kelakuan yang lebih menjijikkan daripada mengakhiri hidup:
misalnya menulis status galau-picisan yang dibumbui sindiran di dinding facebook.
Saya
kemudian mencoba menulis daftar panjang tentang solusi-solusi positif pelarian
hidup: mencipta tembang, belajar bahasa asing, berburu beasiswa, menjadi guru di tengah hutan, menanam kangkung dan bayam, membaca semua jenis kitab suci, dsb. Tapi
ia tetap konsisten pada satu hal: fangirling.
Ia
kemudian menjelaskan pada saya definisi kata tersebut. Fangirling menurutnya adalah menjadi penggemar garis depan boyband atau girlband Korea.
Ia lalu menceritakan tentang boyband yang ia sukai: BTS, kelompok bernyanyi-menari yang terdiri dari 7 pria terlalu tampan dengan genre padu-padan mulai dari hip-hop, rock, jazz, RnB, reggae, bahkan musik tradisional Korea.
Ia lalu menceritakan tentang boyband yang ia sukai: BTS, kelompok bernyanyi-menari yang terdiri dari 7 pria terlalu tampan dengan genre padu-padan mulai dari hip-hop, rock, jazz, RnB, reggae, bahkan musik tradisional Korea.
“Hidupku
tak pernah seberwarna ini sebelum mengenal BTS”, ujarnya. “Dan BTS, lewat lirik
lagunya telah mengubah hidupku. Suga, rapper BTS, sekaligus
orang yang paling kucintai di dunia, pernah bilang seandainya kamu cuma bisa jadi
pecundang, ya sudah jadi pecundang pun tak apa. Sejak itu aku mulai paham makna mencintai diri sendiri”
Cerita tersebut menjadi semacam stimulan bagi keingintahuan saya. Apalagi saat itu saya sedang berupaya cari perhatian perempuan ini. Saya pun menanyakan
apakah laki-laki juga boleh fangirling
dan ia menjawab kalau lelaki melakukan fanboying.
Tapi ujarnya, kalau mau menyebutnya fangirling pun tak apa. Biar lebih enak.
“Kalau Young Lex suka, aku pasti nggak bakalan suka sih. Ada
nggak rekomendasi selain Blackpink?”
“Yaudah
sih, dengerin aja dulu!”, balasnya seraya agak jengkel.
Beberapa
saat kemudian, saya membuka youtube dan mencari nama Blackpink. Saat itu Juni 2018. Blackpink baru saja merilis lagu baru berjudul Du-Ddu Du-Ddu. Ini adalah lagu pertama mereka yang saya dengar. Lagu swag yang kental dengan musik EDM, hiphop, dan synthetizer. Sayangnya, saya kurang suka musik jenis
ini.
Meski demikian, mata saya tak bisa lepas dari empat personil girlband ini. Biasanya,
ketika pertama kali melihat segerombolan orang Asia Timur Raya, saya hampir tak
bisa membedakan wajah mereka. Rupa mereka mirip-mirip. Tapi berbeda dengan Blackpink. Saya dapat langsung menilai bahwa tiap personil
punya kekhasan paras masing-masing, dan kecantikan mereka melampaui
kata-kata.
Saya kemudian mengamati bahwa citra yang dibentuk dari Blackpink
bukanlah citra perempuan imut-menggemaskan sebagaimana kebanyakan girlband yang pernah saya kenal
sebelumnya: SNSD, JKT48, Cherrybelle. Sebaliknya, sorot mata mereka menyiratkan keberanian perempuan untuk melampaui, cenderung menantang, bahkan sesekali mencemooh batas. Saat itu saya berkomentar: mereka
bad girl ya.
Tapi kesan
berbeda muncul saat saya mendengar lagu selanjutnya, As If It's Your Last. Lagu ini terdengar lebih segar, lebih pop, dan
lebih melodik. Jika Du-Ddu Du-Ddu menghadirkan kesan Black, lagu ini adalah Pink-nya. Begitu mendengar lagu tersebut, suasana hati saya langsung cerah dan ceria. Dan di bagian
reff, saya tak bisa tidak ikut bernyanyi dengan lirik sepenangkapan kuping jawa saya:
majimak codot mama majimak codot majimak
majimak codot.
Sejak As If Its Your Last, dunia tak pernah lagi sama. Saya seperti terserang obsesi sporadis untuk mencari tahu segala yang berhubungan dengan grup yang bisa edgy, tapi sekaligus
kiyowo ini. Hingga
akhirnya saya hafal nama keempat personil mereka: Lisa sebagai penari utama. Rose sebagai vokal satu, Jennie sebagai rapper, dan Jisoo sebagai visual sekaligus pewarna vokal paling unik.
Setelah memutuskan menjadi penggemar Blackpink, saya pun segera mengirim pesan pada tutor fangirling saya, “Deboraaaah, aku suka
Blackpink…”,
Dan ia
membalas dengan gembira,
“Wkwkwkwk..
Biasmu siapa?” Lalu
ia menjelaskan bahwa bias artinya personil band yang paling kita sukai.
“Aku
suka Jisoo, kenapa Jisoo cantik dan lucu sekali sih?? Aku kayak ketemu perempuan
yang paling aku cari di dunia selama ini”.
“Lo, kok samaan? Biasku di Blackpink juga Jisoo!”.
“Wkwkwk,
jodoh. Eh bukan ding, jodohku Jisoo”.