Aku, Blackpink, dan Tutor Fangirling-ku
Seorang cantik suatu hari pernah berkata “Salah satu pelarian terbaik dari hidup yang
teruk adalah dengan fangirling”.
Saat itu sepertinya kami sedang menceritakan nasib dan kesialan masing-masing.
Kami mencari tahu adakah cara mengatasi nasib buruk yang lebih baik daripada bunuh diri.
Sebab, putus asa sebagaimana patah hati justru kerap menjatuhkan orang pada
kubangan kelakuan-kelakuan yang lebih menjijikkan daripada mengakhiri hidup:
misalnya menulis status galau-picisan yang dibumbui sindiran di dinding facebook.
Saya
kemudian mencoba menulis daftar panjang tentang solusi-solusi positif pelarian
hidup: mencipta tembang, belajar bahasa asing, berburu beasiswa, menjadi guru di tengah hutan, menanam kangkung dan bayam, membaca semua jenis kitab suci, dsb. Tapi
ia tetap konsisten pada satu hal: fangirling.
Ia
kemudian menjelaskan pada saya definisi kata tersebut. Fangirling menurutnya adalah menjadi penggemar garis depan boyband atau girlband Korea.
Ia lalu menceritakan tentang boyband yang ia sukai: BTS, kelompok bernyanyi-menari yang terdiri dari 7 pria terlalu tampan dengan genre padu-padan mulai dari hip-hop, rock, jazz, RnB, reggae, bahkan musik tradisional Korea.
Ia lalu menceritakan tentang boyband yang ia sukai: BTS, kelompok bernyanyi-menari yang terdiri dari 7 pria terlalu tampan dengan genre padu-padan mulai dari hip-hop, rock, jazz, RnB, reggae, bahkan musik tradisional Korea.
“Hidupku
tak pernah seberwarna ini sebelum mengenal BTS”, ujarnya. “Dan BTS, lewat lirik
lagunya telah mengubah hidupku. Suga, rapper BTS, sekaligus
orang yang paling kucintai di dunia, pernah bilang seandainya kamu cuma bisa jadi
pecundang, ya sudah jadi pecundang pun tak apa. Sejak itu aku mulai paham makna mencintai diri sendiri”
Cerita tersebut menjadi semacam stimulan bagi keingintahuan saya. Apalagi saat itu saya sedang berupaya cari perhatian perempuan ini. Saya pun menanyakan
apakah laki-laki juga boleh fangirling
dan ia menjawab kalau lelaki melakukan fanboying.
Tapi ujarnya, kalau mau menyebutnya fangirling pun tak apa. Biar lebih enak.
“Kalau Young Lex suka, aku pasti nggak bakalan suka sih. Ada
nggak rekomendasi selain Blackpink?”
“Yaudah
sih, dengerin aja dulu!”, balasnya seraya agak jengkel.
Beberapa
saat kemudian, saya membuka youtube dan mencari nama Blackpink. Saat itu Juni 2018. Blackpink baru saja merilis lagu baru berjudul Du-Ddu Du-Ddu. Ini adalah lagu pertama mereka yang saya dengar. Lagu swag yang kental dengan musik EDM, hiphop, dan synthetizer. Sayangnya, saya kurang suka musik jenis
ini.
Meski demikian, mata saya tak bisa lepas dari empat personil girlband ini. Biasanya,
ketika pertama kali melihat segerombolan orang Asia Timur Raya, saya hampir tak
bisa membedakan wajah mereka. Rupa mereka mirip-mirip. Tapi berbeda dengan Blackpink. Saya dapat langsung menilai bahwa tiap personil
punya kekhasan paras masing-masing, dan kecantikan mereka melampaui
kata-kata.
Saya kemudian mengamati bahwa citra yang dibentuk dari Blackpink
bukanlah citra perempuan imut-menggemaskan sebagaimana kebanyakan girlband yang pernah saya kenal
sebelumnya: SNSD, JKT48, Cherrybelle. Sebaliknya, sorot mata mereka menyiratkan keberanian perempuan untuk melampaui, cenderung menantang, bahkan sesekali mencemooh batas. Saat itu saya berkomentar: mereka
bad girl ya.
Tapi kesan
berbeda muncul saat saya mendengar lagu selanjutnya, As If It's Your Last. Lagu ini terdengar lebih segar, lebih pop, dan
lebih melodik. Jika Du-Ddu Du-Ddu menghadirkan kesan Black, lagu ini adalah Pink-nya. Begitu mendengar lagu tersebut, suasana hati saya langsung cerah dan ceria. Dan di bagian
reff, saya tak bisa tidak ikut bernyanyi dengan lirik sepenangkapan kuping jawa saya:
majimak codot mama majimak codot majimak
majimak codot.
Sejak As If Its Your Last, dunia tak pernah lagi sama. Saya seperti terserang obsesi sporadis untuk mencari tahu segala yang berhubungan dengan grup yang bisa edgy, tapi sekaligus
kiyowo ini. Hingga
akhirnya saya hafal nama keempat personil mereka: Lisa sebagai penari utama. Rose sebagai vokal satu, Jennie sebagai rapper, dan Jisoo sebagai visual sekaligus pewarna vokal paling unik.
Setelah memutuskan menjadi penggemar Blackpink, saya pun segera mengirim pesan pada tutor fangirling saya, “Deboraaaah, aku suka
Blackpink…”,
Dan ia
membalas dengan gembira,
“Wkwkwkwk..
Biasmu siapa?” Lalu
ia menjelaskan bahwa bias artinya personil band yang paling kita sukai.
“Aku
suka Jisoo, kenapa Jisoo cantik dan lucu sekali sih?? Aku kayak ketemu perempuan
yang paling aku cari di dunia selama ini”.
“Lo, kok samaan? Biasku di Blackpink juga Jisoo!”.
“Wkwkwk,
jodoh. Eh bukan ding, jodohku Jisoo”.
0 komentar