Srilanka dan Ekspektasi tentang India
Sebelum menginjakkan kaki di Srilanka, saya hampir tidak
tahu apapun tentang negara ini. Singkatnya begini: bayangan saya tentang
Srilanka adalah segala ekspektasi tentang India. Yang sayangnya tidak hadir
dari pandangan mata langsung—saya belum pernah ke India—tapi dari puluhan film
India yang saya tonton 5 tahun terakhir ini.
Lebih tepatnya lagi, ekspektasi ini bukanlah India dalam
film-film Sakh Rukh Khan awal 2000-an yang identik dengan kehidupan kelas
menengah borjuis dengan segala ruwet percintaan dan pesta jor-joran. Tapi justru India dalam film-film Akhsay Kumar baru-baru
ini: negara padat penduduk yang jorok dengan laki-laki dekil yang kencing
sembarangan, juga lalu lintas awut-awutan—yang membuat macetnya Jakarta jadi terasa
kacangan.
Tentu ada
ekspektasi lain yang lebih positif. Misalnya, India dihuni penduduk yang sangat
bangga dengan budaya lokalnya : dimana-mana perempuan memakai sari, identitas
negeri Hindu juga tak pernah luput dari pandangan mata: patung dewa
dimana-mana.
Lalu tibalah saya
di Kolombo. Perihal pertama yang langsung mencolok mata adalah bentuk wajah
mereka yang lebih mirip orang India Selatan, atau kalau mengingat film,
saya teringat tokoh-tokoh dalam film Drishyam tapi dengan kulit lebih gelap. Sisanya
ya mereka sangat mirip orang India, terutama hidung lurus dan mancungnya, dan mata yang
besar. Selanjutnya, saya memperhatikan bagaimana perempuan dan laki-laki Srilanka
berpakaian. Persis, seperti di film-film India yang saya tonton.
Dimana-mana
perempuan mengenakan sari dan itu anggun sekali. Mereka nampak makin manis saat bercakap sambil menggoyang-goyangkan kepala. Sementara para lelaki sebaliknya.
Di mata saya mereka nampak menggelikan. Sebab mereka gemar sekali memakai
kemeja atau baju polo dengan warna terang mencolok—banyak sekali yang memakai
pink—yang sayangnya bertabrakan dengan kulit gelap mereka. Dan sudah tentu, mereka
suka membuka dua kancing baju teratas supaya bulu dada mereka kelihatan. Oh, tyda!
Ekpektasi saya tentang rupa orang India masih tak melenceng amat. Mari kita buktikan ekspektasi-ekspektasi yang lain.
Ekpektasi saya tentang rupa orang India masih tak melenceng amat. Mari kita buktikan ekspektasi-ekspektasi yang lain.
Ketika saya baru baru sampai Srilanka dan keluar dari Bandara Kolombo, saya dijemput taksi yang disetir seorang bapak ramah bernama Qirti. Begitu masuk mobil dan
mengikatkan sabuk pengaman, mata saya langsung tertuju pada patung Buddha yang
dipasang di sisi kiri setir. Lalu kami menuju pusat kota Kolombo, tepatnya di
lokasi hotel saya menginap. Memasuki Kolombo, patung Buddha semakin banyak
terlihat. Patung-patung ini biasanya terletak di sebelah pohon Boddhi, pohon beringin
karet dengan daun berbentuk hati yang konon menjadi tempat moksanya Buddha.
Sebab penasaran, saya bertanya pada Pak Qirti apakah mayoritas penduduk
Srilanka beragama Buddha atau Hindu seperti India. Ia lalu menjelaskan dengan
nada bersahabat bahwa 70 persen penduduk Srilanka adalah Buddha, sementara
Hindu hanya 15 persen, Islam 10 persen, dan sisanya beragama Nasrani.
Baiklah, persepsi saya tentang agama mayoritas meleset jauh. Srilanka sama sekali bukan Hindustan. Meski demikian, saya masih belum bisa
melepaskan diri dari ekspektasi-ekspektasi tadi. Apalagi ketika
sudah berada di pusat kota dan melihat aksara singhala dimana-mana: di penunjuk
jalan, baliho, atau spanduk-spanduk toko. Ok, aksara singhala tentu sangat berbeda dengan aksara India. Tapi bagi saya yang buta sama sekali aksara situ, kelihatannya ya sama saja.
Kini saya sudah berada di pusat kota. Jalanan Kolombo dikuasai
oleh Tuk-tuk, kendaraan roda tiga yang lebih kita kenal sebagai bajaj. Tuk-tuk
adalah raja jalanan. Tak banyak orang memakai motor. Saya kira orang Srilanka
cukup baik dalam memanfaatkan kendaraan umum. Selain tuk-tuk, bus adalah raja
kedua. Bentuk bus di Srilanka mengingatkan saya pada bus-bus klasik tahun 80-an
dengan bentuk chasing yang belum seramping sekarang dan warna putih, biru,
merah yang antik sekali. Jalanan Kolombo memang macet, tapi tidak separah
Jakarta. Ya, setidaknya mengingatkan saya pada macetnya Jogja lah—sebelum
perempatan Kentungan ditutup. Tapi ini yang mengejutkan: jalanan Kolombo
berbeda sama sekali dengan apa yang saya bayangkan tentang India.
Di Kolombo, pengendara cenderung lebih
tertib meskipun macet. Hampir tak ada peranakan setan yang sembarangan main klakson. Saya juga
tak menemui perempatan di mana lalu lintas benar-benar mandek karena kendaraan saling
menerobos lampu merah. Kondisi jalan
macet tapi orang-orang, termasuk sopir tuk-tuk, masih tahu batas.
Trotoar di
Kolombo juga masih jauh lebih baik daripada di Jakarta, Bandung, atau Jogja. Di
tiga kota besar Indonesia ini, trotoar biasanya dikuasai pedagang kaki
lima. Itu masih bagus. Biasanya, trotoar lebih sering diembat para cerudik beroda dua. Di Kolombo, masih kita temui banyak pejalan kaki yang menggunakan fasilitas ini. Pengemis dan pedagang asongan memang masih ada. Tapi warga sipil beragam usia, bahkan perempuan berhijab
yang etnis minoritas, atau remaja SMP yang
pulang sekolah, nampaknya merasa aman-aman saja jalan di trotoar. Yang jelas, tidak tak ada orang pipis sembarangan sebagaimana nampak di film Padman.
Trotoar di Srilanka masih dimanfaatkan dengan baik dan cukup bersih.
Puncak dari kesilapan ekspektasi saya adalah ketika saya
hendak menyeberang. Menyeberang bagi saya bukanlah perihal menyenangkan. Pengalaman 5
tahun tinggal di Jogja setidaknya mengajarkan saya bahwa menyeberang adalah rutinitas harian berada di antara hidup dan mati. Kalau Jogja yang berbudaya dan berhati nyaman—uhuy—saja
begitu, bagaimana dengan Srilanka yang mirip-mirip India ini? Sudah tentu kacau
balau! Dan di situlah ekspektasi saya jatuh sejatuh-jatuhnya: saat saya menyeberang, tiba-tiba sopir tuk-tuk, bus, juga pengendara motor memilih menekan remnya. Mereka mau berhenti bahkan saat jarak saya cukup jauh dengan posisi mereka. Mereka menunggu sampai
pejalan kaki ini benar-benar lewat dan selamat.
0 komentar