Bertemu Sir John dan Muhammad

Bertemu Sir John

Hari pertama ketika di Srilanka, saya iseng jalan-jalan di sekitar hotel tempat menginap. Hari itu, saya tak memegang uang barang 1 rupee pun. Alhasil saya tak mungkin memesan uber atau bahkan naik tuktuk.

Peta atau itinerary juga tak ada. Intinya, saya hanya bisa mengandalkan dua kaki saja untuk bergerak tak tahu kemana.

Sekiranya satu kilometer dari hotel, ada satu bangunan megah yang cukup mencolok mata. Saya tak tahu ini bangunan apa, yang jelas penuh tiang-tiang besar dan dikelilingi tentara pada berjaga.


Tak bisa masuk ke dalam, saya pun cuma mengamati dengan seksama sudut demi sudut bangunan dari luar pagar. Tanpa diduga, ternyata saya bertemu seorang yang namanya tak asing lagi di telinga orang Indonesia.

Adalah Sir John Kotelawala, mantan Perdana Menteri Srilanka yang pada tahun 1954 mengundang Indonesia, Burma, India, dan Pakistan untuk menghadiri konferensi yang ia sebut “Colombo Powers”. Asal kalian tahu, konferensi ini sebenarnya adalah konferensi non-formal. Konferensi yang diadakan tanpa agenda pasti—saya membayangkan mereka cuma ngeteh ceylon sambil gibah politik ngomongin perang dingin. Tapi ajaibnya, ternyata pertemuan yang mungkin iseng ini adalah cikal bakal lahirnya Konferensi Asia Afrika, konferensi revolusioner antar negara dunia ketiga itu.


Bagaimanapun, saya suka bertemu orang-orang yang terkadang random. Seneng iseng. Suka coba-coba.

"Coba aja dulu, kalau belum dicoba mana tahu hasilnya", ujar Milly dan Mamet.

"Siapa tahu penemuan", lanjut Mas Erix Soekamti.

Saya kira, Pak John adalah orang yang suka coba-coba itu dan saya senang bisa bertemu dengannya.

Dan sebab gembira bertemu Pak John, saya pun mengajaknya foto bersama.

"Pak John, foto bareng boleh?", tanya saya.
.
Tapi ia bergeming: meski tahi gagak lumer di kepalanya.



Bertemu Muhammad


Selepas bertemu Pak John, saya berjalan menuju sudut kota yang lebih sempit.


Lalu tibalah saya di sebuah daerah dekat pasar. Di sekitar situ, mobil roda 3 yang mereka sebut tuktuk berseliweran. Saya agak waspada. Sepanjang jalan, sopir-sopir mendekat dan menawari saya keliling kota "City tour, my friend?", dengan Inggris logat singhala yg kental.

"No, thanks...ma friend.", saya menolak sambil tersenyum kecil.

Di dekat situ, ternyata ada bangunan yang sepertinya sebuah masjid dengan kubah warna hijau tua. Melihatnya, tiba-tiba muncul pikiran di kepala saya untuk sholat. Siapa tahu dapat pengalaman spiritual atau setidaknya ya kultural, haha..


Saya pun masuk, wudhu, dan setelahnya menunggu beberapa orang supaya bisa berjamaah. Yang agak mengejutkan, tak ada satupun yang mau saya ajak berjamaah. Di dalam ada 6 orang dan semua sholat sendiri-sendiri.




Saya mengira mereka waspada dengan saya yang nampak tak lazim ini. Baikla, mungkin tak ada pancaran cahaya islami di rupa saya. Baik di Indo atau Srilanka orang akan mengernyitkan dahi sambil meninggikan suara "Anda Islam??".

Lucunya, setelah kelar sholat mereka langsung menghampiri saya. Lalu saya dikelilingi orang-orang Srilanka dengan antusiasme tinggi untuk menghujani pertanyaan.

"Where are u from, Brother?"

"Indonesia, country w/ largest moslem population".

"Really? Masyaallah!" What do u do here? Where do u stay? How old are you? Masyaallah! Subhanallah! Masyaallah! Allah. Allah. You're my family, you're my brother, Masyaallah!".

Mereka bertanya, saya menjawab. Lalu setiap jawaban itu akan mereka ikuti dengan rapalan-rapalan yang mereka tekan dengan mantap: "Masyaallah!".

Salah satu di antara ke-6 orang itu adalah Muhammad. Ia orang yg paling antusias mendengarkan cerita-cerita saya tentang Indonesia. Ia bahkan mengatakan ingin menemani saya jalan-jalan di sekitar kota.

"Bapak, saya harus kembali ke hotel, tapi jika jalan pulang kita searah, tentu saya senang mendengar cerita2 anda".

Tanpa pikir panjang, ia langsung mengiyakan. Saya sebenarnya agak kurang nyaman berjalan dengan orang asing. Bisa jadi, saya kurang percaya. Bisa jadi, saya merasa kurang aman. Tapi sedikit kekhawatiran itu saya singkirkan setelah tahu bahwa di setiap 100 meter di Kota Kolombo, biasanya ada tentara berjaga dan mereka membawa senjata laras panjang. Saya masih belum tahu mengapa kota harus dijaga seketat ini.

Sepanjang 20 menit pun kami bicara panjang lebar. Saya bertanya mengapa banyak tentara di Kolombo, ia menjawab dengan suara agak meragukan. Tapi ujarnya, pemerintah sedang meredam sebisa mungkin orang-orang yang hobi demo.

Darinya, saya juga jadi tahu beberapa hal tentang Islam di Srilanka yang jumlahnya kurang dari 10%. Ujarnya, Islam di Srilanka memang tidak banyak dan dari jumlah yang sedikit itu kebanyakan tinggal di Kolombo. Di Kolombo, orang Islam bisa beribadah dengan tenang tanpa harus khawatir kena cemooh. Saya ingin menjawab, di Indonesia pun kaum minoritas bisa beribadah dengan tenang, tapi saya urung sebab kalau dipikir ya tenang dari darimananya?

Muhammad mengambil foto saya di salah satu trotoar yang kami lewati.


Di salah satu jalan yang kami lewati, ada museum sejarah ekonomi Srilanka.

Muhammad kemudian menunjukkan foto keempat anaknya yang semua putra. Keempatnya itu juga ia beri nama Muhammad. Yang paling tua adalah Muhammad Abrar, dan ujarnya ia seusia dengan saya.


"Coba pak, tebak berapa usia saya?"

"Saya kira 21"

"Saya sudah 24 pak"

"Ah, saya tidak bisa mengira-ngira usia orang...maaf, saya lupa negara Anda"

"Indonesia, pak".

"Ah, ya Indonesia. You're moslem, you're my brother, you're my family".

Sampai ia menceritakan tentang keluarganya, kami ternyata sudah sampai di depan hotel. Ia masih ingin melanjutkan obrolan dan mengajak saya cari tempat duduk untuk berbincang. Tapi saya sudah lelah mendengar orang merapal doa di setiap akhir kalimatnya.

Saya katakan padanya, kalau saya harus bersiap-siap untuk acara nanti malam, lalu kami berpisah tanpa bertukar kontak atau apapun.

Biasanya saya adalah pengikut Muhammad. Sore itu, saya diikuti Muhammad.

Share:

0 komentar