Tanjungwangi, Srilanka, Rahwana



Selama 3 hari sejak 12-15 Desember, saya berada di Srilanka, negara yg konon dulunya adalah negeri Alengka, negerinya Rahwana.

Tujuan utama saya datang ke sini adalah mempresentasikan program Bank Sampah yang sudah berjalan 9 bulan di @desatanjungwangi di Forum Internasional Saemaul. Forum ini diikuti perwakilan dari 6 negara yaitu Korea Selatan, Vietnam, Rwanda, Srilanka, dan Indonesia di mana masing-masing perwakilan negara mempresentasikan contoh pembangunan desa yang sukses di negaranya.
Salah satu produk di Stan Desa Pitiyegama, salah satu desa di Srilanka yang sukses membuka agrobisnis jamur.
Sebenarnya ini sulit dipercaya. Sampah lo. Jauh-jauh terbang ke sana buat ngomongin soal sampah. Absurd kan.

Tapi mungkin memang dari sononya Srilanka sudah jadi negerinya hal-hal absurd. Coba pikir, Rahwana ngapain coba jauh-jauh nyebrang India cuma buat ngejar Sinta sementara gadis Srilanka manis-sekali sekali. Sumpah. Saya bertemu gadis-gadis Tamil dan Sinhala dengan kulit hitam manis, hidung mancung, dan rambut ikalnya, dan makin membuat saya keras berpikir kenapa Rahwana harus dengan Sinta?

Ah ya, kembali ke soal presentasi Bank Sampah.

Dalam presentasi ini saya menyampaikan proses bagaimana yayasan tempat saya bekerja mendampingi program Desa Bebas Sampah di Tanjungwangi. Program ini dimulai dengan fokus membangun SDM yang paham tentang sistem manajemen sampah berbasis komunitas. Jadi di tahun pertama program ini berjalan, yayasan hanya memberikan pelatihan demi pelatihan. Tidak ada pemberian bantuan fasilitas sama sekali. Warga berkali-kali diberi pengetahuan tentang bahaya sampah, cara mengelola sampah, dan bagaimana potensi nilai ekonomi sampah. Dari sinilah, program Desa Tanjungwangi Bebas Sampah membangun pondasinya.

Barulah di tahun kedua, yayasan memberi bantuan berupa infrastruktur. Bantuan pertama yang diberikan adalah 188 tong sampah yang dipasang di lima kedusunan. Saat itu, warga Tanjungwangi memang masih mempunyai kebiasaan membuang sampah di sungai. Untuk mulai menghilangkan kebiasaan buruk itu, disediakanlah fasilitas tong sampah yang berada di dekat rumah warga. Terbukti, seiring dengan bertambahnya fasilitas, warga pun tak lagi membuang sampah ke sungai.

Fasilitas bagaimanapun memang perihal yang sangat penting untuk mendukung suatu program. Tapi selanjutnya saya menekankan bahwa sebenarnya ada hal yang jauh lebih penting: yaitu gotong royong. Jelasnya, desa yang tak diberi bantuan fasilitas dari NGO pun sebenarnya bisa mempunyai 188 tong sampah pilah sendiri selama warganya bersedia meluangkan waktunya untuk membangun fasilitas bersama.

Seiring dengan baiknya pemanfaatan tong sampah di Desa Tanjungwangi, yayasan pun kemudian menambah bantuan fasilitasnya yaitu dengan memberikan seperangkat motor roda tiga dan satu unit truk. Dari sinilah program Desa Tanjungwangi Bebas Sampah pada awal tahun 2018 meluncurkan sub-program pengangkutan sampah. Program pengangkutan sampah ini nantinya akan diikuti program Bank Sampah yang kemudian menjadi bahasan utama dalam presentasi ini.

Karena butuh lembar yang sangat panjang untuk menjelaskan tentang Bank Sampah Betah Mandiri, kegiatan Bank Sampah ini bisa ditonton di video 5 menit yang ada di link ini.


Presentasi saya disaksikan sekitar 200 peserta. Banyak pejabat dari Korea Selatan dan Srilanka yang hadir di acara ini.
Dalam presentasi ini, sebenarnya saya juga menyampaikan tantangan dan halangan yang selama ini kami hadapi. Sebab, sebenarnya program ini masih banyak sekali cacat-bolongnya. Misalnya saat awal program berjalan, pengurus program sampah harus merugi sampai angka 2 juta per bulannya. Atau pengalaman sial Bank Sampah yang salah pasang harga sehingga besar pasak daripada tiang. Juga Bank Sampah Betah Mandiri pun pernah tidak aktif 2 bulan karena petugas malas menimbang di bulan puasa dan sayangnya saat itu direktur BUMDes tidak keburu menegurnya.

Saya kira presentasi ini akan jadi terlalu buruk. Sebab, saat delegasi negara lain bicara tentang kesuksesan mereka, saya malah bicara soal progres penghasilan yang fluktuatif.

Tapi tak disangka, ternyata presentasi saya mendapat banyak sekali apresiasi. Seorang wakil rektor Yeongnam University, juga seorang mantan direktur atase kerjasama Korea-Serbia mendatangi saya langsung dan memberi saya selamat setelah presentasi usai.  Tak cuma itu, para peserta yang kebanyakan datang dari pemerintah Srilanka dan warga desa-desa dari Srilanka juga mengaku terkesan. Sebab, seumur-umur baru kali ini mereka mendengar konsep Bank Sampah. Wqwq. Menurut mereka, konsep tersebut sebetulnya bisa diterapkan di Srilanka yang juga punya permasalahan dengan isu sampah.

Saya kira dari sini saya jadi tahu satu hal: banyak sekali hal-hal yg di sekitarmu nampaknya banal dan murahan, ternyata begitu bernilai di belahan bumi lain. Maka, jangan minder untuk bercerita.

Setelah presentasi kelar, beberapa orang meminta kontak WA saya. Mereka meminta kiriman artikel-artikel berbahasa Inggris tentang Bank Sampah. Mereka penasaran siapa tahu konsep tersebut bisa diterapkan di sana.

Tak cuma itu. Sore itu saya juga merasa seperti seleb. Sebab, penampilan saya yang seperti Ridwan Kamil dengan sedikit kearifan Tiongkok sepertinya nampak eksotis dan cukup mempesona bagi mereka. Walhasil, saya dirubung Ibu-ibu dari Desa Pitigeyama dan salah satunya menanyakan apakah saya sudah menikah. Sebab jika belum, ia punya anak perempuan yang mungkin cocok buat jadi jodoh saya.

Haduh Bu, ya kali saya harus sebucin leluhur Anda yang rela nyebrang negara demi cinta. Wong LDR Subang-Semarang saja kgn melulu *hiya :((







Share:

0 komentar