Paman Sekamana dan Sisi Terang Gelap Rwanda



Di penghujung tahun 2018, Bapak Junjungan Umat Kampret Indonesia, Prabowo Subianto, mengeluarkan pernyataan sembrono yang segera saja jadi bola panas terutama di kalangan Umat Cebong. Pernyataan itu kurang lebih berbunyi bahwa tingkat ekonomi negara kita setingkat dengan Haiti dan Rwanda, dua negara di Benua Afrika yang menurutnya tak pernah kita kenal dan ketahui letaknya.

Segera setelah pernyataan itu meluncur, para cebong pun ramai-ramai menyebut Prabowo idiot dengan alasan: Haiti berbeda dengan Rwanda karena Haiti terletak di kepulauan Karibia, bukan Afrika.

Lalu waktu lewat begitu saja. Perdebatan soal Haiti-Rwanda hilang tak berbekas. Umat Indonesia, baik cebong maupun kampret, beralih ke perdebatan yang malah makin ampas, dari tata cara bersuci yang benar sampai lafadz Allah di atas jidat.

Berbicara soal Rwanda, beberapa waktu lalu ketika sedang berada di Srilanka saya berkenalan dengan seorang dari negara tersebut bernama Janvier Sekamana. Kebetulan saat itu kami adalah sesama presentator di sebuah forum internasional yang membahas model pembangunan desa.

Kami bertemu ketika sedang jamuan makan siang di salah satu restoran di Kolombo. Saat itu di bawah cuaca Srilanka yang terik, ia memakai jas abu-abu gelap. Sebab merasa gerah, ia pun membuka seluruh kancing jasnya dan menampakkan dalaman kaos putih bergambar seorang tokoh yang sepertinya tak asing bagi saya. Melihat sosok di kaos itu, saya pun menyapanya terlebih dahulu.

"Vous devez être vraiment fier de votre président. Je le connais. Paul Kagame, n'est-ce pas?". Anda pasti sangat bangga dengan Presiden anda. Saya tahu siapa foto orang di kaos anda. Paul Kagame, bukan?

Seperti sudah saya duga, ia terperangah mendengar saya mengenal sosok tersebut. Lebih-lebih, ketika saya mengatakannya dengan bahasa Prancis.

Kemudian sebelum sempat membahas tentang sosok di kaosnya, kami pun saling berkenalan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai pendamping desa di salah satu distrik di Kigali, sementara saya bercerita perihal 4 tahun kuliah sastra Prancis.

“Belajar Bahasa asing  di negeri sendiri membuat saya jarang berinteraksi dengan penutur aslijadi mohon maaf jika bahasa prancis saya remuk redam”, ujar saya seraya mengharap ia memaklumi kalau sesekali saya membuka kamus daring.

Berawal dari perkenalan tersebut, selama 3 hari berikutnya kami jadi sering terlibat dalam obrolan. Obrolan kami lebih banyak membahas tentang negaranya, Rwanda. Tapi tak jarang pula saya bercerita padanya tentang Indonesia dan mencoba membandingkan beberapa hal di antara kami.

Lewat perbincangan dengan Paman Sekamana lah, banyak sekali hal baru yang saya tahu tentang negara tersebut. Dan dari situlah, saya menyimpulkan bahwa saya perlu menuliskan beberapa perihal dalam obrolan kami tentang Rwanda. Sebab, selain penting untuk bahan permenungan, saya yakin bahwa orang-orang yang sama sekali tak tahu tentang Rwanda adalah orang yang merugi, kalau bukan udik.

GELAP

Ketika berbicara tentang Rwanda, orang akan selalu menyebut untuk pertama kali tentang Genosida 1994. Tragedi yang membantai dan menewaskan lebih dari 800.000 orang ini pun menjadi tema di banyak film tentang Rwanda seperti Hotel Rwanda (2004) atau Sometimes in April (2005).

Genosida ini berakar dari konflik antar suku, yaitu suku Tutsi yang merupakan minoritas dan suku Hutu yang merupakan mayoritas. Konflik ini bermula ketika Rwanda masih berada di bawah jajahan Belgia. Kala itu Belgia sebagaimana bajingan kolonial lainnya menerapkan politik adu domba—divide et impera—dengan cara mendudukkan orang-orang dari suku Tutsi di jabatan-jabatan penting pemerintahan. Hal ini memicu dengki bagi suku Hutu yang merasa lebih berhak mendapat porsi kekuasaan karena mereka adalah mayoritas.

Kecemburuan ini menjadi bom waktu ketika akhirnya Rwanda merdeka pada 1962. Suku Hutu yang merasa ditindas di masa lalu merasa berhak membalaskan dendamnya pada suku Tutsi. Maka sepanjang 1962-1994, rasa benci itu seperti eceng gondok di atas air keruh. Perlahan tumbuh, semakin subur, dan tak terkontrol.

Puncaknya terjadi pada tanggal 6 April 1994. Hari itu, Presiden Juvenal Habyarimana—yang mempunyai visi mempersatukan semua suku—tewas setelah pesawat yang ia tumpangi ditembak rudal saat hendak mendarat di Bandara Internasional Kigali.

Dengan kosongnya kekuasaan itulah, beberapa pihak memanfaatkan situasi. Mereka mengkonfrontasi suku Hutu untuk mulai membalaskan dendamnya dengan membunuh siapapun cockroach—julukan untuk orang Tutsi—yang mereka temui.

Maka, dalam tempo kurang dari 100 hari, Rwanda menjadi palagan yang lebih mengerikan daripada neraka. Satu per satu orang dibedil atau disembelih. Rwanda menjadi kubangan darah dengan mayat-mayat Tutsi yang bertumpuk hingga menutupi jalan. Anyir. Dengan kepala buntung, dan organ tubuh pating berceceran.

Paman Sekamana berusia 24 tahun saat pembantaian itu terjadi. Usianya sama seperti saya sekarang. Ujarnya, ia adalah saksi hidup yang melihat langsung bagaimana leher manusia digorok di tempat yang seharusnya menjadi tempat paling suci: gereja.

Kala itu, gereja adalah tujuan utama bagi orang-orang yang lari bersembunyi. Orang-orang barangkali mengira bahwa di dalam rumah Ilah, setan tak bisa bernafas sehingga manusia-manusia paling beringas pun tak akan mengokang senjatanya. Tapi dugaan itu sepenuhnya keliru. Sebab, di dalam gereja lah pembantaian justru paling mangkus. Dengan beberapa berondong peluru, ajal datang sekaligus. Begitulah kematian demi kematian terjadi. Di antara dinding kapel yang dingin. Di bawah salib yang menjadi merah.

Setelah mendengar kisah tersebut, saya lantas memberondongi Paman Sekamana dengan pelbagai pertanyaan.

“Jadi karena Anda selamat, maka Anda seorang Hutu ?".

«  Non ». Bukan.

"Tutsi ?!"

« Non plus ». Bukan pula.

"Jadi, bagaimana Anda masih waras sampai sekarang?”.

Ia nyengir, mengeluarkan suara tawa kecil dan memperlihatkan giginya yang seputih kapur, « Ma mère est Tutsi, mon pêre est Hutu. Si votre père est Hutu, il pouvait sauver toute votre famille » Ibuku Tutsi, ayahku Hutu. Jika ayahmu seorang Hutu, maka ia bisa menyelamatkan seisi keluargamu.

“Paman, dari film-fim yang saya tonton, saya kira orang Tutsi sedikit lebih berkulit terang daripada Hutu yang lebih legam. Jadi, para jagal itu membedakan suku dengan menebak warna kulit ya?”

“Tidak sama sekali. Orang Rwanda bahkan tak bisa membedakan mana Hutu mana Tutsi. Kami sangat mirip. Nyaris sama. Kala itu jika kau seorang Hutu tapi kau lupa membawa KTP, sudah pasti nyawamu juga akan melayang”.

Ia lalu mengambil dompet hitam dari sakunya, mengeluarkan selembar kartu identitas berwarna biru laut, menyerahkannya pada saya, dan meminta saya mengamatinya.

Kartu Tanda Penduduk Rwanda.

Isi kolom: nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, tanda tangan, nomor KTP.

Saya tak tahu apa yang ingin ia tunjukkan pada saya. Sejauh pengamatan, KTP ini tak nampak beda dengan KTP Indonesia kecuali dalam hal bahasa.

Alors?” Jadi intinya apa?.

Lalu ia menjelaskan, “24 tahun lalu, ada 1 kolom tentang identitas ras apakah kamu seorang Hutu atau Tutsi. Tapi kolom jahanam itu kini sudah hilang. Kau tahu siapa yang melenyapkannya? Ia adalah orang yang sama dengan orang yang menghentikan genosida Rwanda.

Paman Sekamana lalu berdeham, sedikit membusungkan dadanya, sembari dengan raut penuh bangga menunjuk gambar di atas kaos putihnya “Presiden Paul Kagame”.

TERANG

“Today, Rwanda is the land of hope, not hatred”.

Paman Sekamana mengatakan hal tersebut sebelum menceritakan satu per satu perubahan yang terjadi di Rwanda selama 2 dekade terakhir—sejak Kagame menjadi presiden.

Ketika menceritakan Paul Kagame, Paman Sekamana bisa sampai berbusa-busa. Ia pertama menjelaskan bahwa berkat Kagame negaranya kini mendapat julukan “Singapore de l’Afrique”. Singapura-nya Afrika.

“Seperti Singapore, negara kami kecil dan sumber alam kami pas-pasan. Lebih buruknya, kami bahkan tak punya laut”.

Tapi Paul Kagame menciptakan gelombang perubahan besar terutama di bidang ekonomi. Ia mulai membangun sekolah, rumah sakit, bandara, dan jalan raya yang menghubungkan distrik dengan distrik. Ia membuka lahan jagung seluas-luasnya dan membangun pabrik jagung pertama. Ia juga mencanangkan program “1 Sapi, 1 Keluarga” yang membuat Rwanda kini jadi negara pengekspor ternak tersebut. Singkatnya, ia begitu cerdas dan kreatif dalam memaksimalkan sumber daya yang terbatas. GDP Rwanda yang jatuh dari angka 1,6 Milyar menjadi 450 Juta Euro pada 1994, kini kembali mencapai angka 4,4 M Euro. Tingkat perkembangan ekonomi Rwanda setiap tahunnya mencapai angka 7 hingga 8 persen.

Kreativitas Kagame juga tak berhenti pada program peningkatan ekonomi saja. Ia menjadikan negaranya sebagaimana negeri yang diimpikan kaum feminis: Rwanda menjadi negara dengan persentase tertinggi di dunia untuk anggota perempuan di parlemennya (68%). Dalam hal kesetaraan gender di bidang politik, Rwanda bisa mengungguli negara macam Denmark, Swedia, atau Canada.

Salah satu perubahan besar di Rwanda yang paling kerap dibicarakan dunia saat ini adalah kebijakannya di bidang lingkungan. Beberapa terobosan dilakukan pemerintah Kagame misalnya dengan melarang penggunaan tas plastik sejak 2008. Sebagai solusi atas pelarangan ini, pemerintah Rwanda membuka keran investasi bagi pengusaha kreatif yang mau menjadi produsen tas dari kain, kertas, atau daun pisang. Selain itu, Rwanda juga menggalakkan program penghijauan dengan misi menutupi 30 persen daratannya dengan hutan hijau. Hutan hijau ini kemudian disulap menjadi cagar alam atau taman nasional. Berkat usahanya membuka taman nasional Nyungwe, Gishwati, Mukura, dan Rugezi, Rwanda mendapat penghargaan Green Globe Award pada 2010.

Saya kira sangat jarang sebuah negara berkembang peduli amat dengan isu lingkungan. Tapi Rwanda membuktikan bahwa dengan komitmen penuh di bidang lingkungan, Rwanda bisa menciptakan perubahan besar. Salah satu perubahan besar itu bisa dilihat dari Kigali, Ibu kota Rwanda, yang kini dijuluki sebagai kota paling bersih di Afrika.

Seandainya kau punya sedikit waktu, cobalah meluncur ke youtube dan ketikkan kata kunci “Kigali”. Niscaya, kata kunci itu secara otomatis akan diikuti beragam embel-embel macam “the cleanest” atau “the safest” city in Africa. Selanjutnya, kau bisa membuka satu demi satu video itu dan melihat bagaimana sebuah kota di negeri “tak dikenal” itu, sepatutnya membuat warga Indonesia—apalagi orang Jakarta—tutup muka. Kigali adalah kota yang resik. Sangat resik. Pepohonan ditanam dengan rindang, trotoar menjadi tempat titian kaki yang bikin warga bungah, petugas kebersihan maupun warga sipil bisa bekerja sama mewujudkan kota yang nyaman dipandang.

Jempolan sekali bukan?

TERANG ATAU GELAP?

Rwanda hari ini adalah negara di benua hitam yang paling kerap menjadi perbincangan dunia internasional. Kendati demikian, perbincangan itu tak melulu berisi puja-puji atas keberhasilan mereka di bidang ekonomi. Sebab nyatanya, Rwanda juga kerap disinggung atas problematikanya di bidang politik.

Di hari terakhir ketika berada di Srilanka, saya melemparkan pertanyaan yang saya kira cukup sensitif. Pertanyaan itu berkisar pada isu demokrasi di Rwanda yang kerap dipermasalahkan terutama oleh orang-orang Barat.

Tak sedikit orang yang menyebut Paul Kagame sebagai diktator. Panggilan diktator yang disematkan padanya semakin gencar seiring dengan duduknya kembali Kagame di kursi presiden untuk periode ketiganya. Padahal di konstitusi Rwanda, seorang presiden hanya bisa memimpin selama dua periode di mana tiap periode berjalan tujuh tahun. Tapi, konstitusi tersebut diubah sebelum pemilu 2017. Dalam aturan baru yang dibuat, presiden boleh memimpin negara selama 3 periode. Perubahan ini tentu menguntungkan Kagame yang akhirnya bisa melenggang kembali ke kursi kekuasaan sampai 7 tahun ke depan.

Sejauh perbincangan kami dalam dua hari sebelumnya, saya mengenal Paman Sekamana sebagai seorang yang agak fanatik pada Kagame. Untuk menanyakan perihal yang buruk tentang hal yang disukai seseorang, kita perlu menunggu waktu yang tepat atau lebih baik diam sama sekali. Tapi saat itu kami sedang minum teh Ceylon, teh khas Srilanka dengan komposisi teh hitam bercampur kelopak bunga kering berwarna ungu yang aromanya begitu semerbak dan menenangkan. Lalu sambil menyesap perlahan teh itu, akhirnya saya memberanikan diri bertanya perihal Kagame dan demokrasi.

“Paman, mohon maaf jika saya menyinggung Paman. Tapi bagaimana dengan Demokrasi di Rwanda? Bukankah beberapa pihak memanggil Kagame sebagai presiden otoriter?

 “Bagus, laissez-moi vous répondre. De peu un peu. Mari kita jawab sedikit demi sedikit”, ujarnya.

Kemudian ia meminum tehnya dengan cara menenggak, sebelum memberikan jawaban yang justru disesaki pertanyaan.

“Jika benar Kagame diktator, mengapa ia menang pemilu dengan perolehan 99% suara? Let me tell you, Kagame telah mengubah Rwanda. Angka kemiskinan turun, angka kematian bayi turun, begitu pula dengan angka buta huruf. Jika rakyat mencintainya lalu ia memimpin lagi, kenapa ia dipanggil diktator? Lagipula, apa itu demokrasi? Siapa yang mengharuskan negara demokrasi hanya dipimpin 10 tahun? Apakah lagi-lagi, kita harus mengekor pada bangsa oksidental?”.

“Paman, tapi saya pernah membaca artikel tentang betapa bahaya mengkritik Kagame bagi orang Rwanda. Patrick Karegeya, mantan intel negara Anda yang banting setir jadi pengkritik pemerintah, bahkan tewas dengan berondongan peluru. Lalu bagaimana pula dengan 8 wartawan yang hilang? Apa sebegitu penting kesuksesan ekonomi dibanding penghargaan pada kebebasan?”.

Saya mengeluarkan pernyataan itu sambil menceritakan tentang pengalaman Indonesia 32 tahun di bawah rezim Soeharto. Seperti halnya Kagame, Soeharto juga presiden yang “dicintai” rakyatnya. Tapi “cinta” itu tidak hadir dari ruang hampa melainkan dari kemampuan rezim Soeharto menghegemoni rakyat secara sistematis. Ia, dengan instrumen kekuasaan yang dimilikinya, menasbihkan dirinya sebagai “Bapak Pembangunan Indonesia”.

Mendengar cerita saya, Paman Sekamana tetap bersikukuh bahwa Kagame adalah presiden yang semurni-murninya dicintai rakyatnya. Keyakinan Paman Sekamana semakin bertambah setelah mendengar cerita saya tentang genosida ’65 yang pernah didalangi Soeharto.

“Presiden Rwanda menyelesaikan genosida. Presiden negara Anda jadi dalangnya. Presiden kami melawan phobia, presiden Indonesia merawatnya”, ujarnya dengan mantap.

Lelaki bertubuh jangkung itu sejenak kemudian menceritakan pada saya tentang rekonsiliasi konflik genosida yang pernah dilakukan Kagame untuk mendamaikan hubungan antara Hutu dan Tutsi.

Pada tahun 2002, Rwanda misalnya menginisiasi sebuah sistem peradilan yang disebut gacaca. Gacaca adalah program yang ditujukan pada puluhan ribu jagal yang ditetapkan sebagai tersangka genosida ’94. Dalam gacaca, para tersangka pada awalnya diminta untuk mengakui kejahatannya. Mereka yang bersedia melakukan pengakuan, kemudian akan mendapat remisi. Setelah keluar dari tahanan, mereka juga harus melakukan kerja sosial di lingkungan di mana mereka dulu pernah berbuat kejahatan. Artinya, mereka tak sekadar saling memaafkan, tetapi juga harus menjalani kehidupan bersama mereka. Menurut pemerintah Rwanda, gacaca telah merekonsiliasi lebih dari 1,9 juta kasus.

Selain gacaca, Rwanda juga menetapkan tanggal 7 April setiap tahunnya sebagai kwibuka, yaitu hari mengenang tragedi ’94. Pada saat kwibuka, ada seremoni di mana suku Hutu dan Tutsi saling bertemu, saling memaafkan, lalu berbagi santapan. Selama 100 hari setelah 7 April, Rwanda juga mengajak warganya baik Hutu maupun Tutsi untuk bersama-sama mengunjungi urwibutso, sebuah monumen untuk mengenang para korban genosida.

Selain itu, terobosan paling penting dari pemerintahan Kagame adalah menghapuskan kolom suku di KTP Rwanda yang sudah bertahan sejak awal masa kolonialisme. Sebab menurut Kagame, tak penting lagi apakah seorang terlahir sebagai Hutu atau Tutsi, selama mereka lahir atau hidup di Rwanda maka mereka adalah rakyat Rwanda.

Cerita gacaca dan kwibuka itulah yang membuat saya mulai memahami perbedaan antara Soeharto dengan Kagame. Bahkan lebih jauh, perbedaan Rwanda dengan Indonesia.

Di Indonesia, setiap kali kita buka mulut tentang tragedi ’65, pemerintah akan meninggikan suara: masa lalu untuk apa diungkit-ungkit terus, ayo move on! Atau yang lebih sering: Ngapain sih terus-terusan membuka luka lama?

Indonesia hingga detik ini selalu menolak untuk bicara tentang genosida ’65. Dalam narasi yang dirawat pemerintah, genosida ’65 masih berhenti pada cerita tentang penjahat dan korban. Semua yang berhubungan dengan PKI—meskipun hanya hubungan darah—adalah penjahat, sementara yang tidak adalah korban. Narasi ini terus dibiarkan sampai bangsa kita percaya betul bahwa ada sebagian dari warga negara kita yang sah-sah saja hak-haknya tercerabut. Sementara itu, Rwanda justru menjadikan genosida ’94 sebagai tema yang selalu jadi pembahasan, dengan tujuan utama mewujudkan rekonsiliasi dan permaafan bagi semua rakyat. Ada usaha serius dari pemerintah Rwanda untuk menjadikan pengalaman buruknya sebagai pelajaran, sementara kita selalu menampik bahwa ada borok yang mesti segera diobati.

Saya percaya bahwa pemerintah yang baik mengajak rakyatnya saling memaafkan, sementara pemerintah yang buruk membiarkan rakyatnya dihantui rasa bersalah. Dalam hal ini, kita benar-benar harus belajar dari Rwanda.

Di masa depan, Indonesia mungkin bisa punya mobil buatan sendiri. Merk Esemka, Esempe, atau bahkan Emtees. Dalam beberapa dekade ke depan, bukan tak mungkin Iron Man Indonesia benar-benar ada: Dengan lilitan kabel yang ditempelkan ke dua sisi pelipis, seorang lumpuh bisa menggerakkan kaki atau tangannya. Saya bahkan optimis jika suatu hari Indonesia akan menemukan bahan bakar ramah lingkungan entah dari pohon jarak, atau kecapi, atau kedondong yang menjadi solusi permasalahan energi dunia.

Satu-satunya hal yang tidak pernah saya percaya adalah jika suatu hari Indonesia paham betapa berharganya sebuah pengakuan dan permaafan.

Share:

0 komentar