Ini tulisan lanjutan dari post kemarin. Akan ada banyak
pisuhan, bagi yang kurang berkenan melihat saya memisuh, jangan marah,
maafkanlah.hehe.. Kapan-kapan kita ngobrol tentang misuh. Tapi saya cerita tentang ini dulu, saya rasa ini penting untuk saya bagikan.
------------------------------------------------------------------------
Sampai di Stasiun Pasar Senen, saya dan Lukman berniat mencari makan
untuk sahur. Karena kami pikir makan di stasiun pasti sangat mahal, kami pun
keluar dari stasiun dan langsung belok kiri dari pintu masuk stasiun. Keadaan di sekitar stasiun saat itu masih
ramai, dan saya pikir bakal aman-aman saja. Sekitar 200 m kami berjalan, disitu
sudah tidak seramai di depan pintu, tapi masih cukup banyak orang.
Tiba-tiba ada orang bertubuh gempal, rambutnya botak,
dia pakai kaos warna putih dan celana pendek warna krem yang sudah sangat
lusuh, dari mulutnya sangat bau alkohol, dia minta kami berhenti. “Eh, siapa lo?
Mau kemana?” . Saya yang waktu itu menjawab “Nih mau cari makan bang, di warung
situ.” . Mendengar jawaban saya, masnya ini malah nyolot “Lo ati-ati ya, disini tempat gue, gue
banyak temen disini. Sini kasih uang rokok !” .
Perasaanku waktu itu langsung campur aduk, ning batinku ada
dua suara “Astaghfirullah.. apes banget, nembe wae 5 menit wis kena preman. Ya
Allah pie iki..”, “Jancukkkk...Asuuuu iki wong... Nyong ora pan macem-macem kie
lah!”.
Sedangkan Lukman langsung ngeluarin rokok dari tasnya, dia
kasih 1 bungkus rokok promild ke preman tadi, eh malah tambah marah-marah ini orang, logatnya agak
kemedan-medanan “Apaan ni? Gue butuh duit buat minum! Lo yang sopan ya, jangan
sok lu, gua nahan emosi nih bisa gua hajar lo disini”. “Lho, katanya minta
rokok bang? Ini nggak papa buat abang semua”, jawab Lukman dengan ekspresi yang
sudah mirip kumbahan teles.
“Sekarang lo bawa duit berapa, jawab jujur, jangan
berani-berani nggak jujur ya !” . Waktu preman itu sedang melancarkan aksinya,
disitu sebenarnya banyak supir bajaj dan supir taksi, saya sendiri heran kok
mereka diam saja nggak ada yang bantu kami, cuma pada ngliatin ! Bahkan waktu
ada bajij pas lagi di depannya, si preman dengan santainya malah ngajak ngomong ke sopirnya “Udah...” , kata si preman tadi.
Disini saya mulai mikir, berimajinasi kayak di film, saya
lari dari preman itu, segera kabur. Tapi belum ada kode sama Lukman, kalau saya
lari, njuk Lukman dipateni pie?? Masalahnya itu orang pasti bawa pisau juga,
ini urusannya untuk hidup mati. Saya akhirnya mencoba agak sabar dan istighfar,
sambil ngomong ke abangnya “Astaghfirullah bang.. kami baru aja sampai, Cuma
niat cari makan” . “Udah diem aja lo, jangan banyak omong, gua mulai panas nih!
Gua tanya lo punya uang berapa?”.
Karena panik, dan maklum lah, takut juga, si Lukman jawab
“Saya Cuma bawa uang sejuta bang,ini uang beasiswa bang, tolong lah bang jangan gitu.” “Sini
serahin dompetnya biar gua itung”. Saya yang waktu itu di sebelahnya Lukman
Cuma bisa bisik-bisik “Ojo, di lobi sek!”. Lukman pun akhirnya menyodorkan uang
40 ribu ke preman itu, dan preman itu minta tambah, lagi-lagi Lukman nambah 100
ribu buat ke abangnya. Dan si preman tambah misuh “Uang segitu bisa buat apa,
lo pikir gua anak kecil?”.
Sikaaak... disini saya malah emosi sama diri sendiri juga
“Astaghfirullah, aku kok ra wani ngajak gelut yo...” “Uassu, kudune aku ki cah
lanang biso opo lah, karate opo taekwondo, atau opo lah. Sikak ! Malah ra biso
ngopo-ngopo saiki. Goblok !”
Saking campuraduknya emosi saya, saya malah jawab panjang
lebar ke premannya “Bang, kan abang minta tolong ke kita, nah kita mau nolong
nih, tapi cuma bisa ngasih segitu dan ikhlas kok. Jangan gitu lah bang..” , aku goblok yo??
Hahahaha.... Kembali lihat keadaan sekitar, disitu supir-supir bajaj masih pada
ngelihatin kami, tanpa satupun pedulu. “Bang tolong ya bang, kita mau cari
makan nih, kita cuma bisa bantu segitu.”, dan tiba-tiba premannya “Diam lo
ANJING !!” PLAKK, kepele sing ping pindone kepelku wis ngantem raiku, jigur
rada pegel cuk ! Bejo ra buanter...
Berikutnya percakapan panjang terjadi antara Lukman dan si
Preman, si Lukman menolak untuk memberikan dompet, karena pasti ia akan segera
lari. Lukman malah cerita panjang lebar tentang tujuan dia ke Jakarta, dan
JUJUR banget. “Bang, saya ini mau ngurus visa, besok mau belajar di Thailand,
nah saya bawa uang 1 juta, ini tinggal untuk bayar visa, makan, dan pulang.
Tolong lah bang, kami ini nggak tau apa-apa, ya kita saling ngertiin lah bang.
Saya malah belum tahu bang dimana kedubes Thailand soalnya benar-benar nggak
tau tentang Jakarta”.
Yang terjadi berikutnya?? Entah gimana, mungkin dengan wajah
kita yang sudah memelas dan ngeles terus tiap masnya nantang, akhirnya preman
itu agak lunak, Lukman akhirnya ambil keputusan, “Nih bang 200 buat abang, tambah
yang ini (uang 40 ribu), udah ya bang kita mau cari makan dulu”. Dan abangnya
juga jawab “Ya udah sini, lu jangan macem-macem disini! Sana pergi..” . Habis
itu kami segera jalan cepat balik ke arah stasiun, sambil melewati supir-supir
bajaj dan taksi yang daritadi cuma nglihatin.
Waktu kami balik stasiun, kami langsung berjalan cepat,
karena preman itu masih melihat tajam ke arah saya dan Lukman. Saya langsung
misuh “Bajingaaan... walah bejo isih urip luk !”. “Hooh, sikak yakin, nggajal
yo lapor polisi, mau ono polisi si nangnjero??”. Kami masuk kembali ke dalam
stasiun, supir-supir bajaj yang tadi melihat kami tanpa ekspresi, seolah mereka
Ical yang melihat Sidoarjo tenggelam oleh lumpur.
Sampai di dalam stasiun Lukman bilang ke saya "Ket mau nyong ke eling bukune Paulo Coelho sing The Alchemist, jarene jarang-jarang uang dapat menyelematkan nyawa kita".
Saya juga ingat Paulo Coelho dalam bukunya Aleph, "Kita harus selalu waspada menghadapi serangan maut dan mampu menatapnya lekat-lekat, sehingga maut menerangi jalan kita".
Mr.Paulo, maybe many people will say that we're stupid, but with the forbearance that you teach to us, we can postpone to "kaboom" our emotion. And a matter of fact, we can save our life... Thankyou very much...
----------------------------------------------------------------------------------------
Kalian pikir ceritanya sudah selesai?? BELUM.
Lelah memang. Saya sendiri malas jika membaca novel yang
konfliknya berlapis-lapis dan terlalu rumit. Seperti sinetron yang di
panjang-panjangkan. Masalah maning masalah maning..
Tapi ini bukan novel, bukan cerpen, ini pisuhan.
Kenyataannya pagi itu setelah dipalak preman pasar, kita masih dibuat muak oleh
preman yang lain.
Preman Berseragam...
#bersambung , turu sek..
--------------------------------------------------------------------------------------
Suwun nggih sampun membaca tulisan ini. Mohon maaf bagi yang tidak suka pisuhan-pisuhan di tulisan ini. Hari ini saya sudah ikhlas, sudah legowo, jadi pisuhan diatas hanya aktualisasi dari apa yang terjadi saat itu. Niat tulisan ini bukan sekedar curhat dan misuh, tapi agar teman-teman lebih berhati-hati ketika berada di tempat yang belum begitu kita pahami. Semoga bermanfaat dan tunggu pisuhan selanjutnya. :)