Menelusuri Jejak Ki Manthous #2 , Menggali Sejarah Campursari
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Menelusuri Jejak Ki Manthous #1 .
Sebelum menulis tentang ini, saya merenung dulu. Duhh.. betapa saya terlalu sering menunda-nunda pekerjaan. Sedangkan saya mulai menelusuri jejak Manthous sejak bulan Maret-Mei, namun baru bulan Oktober saya menuliskannya di blog ini. Sungguh, menunda-nunda pekerjaan itu tak baik, kalau nggak idenya selak lupa, ya selak ada ide lain untuk dituliskan. Jadinya? Nggak produktif.
Dalam tulisan ini, saya akan menuliskan tentang sejarah musik campursari, mulai sejak periode 65'-70'an, 90' sampai awal 2000, hingga akhirnya mengalami pergeseran makna seperti sekarang.
Tulisan ini didasarkan pada observasi yang dilakukan oleh tim penelitian kami (Bagus, Adwi, Hendy, Andre, Lukman) di Desa Playen, desa kelahiran dari Sang sang pencipta musik campursari, yaitu Manthous.
Penelitian akan sejarah campursari ini didasarkan pada data hasil observasi, diantaranya melalui wawancara mendalam, melalui kliping yang asli dikumpulkan oleh Manthous, dan esay-esay tentang musik campursari yang juga ditulis Manthous pada awal tahun 2000.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Campursari era 60’an
Istilah campursari sebenarnya bukan
diciptakan oleh Manthous, namun oleh beberapa seniman Radio Republik Indonesia
(RRI) Semarang pada tahun 1953, pencetusnya adalah RM. Samsi, S.Dharmanto dan
kawan-kawan (Wiyoso, 2002:165). Pada era tersebut, campursari hanya dimainkan
untuk mengiringi lagu langgam jawa yang berduransi 32 bar. Peralatannya adalah
orkes keroncong plus, yaitu seperangkat alat keroncong yang terdiri dari gitar,
cukullele, cak, cello, bass, flute, biola, ditambah dengan gender dan siter
(Sugiarto, 2000:1).
Selama kurun waktu 20 tahun dari
tahun 1953-an sampai dengan pertengahan tahun 1970, aktivitas musik campursari
RRI Semarang, selain rutin mengisi siaran radio, juga sesekali menerima
permintaan pementasan. Sedangkan memasuki tahun 1978, mereka mulai memasuki
album rekaman agar campursari lebih dikenal oleh masyarakat (Wiyoso, 2002:46).
Pada tahun 1967-1969, Manthous
menjadi pemain cello di grup campursari S. Dharmanto. Cello berfungsi sebagai
kendhang atau pengatur irama. Namun, Manthous belum bisa berbuat banyak untuk
mengembangkan musik ini, sehingga campursari belum bisa menembus pasar dan
belum memiliki banyak peminat. Bersama grup inilah Manthous mulai mempelajari
kelebihan dan kekurangan dari musik campursari karya S. Dharmanto.
Menurut
Yunianto, adik kandung dari Manthous, mengapa
saat itu musik itu dinamakan campursari, adalah karena adanya perpaduan antara dua
jenis musik yang berbeda, yaitu orkes keroncong dengan gamelan, sehingga
memunculkan irama campuran yang tetap enak dinikmati.[1]
Campursari era 90'an sampai awal 2000
Setelah hampir empat dasawarsa
keberadaan musik campursari kurang dikenal masyarakat, pada awal tahun 1990-an
campursari muncul kembali dengan format yang berbeda. Anto Sugiarto, atau biasa
disebut Manthous menciptakan inovasi-inovasi baru pada musik campursari.
Inovasi ini diawali dari
ketertarikan Manthous terhadap musik yang sedang dikembangkan adik-adiknya.
Saat itu Manthous masih tinggal di Jakarta. Ketika ia sedang pulang ke
kampungnya, ia melihat adiknya, Yunianto, Suharjono, dan beberapa saudaranya
sedang memainkan musik yang
menggabungkan gamelan dengan alat musik modern.
Manthous merasa tertarik dengan
jenis musik yang dimainkan oleh adik-adiknya. Musik ini juga mengingatkannya
pada musik campursari yang pernah ia mainkan bersama S. Dharmanto. Manthous pun
mempelajari dengan sungguh-sungguh musik tersebut, mulai dari setiap
instrumennya, hingga bagaimana cara menyelaraskan perpaduan tangganada
pentatonis dengan tangga nada diatonis. Hingga pada akhirnya ia
menyempurnakannya dan memberi nama musik tersebut seperti musik yang sebelumnya
dikembangkan oleh S.Dharmanto dan kawan-kawan, yaitu campursari.
Campursari yang diciptakan Manthous
sangat berbeda dengan campursari pada era 60-an. Dalam artikel berjudul
“Manthous dan Kiprah Musiknya”, Manthous mengatakan bahwa campursari adalah
perpaduan musik tradisional dan elektronik atau penyelarasan antara pentatonis
dan diatonis. Musik ini sangat berbeda dengan musik yang disebut campursari
pada era 60-an yang lebih cenderung pada musik keroncong. Dalam artikel ini
Manthous juga mengatakan bahwa campursari adalah musik yang telah ia ciptakan
berkat ketekunannya.[2]
Campursari Manthous memadukan instrumen
gamelan dengan instrumen modern. Alat musik tradisional yang digunakan
adalah seperti saron, demung, gendher, kendang, siter, dan gong sedangkan alat
musik modern adalah keyboard, ukulele, dan bass elektrik (Wardhani: 2011, 34).
Selain alat musik tersebut, instrumen cak dan cuk juga sering ditambahkan dalam
setiap permainan campursari.
Meskipun musik campursari memadukan instrumen gamelan dengan
instrumen modern, namun unsur gamelan pada musik campursari akan terasa sangat
menonjol. Untuk menghindari adanya ketidakselarasan dalam memadukan musik
pentatonis dan diatonis, maka nada gamelan untuk mengiringi campursari harus diselaraskan
dengan nada keyboard[3].
Pada tahun 1993, Manthous mendirikan CSGK bersama adik-adik
kandungnya, diantaranya Suharjono, Yunianto, dan Heru. Orientasi Manthous dan
CSGK dalam menggarap lagu campursari adalah pada pasar rekaman. Untuk itulah
Manthous sangat serius dalam mengerjakan setiap album campursari. Dalam setiap
album CSGK, ia melakukan inovasi-inovasi tertentu, seperti menambahkan berbagai
musik etnis Indonesia. Hal ini bertujuan agar musik campursari terasa makin
unik dan kreatif. Namun, ada satu pakem dalam campursari yang tidak bisa
ditinggalkan meskipun ditambah instrumen musik apapun, yaitu perpaduan
tangganada pentatonis dan diatonis.
Agar campursari bisa menjadi musik yang dinikmati semua
kalangan, maka lirik-lirik tembang campursari dibuat dengan sederhana.
Lirik-lirik dalam lagu campursari berisi tentang percintaan, pariwisata,
kehidupan sosial, dan lagu sosial jenaka. Meskipun kebanyakan lirik dalam lagu
campursari Manthous menggunakan lirik bahasa jawa, namun sebenarnya tak ada
pakem bahwa campursari harus menggunakan bahasa jawa dalam lirik-liriknya.
Kata-kata yang dipakai dalam lirik campursari juga merupakan kata-kata yang
sudah biasa dipakai dalam kegiatan sehari-hari.
Pada masa kejayaannya antara tahun 1993 sampai awal tahun
2000-an, CSGK selalu mendapat banyak tawaran pentas. Dalam satu bulan, CSGK
bisa pentas lebih dari tiga puluh kali. Campursari pun menjadi bukan sekedar
musik yang bisa dinikmati oleh masyarakat Jawa, namun telah meluas se-antero
Indonesia. Pada masa itu, grup-grup campursari pun bermunculan. Tak hanya di
Gunungkidul, namun juga sampai keluar provinsi Yogyakarta. Sayangnya banyak musisi
yang asal menggabungkan instrumen diatonis dan pentatonis tanpa berusaha
menyelaraskannya. Hal inilah yang dulu sering dikritik Manthous. Namun gejala
ini juga ia syukuri, karena berarti bahwa campursari makin disukai oleh
masyarakat Indonesia.
Selama hampir sepuluh tahun berkarya, CSGK telah mengeluarkan
album campursari hingga enam volume. Enam album ini adalah satu album yang
semua lagu di dalamnya adalah musik campursari. Sedangkan jika semua album
dihitung, maka CSGK telah mengeluarkan lebih dari sepuluh album. 6 album adalah
album khusus campursari, sedangkan album lainnya adalah album keroncong, pop
jawa, dan lain-lain. Menurut Dhimas Ratin Sutedjo, tujuan Manthous mengeluarkan
album selain campursari adalah supaya masyarakat bisa membedakan antara
campursari, keroncong, dan pop jawa.[4]
Berkat keberhasilannya mengembangkan musik campursari,
Manthous pun semakin dikenal masyarakat. Ia diundang ke berbagai acara besar di
Indonesia, seperti mendapat kehormatan untuk mengadakan pentas campursari
tunggal di Ancol pada tanggal 25 Oktober 2000, menjadi bintang tamu pada ulang
tahun Jakarta ke 473 pada tanggal 21 Juni 2000, hingga kesempatan tampil satu
panggung dengan musisi-musisi besar seperti Chrisye, /Rif, dan Yuni Shara.
Manthous juga dianugrahi puluhan penghargaan, diantaranya Piagam Penghargaan
Seni dari Sri Sultan HB X tahun 1999, Etnikom Award tahun 2002, dan Piagam
Penghargaan sebagai seniman inovatif dari Persatuan Wartawan Indonesia tahun
1997.
Campursari Era
2000an sampai sekarang
Era ini
adalah masa pergeseran dan memudarnya makna dari campursari. Seperti yang
ditemukakan sebelumnya, campursari adalah kolaborasi dari dua jenis
kebudayaan, yaitu penggabungan antara
tangganada diatonis (kebudayaan asing) dan pentatonis (kebudayaan etnik)
(Wardhani, 2011:3). Namun, di era ini sebagian besar masyarakat menganggap
bahwa setiap lagu yang memakai lirik bahasa Jawa adalah musik campursari, tak
peduli apakah di dalam musik tersebut terdapat perpaduan tangganada diatonis
dan pentatonis atau tidak.
Menurut Suharjono, penyebab utama yang
menyebabkan pergeseran makna semakin tak terbendung adalah munculnya
seniman-seniman yang mengatasnamakan dirinya musisi campursari, namun jenis
musiknya tidak lagi berkiblat pada musik campursari Manthous.Salah satunya
adalah Didi Kempot. Lagu-lagu milik Didi Kempot sebenarnya adalah lagu pop
jawa, hal ini dikarenakan dalam lagu-lagunya tak ada tangganada pentatonis.[5]
Penyebab lain adalah masuknya musik
organ tunggal yang dianggap lebih praktis, karena hanya dengan satu alat, namun
sudah bisa memunculkan suara instrumen yang mirip dengan instrumen asli
campursari. Selain lebih praktis, biaya untuk mengundang musisi organ tunggal
juga jauh lebih murah dibanding harga satu grup campursari. Selain itu, tidak
adanya tempat yang memberi fasilitas bagi kalangan muda untuk belajar tentang
musik campursari juga menjadi penyebab mengapa musik campursari semakin meredup.
Saat ini studio musik campursari yang lengkap hanya ada di studio milik Sanggar
Ungu dan Campursari Sido Rukun.
Menurut Joni Gunawan, pemilik
Sanggar Ungu Campursari Gunungkidul, saat ini hanya ada dua grup campursari di
Playen yang masih konsisten memainkan musik campursari Manthous sebagai jalan
hidup mereka. Dua grup musik itu adalah Sanggar Ungu miliknya, dan satu lagi
Campursari Sido Rukun yang dikelola oleh Dhimas Sutedjo. Selain kedua grup itu,
sebenarnya masih banyak grup yang memakai nama campursari sebagai nama grupnya,
namun kebanyakan dari mereka sebenarnya adalah musisi organ tunggal. Menurutnya
Keberadaan dan eksistensi musik campursari klasik yang asli dan lahir dari
Gunungkidul sudah pudar bahkan hampir punah di wilayahnya sendiri.[6]
Beberapa musisi yang
dikenal masyarakat luas pada era ini adalah Didi Kempot, Cak Dikin, Sonny Joss,
dan Dhimas Tedjo. Sayangnya dari nama musisi-musisi tersebut, hanya Dhimas
Tedjo yang masih berkiblat pada musik campursari Manthous, sedangkan lainnya bisa
disebut pop jawa. Hal ini karena sudah tidak adanya lagi perpaduan tangganada
pentatonis dan diatonis pada lagu-lagu musisi tersebut.
[1]
Wawancara dengan Yunianto, Asal-usul Campursari, Gunungkidul (12 April 2014)
[2] wawancara
di koran Radar Yogya, Selasa 27 Februari 2001
[3] Koleksi
kliping Manthous
[4]
Wawancara dengan Dimas Ratin Sutedjo, Campursari Dulu dan Sekarang, Gunungkidul (27 April 2014)
[5]
Wawancara dengan Suharjono, Asal-usul Campursari, Gunungkidul (31 Mei 2014)
[6]
Wawancara dengan Joni Gunawan, Musisi Campursari di Playen Saat ini, Gunungkidul (1 Juni2014)
0 komentar