bagus panuntun

berubah!

Oke, jadi saya akan mencoba sedikit menjawab tentang ketidaksetujuan beberapa teman fakultas lain tentang penyelenggaraan diskusi pertama SELARAS (Selasar Aksara Selasa Sore), yang bertema tentang Japan Adult Video.

Sebelumnya saya akan sedikit bercerita. Sejak kemarin Minggu saya mengunggah ke media sosial poster SELARAS , diluar dugaan banyak teman dari fakultas lain yang menyatakan keberatan atas dilaksanakannya diskusi tersebut. Bahkan sempat dengar beberapa diantaranya menyampaikan mosi tidak setuju atas diskusi Selaras. Selebihnya, nanti akan saya ceritakan lagi dalam tulisan lain. :)

Sebelumnya, monggo lihat dulu poster acaranya.

Nah, dalam poster diatas, sebenarnya kan sudah jelas bahwa diskusi ini berdasarkan suatu hasil penelitian. Wong jelas ada abstrak/intisarinya, jelas ada kata kuncinya kok.

Saya kira sampai disini teman-teman akan paham paham bahwa nantinya diskusi yang akan kita laksanakan adalah diskusi yang berdasarkan data-data yang valid dan bukan berdasarkan asumtif semata.

Sayang sekali, faktanya tidaklah demikian. Justru kemudian beberapa orang tidak setuju dengan diskusi ini karena menganggap bahwa pembicaraan kita nanti akan melanggar norma dan moral yang ada di masyarakat. Bahkan protes ini sering ditambahi dengan kalimat "sebagai mahasiswa".

Saya akan mencoba menjawab masalah ini dengan sudut pandang saya, atau boleh lah dikata ini berdasar pada mindset yang saya yakini dan saya tanamkan pada diri saya sendiri.

Gini lo, seumpama nih ada bangkai busuk di rumah dan kita adalah orang pertama yang mencium bau busuk tersebut. Lantas, apa yang akan kita lakukan?

Apakah mengajak orang lain untuk menelusuri keberadaannya lalu kemudian membuangnya, atau justru memilih diam dan pura-pura nggak tau?

Dalam hal ini, bayangkan jika JAV adalah bangkai busuk tadi. Seolah tidak terlihat tapi eksis, ada di sekitar kita.

Atau, katakanlah JAV adalah hal yang sangat njijiki bagi mahasiswa-mahasiswa yang protes tadi, bahkan boleh lah dianggap JAV ini layaknya penyakit-penyakit kelamin. Njijiki, hina, haram jadah.. Apa aja lah.

Sekarang saya bertanya, jika hal njijiki tersebut kita diamkan, apakah hal tersebut akan hilang dengan sendirinya, atau ada kemungkinan justru makin parah dan makin meluas?

Kalau sebagai mahasiswa kita masih berpikiran sempit, yaitu bahwa mahasiswa yang baik adalah mahasiswa yang nggak pernah ngomong hal-hal njijiki. Ya sudah. Stop ngomongin JAV, stop ngomongin penyakit kelamin. Stop ngomongin gonore, sipilis, HIV AIDS, atau berondong jagung lah.

Maka saya yakin, kedepannya nggak akan ada mahasiswa Indonesia yang turut andil dalam menemukan vaksin sipilis, kapsul cespleng obat gonore, atau vaksin terhadap penyakit HIV.

Nah gimana mau jadi penemu? Ngomongin hal itu aja dianggap melanggar norma dan moral kok?

Maka, ayolah guys berpikiran lebih terbuka. Meskipun objek yang akan kita bicarakan adalah hal-hal yang mungkin menurutmu njijiki, tapi banyak kok yang bisa kita ambil dari diskusi tersebut. Bahkan banyak solusi yang kemudian bisa kita berikan terhadap masyarakat.

Kalau kata mas Ody Dwi Cahyo, sometimes in the name of research and science, everything is legitimate to be discussed.

Setuju mas! Karena bagaimanapun, segala solusi dari sebuah permasalahan selalu diawali dengan sebuah riset. Maka, dalam hal riset sudah seharusnya tidak ada objek yang kita anggap sebagai objek yang tabu.

Gini lo, jangan ajak masyarakat untuk sekedar berpikir mana yang baik mana yang buruk, tapi ajak masyarakat untuk tahu bahwa dari suatu hal yang buruk kita tetap dapat menarik hal-hal yang baik.

Gimana caranya? Ya dengan ikut diskusi dan jangan semata berasumsi.

Kesimpulannya, sebagai mahasiswa kita sangat boleh kok ngomongin hal-hal yang njijiki, yang penting jangan lupa lah untuk bareng-bareng cari solusi.

Intinya sih gitu. Sudah pernah kena penyakit kelamin?

Di tengah kamu kerja, selalu ada masa dimana kamu merasa lelah, bosan, bahkan muak. Passion atau hasratmu tiba-tiba hilang. Mungkin semua orang pernah merasakannya.

Banyak yang memilih mundur lalu pergi, dengan alasan tak bisa maksimal, akan merugikan orang disekitarnya, atau menyiksa diri sendiri.

Tapi menurutku, passion itu layaknya mood. Suatu saat kamu nggak mood, hasratmu hilang terhadap suatu hal.

Kita pernah nggak mood kuliah, kita pernah nggak mood rapat, pernah juga nggak mood untuk makan.

Tapi, akhir-akhir ini saya merenung dan menemukan sebuah pameo bahwa mengikuti mood tak beda dengan mengikuti hawa nafsu. Memberimu kelegaan sejenak, namun kemudian akan ada sesal besar yang kamu rasakan.

Nggak mood kuliah, lalu nggak berangkat kuliah. Nggak mood rapat lalu nggak berangkat rapat. Nggak mood makan lalu nggak makan.

Pertanyaannya,benarkah dengan mengikuti mood lalu keadaan sekitar kita menjadi semakin baik?

Bukankah mengikuti mood pada akhirnya justru sering membuat banyak orang, bahkan dirimu sendiri akan merasa kecewa?

Mengikuti hasrat/passion menurutku hampir sama dengan mengikuti mood.

Cenderung merugikan.

Apalagi setelah kita menentukan pilihan terhadap suatu hal.

Contoh: Sudah memutuskan untuk jadi anak kuliahan.

Mengikuti hasrat/passion mungkin bagus saat kamu belum menentukan pilihan.

Contoh: Masa memilih jurusan Pra-SNMPTN

Tapi setelah kamu menentukan sebuah pilihan, mengikuti passion sama dengan mengikuti mood, sama dengan mengikuti nafsu.

Pertanyaannya, benarkah dengan mengikuti mood/passion/nafsu lalu keadaan sekitar kita menjadi semakin baik?

Bukankah mengikuti mood/passion/nafsu pada akhirnya justru sering membuat banyak orang, bahkan dirimu sendiri akan merasa kecewa?

Kalau kamu bekerja hanya berdasarkan passion, ingat aja sih, diatas passion ada hal yang  jauh lebih penting, itulah tanggung jawab.
Selama kurang lebih satu setengah aktif menulis di blog ini, salah satu tulisan yang kerap saya tuliskan adalah cerita tentang perjalanan pariwisata.


Beberapa catatan perjalanan tersebut antara lain:
Pantai Nglambor
Pantai Playen
Selopamioro
Pantai Greweng
Playen
Gunung Wetan

Catatan-catatan tersebut tak hanya mengenai perjalanan wisata di tempat-tempat yang telah dikenal banyak masyarakat, namun juga perjalanan wisata menuju tempat yang masih jarang dijamah oleh para pelancong. Dewasa ini, destinasi-destinasi yang belum dikenal banyak orang, namun mempunyai sisi keindahan membuat kita takjub, kerap disebut dengan istilah hidden paradise (surga tersembunyi).

Penggunaan kata "surga" sebagai metafora dari suatu destinasi, sebenarnya tidaklah berlebihan, mengingat secara kuantitas dan kualitas, destinasi tersebut memang memiliki keistimewaan. Secara kuantitas, tidak banyak orang yang bisa merasakan suasana di tempat itu, persis seperti surga. Sedangkan secara kualitas, tempat tersebut adalah tempat yang memiliki keindahan, kebersihan, dan juga keunikan.

Akan tetapi, metafora "surga" disini juga membawa akibat lain yang sering tidak kita sadari. Menilik apa yang pernah dikatakan Madan Sarup, bahwa bahasa tidak sekedar mencerminkan namun juga membentuk realitas, metafor "surga" disini juga membentuk pengalaman dan penilaian masyarakat terhadap suatu objek.

Suatu metafora sangat mempengaruhi cara masyarakat dalam memandang suatu hal. Dampak dari metafora "surga" dalam kasus ini, membuat masyarakat berlomba-lomba untuk bisa datang ke tempat tersebut. Tak hanya untuk mencicip suasana istimewa yang ada disana, namun pengunjung juga akan mendapat status "istimewa" setidaknya ketika ia bercerita bahwa kakinya pernah menapak di surga tersebut.

Dalam konteks berwisata, tentu sah-sah saja setiap orang berkunjung ke suatu tempat yang baru. Akan tetapi, dengan trend menemukan hidden paradise yang akhir ini sedang marak, muncul juga pertanyaan baru, apakah hidden paradise harus menjadi destinasi wisata?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya kita memahami dulu, definisi pariwisata seperti apa yang menjadi pertanyaan disini. Disini saya mengambil definisi pariwisata menurut Salah Wahab, yaitu pariwisata sebagai industri yang mampu meningkatkan taraf ekonomi masyarakat dengan terbukanya lapangan-lapangan kerja baru. Jadi pendekatan disini bukan semata pariwisata yang dipahami sebagai kegiatan mengunjungi suatu tempat guna berekreasi, tapi pariwisata sebagai sebuah industri.

Disini, saya akan bercerita dahulu tentang dua hidden paradise yang ada di kota saya yaitu Wonosobo. Salah satu hidden paradise tersebut adalah Air Terjun atau Curug Winong yang ada di Kaliwiro, Wonosobo. Kunjungan pertama saya kesana adalah saat saya masih SMP, tepatnya tahun 2008. Kala itu, Curug Winong belum dibuka sebagai industri pariwisata massal, sehingga  tempat itu masih sangat asri, bersih, dan tenang. Untuk menuju kesana, kita tidak perlu membayar tiket, namun harus berjalan cukup jauh melewati jalan-jalan setapak.

Akan tetapi, sejak industri pariwisata di Wonosobo mulai menggeliat di sekitar tahun 2010, Curug Winong pun mulai dibuka menjadi pariwisata massal. Saat ini, jika kita berkunjung kesana pada saat weekend, kita akan bertemu dengan sangat banyak pengunjung. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, yang pertama adanya promosi masif yang dilakukan pemerintah terhadap destinasi tersebut, yang kedua adanya pembangunan sarana dan prasarana wisata yang mempermudah akses berkunjung bagi para wisatawan.


Selfie di Winong, jaman SMP
Jika hari ini kita berkunjung ke Curug Winong, maka jangan harap kita akan menemukan tempat layaknya surga. Yang hari ini terlihat justru sungai dengan air yang berwarna, kotor, dan penuh sampah. Banyaknya kuantitas wisatawan yang berkunjung ternyata tak diimbangi dengan kapasitas area curug Winong, yang luasnya tidak lebih dari 0,5 kilometer persegi. Akibatnya, saat ini alam di sekitar curug pun menjadi rusak.

Hal yang sama juga terjadi dengan bukit Sikunir. Bagi orang yang pernah ke Bukit Sikunir tahun 2012 kebawah, dan dalam waktu dekat ini berkunjung lagi kesana, dapat dipastikan bahwa ada rasa miris yang muncul pada kunjungan terakhir tersebut. Dari beberapa teman yang sempat saya ajak berbincang, mereka akan mengatakan kalau Sikunir saat ini kotor, terlalu ramai, bahkan tak jarang yang menyebutnya seperti pasar. Bahkan sempat saya menemukan beberapa kicauan di Twitter yang mengungkapkan rasa heran dengan kondisi Sikunir saat ini. Berikut beberapa kicauan tersebut:

@cupcupang : kite mah bruntung bs nikmatin Sikunir yg msh bersih, skrg kotor&pesing:( smoga abis dcf ga nambah2 ya huhu (twit tanggal 28 Agustus 2014)

@aisyah_fatin: sikunir tak lagi begitu menarik bagiku. udah ramee bangeett, ga kyak dulu. mn kotor pula skr. apa lagi kmrn pas dpt sunrisenya ga cakep hehe (twit tanggal 8 Juli 2013)

@pimamanggala: Buset ini pasar aja kalah ramenya. Selamat kabut :))) (w/ Ridho, Kurniawan, & 2 others at Puncak Sikunir) [pic] — https://path.com/p/3Sszm6  (twit 9 November 2014)






6 tahun lalu, yaitu tahun 2009, adalah kunjungan pertama kalinya saya ke Sikunir. Saat itu saya mendaki bersama teman-teman Komunitas Pecinta Alam Smada. Keadaan Sikunir saat itu jelas sangat berbeda dengan Sikunir hari ini. Saat itu, Sikunir masih belum dibuka sebagai tempat wisata. Akses untuk sampai kesana masih cukup sulit, bahkan parkiran pun belum ada. Pengunjung Sikunir saat itu sebagian besar masih penduduk Wonosobo yang mendapat info dari mulut ke mulut. Sampai di puncak Sikunir, kita bisa memilih dengan bebas area mana yang akan kita gunakan untuk mendirikan tenda. Jelas, saat itu masih sangat sepi. Keindahan sunrise Sikunir dan suasana sepi disanalah yang saat itu membuat Sikunir juga sempat dijuluki hidden paradise.

Melihat dua sampel dari hidden paradise yang saat ini rasanya sudah tidak pas lagi untuk disebut paradise, sempat muncul pesimisme mendalam terhadap keadaan pariwisata Indonesia kedepannya. Namun, tentu saya tak ingin membuat tulisan ini sebagai penyebar wacana pesimisme belaka. Ada beberapa alasan yang bisa kita pikirkan kembali, sebelum memilih untuk pesimis. 

Yang pertama, dengan dibukanya tempat-tempat wisata baru, sebenarnya ada dampak ekonomi yang yang baik bagi masyarakat di sekitar daerah pariwisata. Dampak positif dari pengembangan daerah wisata adalah terbukanya lapangan-lapangan kerja baru bagi masyarakat. Semakin banyaknya biro pariwisata, hotel, penginapan, atau penjual-penjual makanan khas adalah salah satu bukti dari dampak positif pengembangan pariwisata ini.

Yang kedua, banyaknya anggaran daerah yang bisa didapat dari sektor pariwisata, telah memotivasi pemerintah untuk melakukan pembangunan daerah di kawasan-kawasan pariwisata.

Dan terakhir atau yang ketiga, sampel yang saya ambil dalam tulisan ini adalah Curug Winong dan Bukit Sikunir, yang mana jika kita telaah lebih lanjut, keduanya memang tidak memiliki kapasitas yang besar untuk menampung banyak wisatawan.

Maka kedepannya, baik pemerintah, masyarakat, ataupun para akademisi di bidang pariwisata perlu untuk memikirkan kapasitas dari suatu hidden paradise, sebelum memutuskannya untuk menjadi kawasan wisata andalan.  Perhatian terhadap kapasitas suatu harus ditekankan sebelum para pelaku wisata memutuskan untuk menjadikan suatu tempat menjadi destinasi wisata berkelanjutan. Hal tersebut sangat penting, karena meskipun pariwisata cenderung membawa keuntungan secara ekonomi, tapi hal itu hanya akan menjadi omong kosong jika aspek kelestarian lingkungan tidak diutamakan.

Jika proses semacam ini tak segera diperbaiki, muncul kekhawatiran bahwa tempat-tempat seperti Winong, atau Sikunir, sebentar lagi akan ditinggalkan oleh para wisatawan akibat lingkungan yang rusak dan tidak menarik lagi. Jika sudah sampai disini, maka kita akan mengalami kerugian baik dari sisi kelestarian lingkungan, maupun dari sisi ekonomi.

Jangan sampai kedepannya pariwisata dipahamai sebagai proses mengubah paradise menjadi hell. Jadi, mari diskusi sebelum terlambat.

Terakhir dari saya, waspada terhadap segala bentuk metafora. :)
----------------------------------------------------------------

NB: Kepada para pelancong, kita juga jangan sepenake dewe cuk. Berwisata bukan semata kegiatan untuk pamer foto ! Jaga  lingkungan tetap nomor satu.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ►  2019 (17)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (4)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ▼  2015 (42)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ▼  Februari (3)
      • Penyakit Kelamin
      • Passion and Responsibility
      • Hidden Paradise, Haruskah menjadi Destinasi Pariwi...
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (68)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember (9)
    • ►  November (13)
    • ►  Oktober (15)
    • ►  September (7)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)

Copyright © 2016 bagus panuntun. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018