Hidden Paradise, Haruskah menjadi Destinasi Pariwisata?

Selama kurang lebih satu setengah aktif menulis di blog ini, salah satu tulisan yang kerap saya tuliskan adalah cerita tentang perjalanan pariwisata.


Beberapa catatan perjalanan tersebut antara lain:
Gunung Wetan

Catatan-catatan tersebut tak hanya mengenai perjalanan wisata di tempat-tempat yang telah dikenal banyak masyarakat, namun juga perjalanan wisata menuju tempat yang masih jarang dijamah oleh para pelancong. Dewasa ini, destinasi-destinasi yang belum dikenal banyak orang, namun mempunyai sisi keindahan membuat kita takjub, kerap disebut dengan istilah hidden paradise (surga tersembunyi).

Penggunaan kata "surga" sebagai metafora dari suatu destinasi, sebenarnya tidaklah berlebihan, mengingat secara kuantitas dan kualitas, destinasi tersebut memang memiliki keistimewaan. Secara kuantitas, tidak banyak orang yang bisa merasakan suasana di tempat itu, persis seperti surga. Sedangkan secara kualitas, tempat tersebut adalah tempat yang memiliki keindahan, kebersihan, dan juga keunikan.

Akan tetapi, metafora "surga" disini juga membawa akibat lain yang sering tidak kita sadari. Menilik apa yang pernah dikatakan Madan Sarup, bahwa bahasa tidak sekedar mencerminkan namun juga membentuk realitas, metafor "surga" disini juga membentuk pengalaman dan penilaian masyarakat terhadap suatu objek.

Suatu metafora sangat mempengaruhi cara masyarakat dalam memandang suatu hal. Dampak dari metafora "surga" dalam kasus ini, membuat masyarakat berlomba-lomba untuk bisa datang ke tempat tersebut. Tak hanya untuk mencicip suasana istimewa yang ada disana, namun pengunjung juga akan mendapat status "istimewa" setidaknya ketika ia bercerita bahwa kakinya pernah menapak di surga tersebut.

Dalam konteks berwisata, tentu sah-sah saja setiap orang berkunjung ke suatu tempat yang baru. Akan tetapi, dengan trend menemukan hidden paradise yang akhir ini sedang marak, muncul juga pertanyaan baru, apakah hidden paradise harus menjadi destinasi wisata?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya kita memahami dulu, definisi pariwisata seperti apa yang menjadi pertanyaan disini. Disini saya mengambil definisi pariwisata menurut Salah Wahab, yaitu pariwisata sebagai industri yang mampu meningkatkan taraf ekonomi masyarakat dengan terbukanya lapangan-lapangan kerja baru. Jadi pendekatan disini bukan semata pariwisata yang dipahami sebagai kegiatan mengunjungi suatu tempat guna berekreasi, tapi pariwisata sebagai sebuah industri.

Disini, saya akan bercerita dahulu tentang dua hidden paradise yang ada di kota saya yaitu Wonosobo. Salah satu hidden paradise tersebut adalah Air Terjun atau Curug Winong yang ada di Kaliwiro, Wonosobo. Kunjungan pertama saya kesana adalah saat saya masih SMP, tepatnya tahun 2008. Kala itu, Curug Winong belum dibuka sebagai industri pariwisata massal, sehingga  tempat itu masih sangat asri, bersih, dan tenang. Untuk menuju kesana, kita tidak perlu membayar tiket, namun harus berjalan cukup jauh melewati jalan-jalan setapak.

Akan tetapi, sejak industri pariwisata di Wonosobo mulai menggeliat di sekitar tahun 2010, Curug Winong pun mulai dibuka menjadi pariwisata massal. Saat ini, jika kita berkunjung kesana pada saat weekend, kita akan bertemu dengan sangat banyak pengunjung. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, yang pertama adanya promosi masif yang dilakukan pemerintah terhadap destinasi tersebut, yang kedua adanya pembangunan sarana dan prasarana wisata yang mempermudah akses berkunjung bagi para wisatawan.


Selfie di Winong, jaman SMP
Jika hari ini kita berkunjung ke Curug Winong, maka jangan harap kita akan menemukan tempat layaknya surga. Yang hari ini terlihat justru sungai dengan air yang berwarna, kotor, dan penuh sampah. Banyaknya kuantitas wisatawan yang berkunjung ternyata tak diimbangi dengan kapasitas area curug Winong, yang luasnya tidak lebih dari 0,5 kilometer persegi. Akibatnya, saat ini alam di sekitar curug pun menjadi rusak.

Hal yang sama juga terjadi dengan bukit Sikunir. Bagi orang yang pernah ke Bukit Sikunir tahun 2012 kebawah, dan dalam waktu dekat ini berkunjung lagi kesana, dapat dipastikan bahwa ada rasa miris yang muncul pada kunjungan terakhir tersebut. Dari beberapa teman yang sempat saya ajak berbincang, mereka akan mengatakan kalau Sikunir saat ini kotor, terlalu ramai, bahkan tak jarang yang menyebutnya seperti pasar. Bahkan sempat saya menemukan beberapa kicauan di Twitter yang mengungkapkan rasa heran dengan kondisi Sikunir saat ini. Berikut beberapa kicauan tersebut:

@cupcupang : kite mah bruntung bs nikmatin Sikunir yg msh bersih, skrg kotor&pesing:( smoga abis dcf ga nambah2 ya huhu (twit tanggal 28 Agustus 2014)

@aisyah_fatin: sikunir tak lagi begitu menarik bagiku. udah ramee bangeett, ga kyak dulu. mn kotor pula skr. apa lagi kmrn pas dpt sunrisenya ga cakep hehe (twit tanggal 8 Juli 2013)

@pimamanggala: Buset ini pasar aja kalah ramenya. Selamat kabut :))) (w/ Ridho, Kurniawan, & 2 others at Puncak Sikunir) [pic] —  (twit 9 November 2014)






6 tahun lalu, yaitu tahun 2009, adalah kunjungan pertama kalinya saya ke Sikunir. Saat itu saya mendaki bersama teman-teman Komunitas Pecinta Alam Smada. Keadaan Sikunir saat itu jelas sangat berbeda dengan Sikunir hari ini. Saat itu, Sikunir masih belum dibuka sebagai tempat wisata. Akses untuk sampai kesana masih cukup sulit, bahkan parkiran pun belum ada. Pengunjung Sikunir saat itu sebagian besar masih penduduk Wonosobo yang mendapat info dari mulut ke mulut. Sampai di puncak Sikunir, kita bisa memilih dengan bebas area mana yang akan kita gunakan untuk mendirikan tenda. Jelas, saat itu masih sangat sepi. Keindahan sunrise Sikunir dan suasana sepi disanalah yang saat itu membuat Sikunir juga sempat dijuluki hidden paradise.

Melihat dua sampel dari hidden paradise yang saat ini rasanya sudah tidak pas lagi untuk disebut paradise, sempat muncul pesimisme mendalam terhadap keadaan pariwisata Indonesia kedepannya. Namun, tentu saya tak ingin membuat tulisan ini sebagai penyebar wacana pesimisme belaka. Ada beberapa alasan yang bisa kita pikirkan kembali, sebelum memilih untuk pesimis. 

Yang pertama, dengan dibukanya tempat-tempat wisata baru, sebenarnya ada dampak ekonomi yang yang baik bagi masyarakat di sekitar daerah pariwisata. Dampak positif dari pengembangan daerah wisata adalah terbukanya lapangan-lapangan kerja baru bagi masyarakat. Semakin banyaknya biro pariwisata, hotel, penginapan, atau penjual-penjual makanan khas adalah salah satu bukti dari dampak positif pengembangan pariwisata ini.

Yang kedua, banyaknya anggaran daerah yang bisa didapat dari sektor pariwisata, telah memotivasi pemerintah untuk melakukan pembangunan daerah di kawasan-kawasan pariwisata.

Dan terakhir atau yang ketiga, sampel yang saya ambil dalam tulisan ini adalah Curug Winong dan Bukit Sikunir, yang mana jika kita telaah lebih lanjut, keduanya memang tidak memiliki kapasitas yang besar untuk menampung banyak wisatawan.

Maka kedepannya, baik pemerintah, masyarakat, ataupun para akademisi di bidang pariwisata perlu untuk memikirkan kapasitas dari suatu hidden paradise, sebelum memutuskannya untuk menjadi kawasan wisata andalan.  Perhatian terhadap kapasitas suatu harus ditekankan sebelum para pelaku wisata memutuskan untuk menjadikan suatu tempat menjadi destinasi wisata berkelanjutan. Hal tersebut sangat penting, karena meskipun pariwisata cenderung membawa keuntungan secara ekonomi, tapi hal itu hanya akan menjadi omong kosong jika aspek kelestarian lingkungan tidak diutamakan.

Jika proses semacam ini tak segera diperbaiki, muncul kekhawatiran bahwa tempat-tempat seperti Winong, atau Sikunir, sebentar lagi akan ditinggalkan oleh para wisatawan akibat lingkungan yang rusak dan tidak menarik lagi. Jika sudah sampai disini, maka kita akan mengalami kerugian baik dari sisi kelestarian lingkungan, maupun dari sisi ekonomi.

Jangan sampai kedepannya pariwisata dipahamai sebagai proses mengubah paradise menjadi hell. Jadi, mari diskusi sebelum terlambat.

Terakhir dari saya, waspada terhadap segala bentuk metafora. :)
----------------------------------------------------------------

NB: Kepada para pelancong, kita juga jangan sepenake dewe cuk. Berwisata bukan semata kegiatan untuk pamer foto ! Jaga  lingkungan tetap nomor satu.

Share:

0 komentar