Gunung Wetan, Awal Sebuah Tanda Tanya Besar
Beberapa waktu lalu, dalam rangka
mengisi waktu liburan, saya mengajak dua kawan sekampus untuk berkunjung ke
desa saya. Dengan maksud menjadi tuan rumah yang baik, tentu saja saya mencoba
menyenangkan tamu-tamu saya tersebut. Selain dengan menyuguhkan beberapa
makanan khas, tentu saja mengajak jalan-jalan adalah hal yang tak boleh
dilewatkan.
Saya pun mengajak mereka pergi ke
Gunung Wetan. Dengan mengajak adik saya, Abi – yang hafal jalan kesana -, kami
pun berangkat berempat menuju tempat tersebut.
Gunung Wetan sendiri, sebenarnya
bukanlah gunung-gunung besar seperti Merapi ataupun Sindoro, tetapi sebagaimana
masyarakat desa biasanya, mereka sangat suka menyebut tempat yang cukup tinggi
dengan sebutan “gunung”.
Gunung Wetan ini sebenarnya bukan
tempat yang baru bagi anak-anak muda di desa saya. Sejak saya masih SD, saya
sudah mendengar cerita tentang keindahan di Gunung Wetan. Dulunya, ini adalah
tempat yang wajib dikunjungi bagi siapapun anak muda yang baru pacaran. Kata kakak
saya, dulu anak-anak muda akan beramai-ramai kesana dengan jalan kaki, karena
pada saat itu belum banyak anak muda yang mempunyai sepeda motor. Lain dengan
anak zaman sekarang. Dulunya, anak-anak akan berangkat pagi sambil menggandeng
pacarnya masing-masing, lalu pulang sore hari dan sampai rumah sebelum maghrib.
Kenangan yang terdengar
menggelitik namun mengesankan. :)
Gunung Wetan terletak di Desa
Gumelar, Wadaslintang. Untuk sampai kesana, kira-kira membutuhkan waktu
setengah jam untuk berkendara dengan sepeda motor. Sesudah sampai disana, kita
harus berjalan memanjat selama kurang lebih 40 menit, dan baru kita akan sampai
di tempat yang disebut Gunung Wetan tersebut. Untuk ukuran longmarch, saya rasa
ini termasuk trek yang pendek.
Ini adalah pertama kalinya saya
berkunjung kesini, dan saya cukup kaget dengan pemandangan disana yang ternyata
diluar ekspektasi saya sebelumnya. Sebelumnya, saya pikir Gunung Wetan hanya
puncak biasa, dimana dari sana kita bisa melihat pemandangan hijau yang luas
dari tempat yang tinggi. Akan tetapi, kenyataannya lebih dari itu. Saya
terpesona ketika di depan saya terpampang lembah tinggi menjulang yang hijau,
dimana di lembah itu terdapat aliran sungai kecil yang sangat menyejukkan untuk
dipandang. Saya merasa berada di tempat seperti di film Jurassic Park. Keadaan
disana juga sangat tenang, dan tidak banyak pengunjung. Yang lebih
menyenangkan, disana masih sangat bersih dan tidak banyak sampah yang saya
temukan disekitar sana.
Selain itu, terdapat beberapa air
terjun yang meskipun tidak sebesar Curug Winong apalagi Cobanrondo, tapi tetap
menyegarkan pikiran dan menimbulkan suara gemuruh air yang membuat kita serasa
makin dekat dengan alam yang ramah. Keadaan air disana juga masih sangat baik.
Tidak keruh, tidak berwarna, dan tidak berbau. Hal inilah yang membuat saya
tidak tahan untuk tidak merasakan sensasi mandi di curug tersebut.
Selama kurang lebih 2 jam kami
berada disana, saya mengingat bahwa hanya ada 5 orang yang juga berkunjung kesana, ada satu pasang anak
muda – kira-kira anak SMP atau SMA – dan juga tiga orang bocah, yang sepertinya
masih SD. Jelas terlihat dari penampilan mereka, kalau mereka adalah anak-anak
sekitar Gumelar saja. Tidak ada benda yang mereka bawa yang menyiratkan bahwa
mereka adalah turis. Tidak membawa tustel, tidak membawa tongsis, bahkan tidak
memakai pakaian bagus, sebagaimana turis-turis biasanya. Kesimpulan saya,
seperti halnya saya, Abi, Henry, dan Saprin, mereka kesini hanya untuk tujuan
berekreasi mengisi waktu senggang, tanpa ada pikiran untuk disebut sebagai
wisatawan ataupun turis.
Setelah jalan-jalan tersebut,
tiba-tiba muncul keresahan di hati saya.
Gunung Wetan adalah tempat yang
sangat indah. Kalau dibandingkan dengan Gunung Nglanggeran, bahkan menurut saya
tempat ini jauh lebih unik. Disisi lain, tempat ini jelas belum dikenal oleh
banyak orang. Tempat yang indah, namun belum begitu terjamah, biasanya disebut hidden paradise.
Lantas, muncul pertanyaan “hidden paradise, haruskah dijadikan destinasi
wisata?”
0 komentar