Romantisme Desaku (lagi)

Titik awal pijakan  juga garis akhir harapan ingin kembali, kampung halaman.

Kembali kaki ini berpijak diatas tanah yang menjadi tempatku ingin kembali pada suatu ketika.

Desa Ngadisono, berbatasan langsung dengan Desa Ngalian.

Sebuah rumah yang mengajarkan betapa kesederhanaan pada akhirnya menjadi pengetahuan terpenting yang harus kita pelajari.

Terhitung sejak Rabu sore hingga Senin pagi, yang berarti selama 5 hari aku berkumpul kembali, dengan sahabat, keluarga, juga guru-guru spiritual.

Guru spiritual? Maksudku para penjual di Pasar Wage dan Manis, yang bangun jam 3 pagi untuk mencari keuntungan demi bisa terus makan. Mereka mengajarkan bahwa perjuangan sejati dimulai sebelum kita disapa matahari.

Guru spiritual? Masih para ayah dan Ibu. Dua manusia paling paham teks dan konteks. Mereka akan mencari tempat paling aman sebelum akhirnya saling bermarahan. Begitulah, dengan harapan anak-anaknya tak melihat saat ada teriak-teriakan, bahkan mungkin makian.

Guru spiritual, tentunya Sang Kyai, yang mengatakan bahwa satu-satunya objek yang pantas jadi alasan untuk perang, adalah nafsu diri.

Kembali ke kampung halaman. Bagiku sama saja dengan jalan-jalan. Hanya saja disini kutemukan, manusia tak boleh takut akan kenangan.

Ngajak Kanca

Jalan-jalan di desa

Share:

0 komentar