bagus panuntun

berubah!

Tulisan ini hanya sedikit tambahan untuk tulisan Aslam yang dimuat di Bangsa Mahasiswa.




Kebetulan pada hari itu (Rabu, 23/12/2015) saya juga ikut bertemu dengan Pak Tukino dan kami banyak bercerita tentang sejarah berdirinya bonbin. Pada dasarnya, bonbin awalnya dibentuk untuk merelokasi pedagang kaki lima yang ada di 9 titik UGM. Kebijakan ini dikeluarkan oleh Prof. Koes, rektor UGM kala itu (tahun 1987). Bonbin ini adalah implementasi dari visi ekonomi kerakyatan yang konon menjadi salah satu fokus Prof.Koes dalam menjalankan kepemimpinannya di kampus Gadjah Mada. Konon, memang bukan hal yang terlalu mengejutkan jika Prof.Koes mengeluarkan kebijakan-kebijakan semacam itu pada masanya. Menurut Pak Tukino sendiri, Prof.Koes itu tidak bisa dipisahkan dengan kata kerakyatan. "Dulu kalau UGM ada acara-acara besar, acara makan, saya ini sebagai pedagang selalu diundang lho. Sudah seperti saudara dengan beliau", ujar Pak Tukino menarasikan kedekatannya dengan Profesor yang dikenal sebagai penggagas KKN (Kuliah Kerja Nyata) UGM.

28 tahun berlalu. Beda pemimpin, maka beda pula arah dan visinya. Rektorat dalam rangka mewujudkan cita-cita membangun kampus Edukopolis-  yaitu kampus yang hijau dan segar  sehingga mendukung proses pembelajaran - berniat memindahkan 12 pedagang bonbin ke Lembah UGM. Dalam rangka menghijaukan kampus, bangunan bonbin yang "suram" perlu untuk dihilangkan dari lingkungan Humaniora.

Keputusan ini sudah tentu ditolak oleh pedagang bonbin yang disamping khawatir akan berkurangnya rezeki, juga merasa belum dilibatkan untuk bermufakat perihal relokasi.

Bagaimana tanggapan para mahasiswa? Saya yakin, sebagian besar dari kita - utamanya anak Soshum - pasti keberatan kalau kantin bonbin direlokasi. Kenapa? Hla.. sejarah dan romantisme yang ada di kantin ini nggak ada tandingnya di jagad perkuliahan anak soshum je.. Mulai dari diskusi serius perihal teori-teori postmo, debat tentang khilafah yang konon bisa jadi solusi untuk semua permasalahan, hingga obrolan gosip murahan pinggir kampus, semuanya dilakukan sambil nyeruput kopi di kantin ini.

Romantisme ini lah yang kemudian coba dirayakan beberapa kawan melalui karya-karyanya, misal SEKOTENG FIB dengan pentas Romantisme Bonbin, DIAN BUDAYA yang menulis feature perihal romantisme dari sudut pandang pedagangnya, hingga Kukuh yang mencoba menuangkan di Buah Pena perihal obrolan singkatnya dengan Mas Edmar, seorang lelaki muda yang mengaku mendapat banyak  kawan dan sudut pandang baru dari kantin Bonbin.

Namun saya rasa Bonbin bukan hanya sekedar romantismenya. Lebih dari itu, monumen ini adalah penanda dari visi kerakyatan yang dulu Prof. Koes dengungkan. Jikalau romantisme sudah dianggap usang, Apakah visi kerakyatan juga sudah usang dibanding visi untuk membangun, membangun, dan terus membangun?

Saya rasa di titik ini keberpihakan jelas diperlukan. Kali ini yang kita perjuangkan bukan sekedar urusan perut dan makan, tapi (lagi-lagi) nilai kerakyatan yang dulu terus coba Prof. Koes perjuangkan.

Keterlibatan ini sama sekali bukan wujud kedurhakaan pada almamater tercinta, inilah wujud kepedulian kami pada yang namanya nilai kerakyatan.

Jikalau menolak Bonbin dipindahkan, apa solusinya?

Jika kita lihat secara garis besar, sebenarnya ada dua subjek utama  dalam kasus Bonbin yang masing-masing memiliki kepentingan berbeda. Pihak pertama adalah Universitas dengan obsesinya menjadi kampus edukopolis, sedangkan pihak kedua adalah pedagang yang mana mengandalkan berjualan di bonbin sebagai penunjang hidup.

Menurut saya, solusi terbaik dari kasus bonbin ini adalah menolak relokasi, lalu menekan pihak universitas untuk melakukan renovasi. Mengapa renovasi? Pada saat pertemuan dengan pihak direktorat Aset, Pak Henricus selaku direktur menyatakan bahwa relokasi bonbin bertujuan agar kampus bisa terlihat lebih rapi dan hijau. Pertanyaannya, apakah untuk merapikan dan menghijaukan kampus, maka satu-satunya jalan adalah dengan merobohkan bangunan Bonbin?

Saya rasa lebih masuk akal jika universitas mencoba merenovasi bangunan Bonbin supaya bisa menjadi lebih bersih, nyaman, dan tidak suram. UGM dengan ribuan sarjana arsitekturnya saya rasa tidak akan kesulitan untuk bisa merancang sebuah kantin dengan kriteria tersebut. Kalau dalam bahasanya Mas Heru Bonbin, "Kan bisa Bonbin dijadikan kantin di tengah taman?".

Apakah ini permintaan yang "nglunjak"? Saya rasa tidak. Justru solusi inilah yang akan memuaskan banyak pihak dan tidak mengundang konflik baru. Toh, kalau bicara soal dana, mau renovasi atau relokasi ke Lembah, Universitas tetap saja mengeluarkan dana. Belum lagi konflik yang pasti akan terjadi jika pemaksaan relokasi ke Lembah tetap dilakukan. Misalnya resistensi pedagang lama dan sulitnya mahasiswa untuk mengakses lembah UGM secara aman dan cepat.

Maka sekali lagi, saya rasa renovasi Bonbin menjadi pilihan yang lebih bijak dan masuk akal. Siapa yang akan diuntungkan? Pertama tentu saja pihak Universitas. Dengan memilih renovasi maka pihak universitas bisa mengimplementasikan dua visinya sekaligus, kerakyatan dan edukopolis. Yang kedua, tentu saja pedagang yang tetap bisa meneruskan mencari nafkahnya di tempat mereka sudah berpijak selama puluhan tahun.

Peran Mahasiswa dalam Kasus Bonbin

Apakah masalah sudah selesai sampai disini? Tentu saja belum. Ada satu permasalahan yang sebelumnya diangkat pihak direktorat sebagai alasan untuk merelokasi Bonbin, yaitu kebersihan Bonbin.

Dalam hal ini saya sepakat dengan pihak Universitas bahwa masalah kebersihan adalah masalah yang harus segerai kita selesaikan -- Tapi saya tidak setuju jika menyelesaikan masalah kebersihan dengan melakukan pembersihan.

Kebersihan Bonbin secara kasat mata merupakan permasalahan yang sudah sepatutnya tidak kita diamkan lagi. Maka, jikalau renovasi berhasil diwujudkan, maka peran Universitas dan mahasiswa sebaiknya tidak hanya berhenti sampai titik itu saja.

Selanjutnya, kawan-kawan Aliansi Yuparrela(wan) bisa meniru apa yang sebelumnya pernah dilakukan oleh pihak Advokasi Kemasyarakatan BEM KM, yaitu mengadakan Sekolah Pasar bagi para pedagang Bonbin. Sekolah ini merupakan pelatihan yang didalamnya berisi materi-materi penting seperti higienitas dan sanitasi makanan, manajemen penyajian, dan lain sebagainya.

Kurangnya kebersihan Bonbin juga bukan semata kesalahan pedagangnya. Selama ini disamping universitas yang kurang peduli terhadap masalah ini, mahasiswa sendiri belum memiliki kesadaran yang kuat untuk bersama-bersama menjaga kebersihan Bonbin. Terbukti dengan banyaknya mahasiswa yang meninggalkan piring kotor dan sampah plastik diatas meja, atau membuang puntung rokok di lantai. Memang luar biasa meja bonbin ini ! Bisa jadi meja, asbak, tempat sampah pula !

Maka kedepannya kampanye tentang menjaga kebersihan kantin perlu untuk digembor-gemborkan. Tak hanya digembor-gemborkan, kampanye ini perlu dinarasikan secara masif dan berulang-ulang.

Dengan terus mengawal kasus ini, setidaknya kedepannya mahasiswa tidak hanya terlibat dalam "demo" menolak relokasi bonbin, namun kita juga berusaha bertindak langsung menjadi solusi untuk persoalan kebersihan yang juga akan berdampak terhadap masa depan kita semua.




Pemilukada serentak telah usai. Wonosobo sebagai salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah pun telah kelar melaksanakan pesta demokrasi yang berlangsung sangat sepi tanggal 9 Desember kemarin. Secara mengejutkan, pasangan nomor 3 yaitu Eko-Agus berhasil memperoleh suara tertinggi, bahkan hampir menyentuh angka 50%. Pasangan ini berhasil menumbangkan calon-calon lain yang popularitasnya tak perlu diragukan lagi. Misalnya saja Bu Maya, mantan Wakil Bupati Wonosobo yang terkenal cantik, halus dalam bertutur kata namun tak pandai dalam bernyanyi (saya ingat waktu blio nyanyi Sekuntum Mawar Merah bareng Bung Rhoma Irama).

Saya sendiri tak berhasil menemukan jawaban yang memuaskan bagaimana pasangan Eko-Agus ini bisa menang secara telak di Wonosobo. Yang pertama, dari keempat calon bupati ini, tak ada satupun yang punya ide kampanye secara kreatif lewat media sosial. Saya mah apa, saya hanya anak gaul jaman kini yang dapat info apa-apa dari Line, Instagram, Facebook, dsb. Selama saya bercengkerama dengan dunia media sosial ini, tak sekalipun saya menemukan kampanye-kampanye kreatif yang disebarkan secara viral, misal dengan video penyampaian visi misi a la Ridwan Kamil dulu. Yang kedua, jangankan lewat cara kampanye kreatif, wong poster visi misinya aja susah ditemukan dimana-mana (paling di alun-alun Wonosobo). Saya sendiri bingung, kalau begini masyarakat mau milih siapa? Apa kita harus memilih pemimpin berdasarkan gaya foto? Atau kita harus milih bupati yang warna baju di posternya sama dengan warna favorit kita? Entahlah...

Satu-satunya jawaban yang menurut saya cukup masuk akal atas kemenangan yang diraih pasangan nomer 3 ini adalah kabar adanya tim sukses yang luar biasa. Tak tanggung-tanggung, pasangan ini kabarnya berhasil menggandeng Bung Karno, Bung Hatta, dan Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai sebagai timses mereka. Kabarnya lagi, Soekarno-Hatta bergerak untuk membantu diplomasi dengan pihak-pihak kalangan atas. Sedangkan, pergerakan ke bawah dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. Sepertinya pasangan ini juga telah belajar banyak ilmu sejarah dan filsafat. Tak hanya menggandeng I Gusti Ngurah Rai, pasangan ini juga berhasil menerapkan filsafat Puputan Margarana, yaitu perang habis-habisan yang disiapkan sejak pagi-pagi buta guna mengalahkan lawan-lawannya. 

Sebenarnya, saya sendiri tidak melihat secara live peristiwa Neo-Puputan Margarana ini. Namun, cerita dari puluhan kawan saya yang sudi pulang dari Jogja-Wonosobo untuk ikut pemilu pun mau tak mau membuat saya lumayan percaya. Kawan-kawan di Desa saya, bahkan dengan semangatnya juga bercerita tentang Puputan Margarana Modern ini. Sayangnya, khusus di Desa saya mungkin, mereka gagal bertemu I Gusti Ngurah Rai. Namun lumayan lah, kawan-kawan saya ini berhasil bertemu Sultan Mahmud Badaruddin II dan Otto Iskandar Dinata. Fix, lumayan bisa salaman dengan kedua pahlawan ini.

Pada paham nggak sih kisah tentang Puputan Margarana diatas? Ah.. luweh.. Intinya, kini kita sudah punya pemimpin baru. Daripada meributkan apakah kisah ini benar atau hanya fiktif belaka - yang saya pikir sudah tidak lagi esensial- alangkah baiknya jika kita semua sebagai masyarakat Wonosobo mencoba mengenal kembali siapa blio-blio ini yang dalam 5 tahun kedepan akan memimpin kita. Saya mencoba membantu kedua pasangan ini untuk memperkenalkan kembali apa visi-misi mereka dan siapakah mereka sebenarnya. Hal ini karena saya yakin, bahwa masih banyak diantara kita yang masih belum kenal atau bahkan tidak tahu blio sama sekali.

Doa saya sih, dengan segala proses yang sudah dilalui pemimpin baru kita ini, semoga esok mereka bukanlah apa yang disebut oleh Pak Andre Gunder Frank sebagai Borjuis Lumpen (Borjuis Brandalan). Menurut Pak Andre ini, borjuis lumpen adalah borjuasi yang selain berkubang di usaha sektor ekstraktif (tambang, migas) atau perkebunan (sawit, karet, KAYU *maaf chapslock saya error tiba-tiba), juga mengandalkan usahanya pada kekuasaan politik untuk mengakumulasi modal. Dalam mengakumulasi modalnya, borjuis lumpen tak hanya identik dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, namun juga praktik kekerasan (premanisme).

Yang perlu diingat, borjuis lumpen di zaman sekarang jauh berbeda dengan borjuis lumpen di kala orde baru. Jika dulu mereka relatif lebih santai karena masa kekuasaan yang bisa bertahan sangat lama, borjuis pasca reformasi cenderung bergerak grusah-grusuh dalam mengakumulasi modalnya. Hal ini karena tampuk kekuasaan politik pasca reformasi cenderung lebih singkat dibanding dulu. Maka, dalam kasus Wonosobo ini, kita perlu rajin-rajin berdoa bahwa pemimpin kita yang baru ini bukanlah tipe-tipe borjuis lumpen seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya. Perlu diingat bahwa kekhawatiran ini didasarkan pada proses pemilu kemarin, dimana pasangan pemenang berhasil mendulang sekitar 46 % suara atau sekitar 163.000 pemilih  Misalnya saja, separuh dari angka tersebut adalah orang-orang yang terlibat langsung dalam Neo-Puputan Margarana, maka setidaknya ada lebih dari 80.000 Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai yang turut menyukseskan pasangan pemenang. Hitung monggo hitung.. Saya mah lagi-lagi apa, tiga setengah tahun nggak belajar matematika.

Terakhir dari saya, semoga apa yang saya waspadai ini hanyalah imajinasi lebay dari seorang mahasiswa kere. Sesuai apa yang sudah saya tulis diatas, bahwa mulai sekarang kita perlu mengenal lebih dan mengawasi segala tindak-tanduk dan keputusan dari pemimpin baru kita, maka berikut saya copy paste kan Visi Misi dan biografi mereka sesuai yang ada di web KPU Wonosobo. Semoga Wonosobo bisa menjadi Kabupaten yang makin baik, makin sejahtera, makin bersih, makin humanis, dan tak ada konflik agraria yang terjadi selama 5 tahun kedepan. Amin..


VISI     :“TERWUJUDNYA WONOSOBO BERSATU UNTUK MAJU, MANDIRI DAN SEJAHTERA UNTUK SEMUA”
MISI :
1)    Meningkatkan produktifitas dan pendapatan masyarakat melalui kebijakan ekonomi kerakyatan dan peningkatan infrastruktur pedesaan dan perkotaan
2)    Pengembangan perekonomian yang bertumpu pada perluasan pembangunan infrastruktur pedesaan dan perkotaan untuk pengembangan pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan, dengan penekanan pada peningkatan pendapatan masyarakat
3)    Pemerataan dan keseimbangan pembangunan secara berkelanjutan dengan meningkatkan investasi dan pemanfaatan sumberdaya alam secara rasional, efektif dan efisien untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah dan memperluas lapangan kerja
4)    Meningkatkan sumber daya manusia yang unggul, sehat dan berkualitas melalui program pendidikan dan kesehatan serta berprestasi di berbagai aspek kehidupan
5)    Mewujudkan manajemen pemerintahan daerah yang profesional, kepemimpinan daerah yang efektif, kepemimpinan yang amanah dan pelayanan publik yang berkualitas
PROFIL SINGKAT

Eko Purnomo, SE., MM
  1. Nama Lengkap : Eko Purnomo, SE., MM.
  2. Tempat dan Tanggal Lahir : Wonosobo, 18 Desember 1979
  3. NIK : 3307030812790003
  4. Usia : 36 tahun
  5. Alamat Tempat Tinggal: Boto, RT/RW 001/013 Kelurahan Sapuran
  6. Kecamatan Sapuran Kab. Wonosobo
  7. Jenis Kelamin : Laki-laki
  8. Status Perkawinan : Kawin
  9. Agama : Islam
  10. Hobi : Otomotif
  11. Pendidikan :
    - SDN 1 Beran Kepil 1986 – 1992
    - SMPN 1 Sapuran 1992 – 1995
    - MAN 1 Kalibeber 1995 – 1998
    - S1 2000 – 2004
    - S2 2012 - 2013
  12. Pengalaman Pekerjaan :
    - Anggota DPRD Kabupaten Wonosobo 2009 – 2014
    - Anggota DPRD Kabupaten Wonosobo 2014 – 2015
    - Direktur CV Gemilang Wood Fortune
    - Pengalaman Organisasi : Ketua IDMOC (Indonesian Mitsubishi Owner Club) Chapter Wonosobo
Ir. H. Agus Subagiyo, M. Si
  1. Nama Lengkap  :Ir. H. Agus Subagiyo, M.Si
  2. Tempat dan Tanggal Lahir : Ngawi, 15 Maret 1963
  3. Alamat Tempat Tinggal : Jl. Sidomulyo, RT/RW 003/003, Kel. Wonosobo Timur, Kec. Wonosobo, Kab. Wonosobo
  4. Jenis Kelamin : Laki-laki
  5. Status Perkawinan :Kawin
  6. Agama :Islam
  7. Hobi :Membaca, Olahraga, Mancing, Membuat Puisi, Seni dan Budaya
  8. Moto Hidup : Sejuta Kawan Sangat Kurang, Satu lawan kebanyakan, Hidup akan lebih nikmat bila bermanfaat bagi orang banyak. Khoirunnas anfa'uhum linnas
  9. Pendidikan :
    - SDN 1 NGAWI 1970 – 1975
    - SMPN 2 SRAGEN 1976 – 1978/79
    - MA NEGERI 1 SRAGEN 1979 – 1982
    - 1 STIPER YOGYAKARTA 1982 – 1987
    - S2 UGM YOGYAKARTA 1994 – 1997
  10. Pengalaman Pekerjaan :
    - taf Pemerintahan Daerah 1988
    - Kasi Industri Pertambangan dan Energi Bappeda Wonosobo 1991
    - PLT Kabid Ekonomi Bappeda Wonosobo 199
    - Kabid Sosbud Bappeda Wonosobo 1991
    - Sekretaris Bappeda Wonosobo 1994
    - Kabid Fisik Prasarana Bappeda Wonosobo 1997
    - Kabag Organisasi Setda Wonosobo 2001
    - Ymt Kabag Umum dan Perlengkapan Setda Wonosobo 2001
    - Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo 2003-2007
    - Ymt Kepala Dinas kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo 2003-2007
    - Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekda (Ass II) Kabupaten Wonosobo 2007-2008
    - Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekda (Ass II) Kabupaten Wonosobo 2008/SOTK Baru
    - Plt. Asisten Pemerintahan Sekda (Ass I) Kabupaten Wonosobo 2009-2010
    - Asisten Administrasi Sekda (Ass III) Kabupaten Wonosobo
    - Staf Ahli Bupati Bidang Pembangunan
    - Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo
    - Kepala Dinas Sosial Kabupaten Wonosobo
    - Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Wonosobo
  11. Pengalaman Organisasi :
    - Koordinator Bidang Pengabdian Masyarakat GMNI 1995-1987
    - Ketua PPM/FKPPI Wonosobo 1990-sekarang
    - Ketua DPD AMPI Wonosobo 1994-1998
    - Ketua Umum PBI (Penggemar Bonsai Indonesia) 1994-1999
    - Ketua Umum Kagama (Keluarga Alumni Gadjah Mada) Kabupaten Wonosobo 2003-sekarang
    - Ketua Dewan Takmir Masjid Manggisan Baru Wonosobo
    - Ketua Konsul Assalam Wilayah Kedu 1999-2000
    - Ketua Bidang Politik BPJSN 45 (Badan Pelestarian Pejuang Semangat dan Nilai-Nilai 45)
    - Ketua Bidang KONI Wonosobo 2003-2007
    - Dewan Penasehat PPBI Kab. Wonosobo 1999-sekarang
    - Wakil Ketua I Korpri Kab. Wonosobo 2007-2012
    - Dewan Penasehat Penyuluh Pertanian Kabupaten Wonosobo 2003-2007
    - Dewan Penasehat HKTI Kab. Wonosobo 2003-2007
    - Ketua RT Manggisan Baru Wonosobo 2003-2005
    - Ketua Umum Perbakin Wonosobo2005-sekarang
    - Wakil Ketua I DPD Korpri Kab. Wonosobo 2012-sekarang
    - Ketua Koperasi Dharma Praja Kab. Wonosobo 2003-2013
    - Ketua 1 BPJSN 45 (Badan Pelestarian Pejuang Semangat dan Nilai-Nilai 45)
    - Dewan Pembina PSM (Petugas Sosial Masyarakat) Kab. Wonosobo 2011-2012
    - Dewan Pembina Karang Taruna Kab. Wonosobo 2011-2012
    - Ketua Umum HKTI Kab. Wonosobo 2012-sekarang
    - nggota Lions Club InternationalDistric 307 B2 Indonesia 2013-sekarang
    - Ketua Paguyuban Umroh 2012-sekarang
    - Anggota Permadai Bergodo 6 Kab. Wonosobo
    - Pembina TAGANA (Taruna Siaga Bencana) Kab. Wonosobo 2011-2012
    - Pembina Karang Taruna Kab. Wonosobo 2011-2012
    - Pembina TKSK Kabupaten Wonosobo 2011-2012
    - Ketua 1 MDN (Majlis Dhuha Nasional) Kab. Wonosobo
    - Dewan Penasehat Ponpes PPAI Al Wakil Wilayu Selomerto Wonosobo
    - Dewan Penasehat Pengajian/Mujahadah Yayasan Arifin Mansyur Wonosobo
    - Dewan Pembina KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan) Kab. Wonosobo 2003-2007
    - Ketua Dewan Pembina KAMI (Keluarga Migrant Indonesia) Kab. Wonosobo 2013-sekarang
    - Brand Manager (BM) Avail Indonesia
    - Ketua Umum LSM RDI (Rural Development Institute) Indonesia
    - Dewan Pengawas KSU Cipto Raharjo Kab. Wonosobo
    - Dewan Penasehat PPMI (Perkumpulan Pecinta Musik Indonesia) Prop. Jateng
    - Dewan Penasehat Mancing Mania dan Pecinta Alam JOGO KALI Kab. Wonosobo
    - Ketua MAPADI (Masyarakat Pecinta Dieng) 1995-1998
    - Dewan Penasehat Jamaah Yasinan dan Tahlil Al Hikmah Tempelsari Indah Wonosobo

Referensi:
http://indoprogress.com/2015/12/kontradiksi-geng-geng-mafia-orde-baru/
http://kpud-wonosobokab.go.id/index.php/pemilu/pilkada-2015/pasangan-calon
Siapkan mental dulu, narasi ini mayan baper.
               
“Porsenigama ibarat La Liga. Vokasi dan Teknik itu Barca Madrid nya. Nah dewe iki Levante, kok ujug-ujug meh dadi juara 3?”

Saya mencoba kembali ke sekitar 2 bulan lalu ketika saya dan M Nashiruddin AlMuzakki Amri berdiskusi untuk membahas soal porsenigama. Saya hanya menargetkan menteri Minat dan Bakat LEM ini supaya bisa menambah kuantitas kontingen FIB di Porsenigama, sudah itu saja. Dengan adanya 26 cabang yang dilombakan, setidaknya kita bisa mengikuti 20 cabang. Hal ini mengingat tahun-tahun sebelumnya paling kita hanya mengirim sekitar 10 cabang lomba saja (atau malah kurang?).

Kami sepakat untuk mengajak kawan-kawan Sastra Kanuragan, Kapalasastra, Sastra Budaya, Paramadaya, Bejo Mulyo, Lincak, dan Terjal untuk bekerja sama menjadi pengurus inti porsenigama FIB. Tahap berikutnya kita mencoba mengumpulkan seluruh ketua HMJ supaya melakukan pendaftaran kontingen melalui 3 tahap. Tahap pertama adalah open recruitment, tahap kedua adalah close recruitment, dan ketiga adalah tahap survey. Oprec ditujukan untuk mereka yang mampu dan mau menjadi kontingen, closrec untuk mereka yang mampu tetapi enggan bergabung, sedang survey ditujukan untuk mereka yang mungkin mampu dan mau tapi tidak tahu. Dengan 3 tahap ini, ternyata tanpa disangka kita bisa mengirimkan 24 dari 26 cabang yang dilombakan.


Berpijak dari bertambahnya jumlah kontingen Ilmu Budaya, pada suatu rapat Zakky berkata pada seluruh perwakilan HMJ BSO bahwa ia punya target masuk 5 besar. Ucapan Zakky disusul dengan tawa seluruh kontingen, bahkan saya dan Zakky pun ikut tertawa seolah memang perkataan tersebut tak lebih dari humor dan penghibur semata. Maklum memang, tahun lalu kita hanya berada di peringkat 13 dengan perolehan 3 emas dan 1 perunggu. Tahun-tahun sebelumnya? Ya hampir sama lah. 13-14.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hari pembukaan Porsenigama tiba. Hari itu perwakilan kontingen FIB dan Sastro Conthong hadir ke lapangan pancasila UGM. Kami mencoba hadir sesuai tagline Sastro Conthong “SUPERBIA IN CULTURA” yang awalnya dicetuskan oleh Icang Sinambela. Hari itu kami memakai batik untuk hadir di upacara pembukaan. Siang itu matahari sangat terik. Bayangkan saja, panitia menyuruh seluruh peserta untuk melaksanakan seremonial pada angka 2 siang. Akan tetapi, entah energi apa yang kala itu membuat kami dari Ilmu Budaya tetap berani turun ke lapangan sebagai yang pertama. Sepertinya dengan berbatik dan tentu saja menjadi paling berbeda dibanding kontingen lainnya – yang rata-rata berkaos satu warna -, semangat kami menjadi terpacu dan ingin menunjukkan “IKI LHO SASTRA, KAMI BUDAYA DAN KAMI BANGGA !”


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Porsenigama memasuki masa penutupan. Tak disangka selama perhelatan tersebut, FIB sama sekali tak pernah turun dari posisi 5 besar. Emas pertama dari cabang monolog membuat kami terus mapan di papan sebelah kiri. Berikutnya tanpa disangka-sangka kami meraih medali-medali lain dari cabang-cabang yang tak terduga. Memang, sebagian besar cabang yang kita ikuti tahun ini adalah cabang-cabang yang baru pertama kali kita ikuti, hal inilah yang membuat kita buta untuk memetakan kekuatan kontingen kita sendiri. Kejutan demi kejutan pun datang. Sepakbola, tim yang dipimpin Pak Khusnul dan sudah absen partisipasi sejak lama, berhasil masuk semifinal. Meskipun gagal juara, tim sepak bola berhasil menyumbang perunggu. Tim basket Putra juga menyusul menyumbang 1 perunggu. Berkuda bahkan berhasil menyumbang perunggu, satu cabang yang saya sendiri tak mengira FIB akan mengikutinya. Cabang bela diri menjadi pahlawan dengan memberikan emas, perak, dan perunggu yang jumlah yang cukup banyak. Belum lagi tambahan emas dari tari tradisional, renang, dan juga atletik. Total, sehari sebelum penutupan FIB menduduki peringkat 4 dengan 10 emas, 5 perak, dan 9 perunggu. Tertinggal dari Fisipol dengan  10 emas, 6 perak dan 7 perunggu.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Selisih 1 perak dengan peringkat 3 FISIPOL membuat kami masih sedikit berharap bahwa dari 1 cabang terakhir yaitu fotografi, bisa meraih medali minimal perak. Hingga akhirnya inilah yg saya temukan di akun line Porsenigama, tepat di hari terakhir Porsenigama:

Gusti Allah ! Sejarah baru terukir ! Tak hanya masuk 10 besar dan 5 besar, tetapi dengan puitisnya kita nikung fisipol di hari akhir Porsenigama. Euforia pun menyesaki rongga dada kami. Dengan segera kami berkordinasi supaya pada malam penghargaan juara umum, gelanggang FIB akan diisi oleh pasukan FIB. Jarkom segera diluncurkan melalui berbagai akun media sosial. Di tanggal 5 bakda Isya kita akan longmarch menuju gelanggang dengan panji-panji Sastro Conthong, bendera Jurusan, dan juga berpakaian Batik. SUPERBIA IN CULTURA, BANGGA DALAM BUDAYA !
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kami menjadi pasukan yang datang paling awal di gelanggang. Angkringan gratis dan kerinduan akan kebersamaan menjadi motivasi tersendiri yang membuat kami rela menghabiskan malam minggu secara beramai-ramai. Belum pukul 8 malam, angkringan gratis sudah hampir habis dilahap para pasukan Sastro Kencot, eh Sastro Conthong. Kita jadi yang paling kompak. Kami berteriak setiap kali nama FIB disebutkan. Teriakan kami bahkan tidak kalah dengan ratusan anak Vokasi yang malam itu datang untuk merayakan keberhasilan mereka mengamankan juara umum 3 kali berturut-turut. Sayangnya acara malam itu – kalau tak boleh dibilang gagal – sangat kurang baik dalam pelaksanaannya. Alih-alih menghargai para atlit dengan mengutamakan membacakan nama pemenang, penonton justru lebih disuguhi banyak sekali penampil di panggung, belum lagi dengan waktu cek sound penampil yang memakan waktu puluhan menit.

Pukul 11 malam dan pembacaan juara tak kunjung dilakukan. Pasukan Ilmu Budaya mulai pulang satu persatu. Saya, Zakky, dan Al sempat memanggil seksi acara panitia dan ingin mendengar mengapa jadwal acara bisa sekacau ini. Panitia hanya minta maaf dan menyuruh kami sabar menunggu. Zakky dengan cukup emosi pun memberikan saran supaya panitia mengubah rundown dari yang awalnya menampilkan Plenthong Konslet lalu pembacaan juara, diubah menjadi pembacaan juara barulah ditutup dengan Plenthong Konslet. Entah bagaimana sehingga kami yang hanya penonton ini bisa protes sedemikian rupa. Haha.. Tetapi ternyata protes kami cukup efektif dan panitia ikut dengan saran kami.

Penonton sudah mulai sepi memang. Tetapi sepertinya masih ada lebih dari 20 mahasiswa FIB yang setia menunggu penyerahan piala umum juara 3 Porsenigama. Yanie Srikandi dari Sastro Conthong maju kedepan untuk pertama kalinya. Gagal total, ia ingin mengajak kami bernyanyi dengan keras tapi suaranya sendiri sudah lemas. Akhirnya saya dan Zakky ikut maju untuk menerima Piala dari Pak Senawi. Saya merinding, tangan saya bergetar menerima piala 3 besar ini. Meskipun sepertinya sepele, bagi saya piala ini adalah simbol dari perjuangan, kebersamaan, dan tentu saja kepedulian dan cinta yang membuat kami bisa bangkit dari berbagai keterpurukan.

Duma, Kevin, Dela, Okta, Yani, Raka, Kukuh, Aldi, Farizan, Onah, Itok, Anas, Af, Al, Hamima, dan beberapa anak lagi menyusul kami ke depan panggung sambil membawa panji-panji jurusan dan Sastro Conthong. Kami menaruh piala di tengah dan kami saling berpeluk, membentuk lingkaran dan mengitarinya. Diiringi musik rock etnik dari Plentong Konslet kami berputar dan berteriak “SASTRA BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN, SASTRA BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN, SASTRA BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN !”. Galuh dan Irfan sibuk mendokumentasikan moment tersebut. Kami berteriak dan berjoget bersama. Luwehhhh... Apa kata dunia, yang jelas kami bahagia bisa bersama merayakan hasil kerja sama kita. Ilmu Budaya hadir dan ada, kami Sastra, kami Budaya, dan kami Bangga !
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Acara perayaan telah selesai, Porsenigama resmi ditutup. Satu persatu keluar dari gelanggang dan tak disangka Mas Sus, Kanit Kemahasiswaan FIB masih menunggu di depan untuk menyelamati kami. Kami menguasai area photobooth. Kami pun berfoto bersama.

Mas Sus tiba-tiba menghampiri saya, lalu ia memanggil anak dokumentasi “Cah, tolong fotoke aku karo Bagus, mumpung Bagus durung dipecat”.

Bagus Panuntun


dokumentasi:








Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ►  2019 (17)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (4)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ▼  2015 (42)
    • ▼  Desember (3)
      • #SAVEBONBIN #RENOVASIBUKANRELOKASI
      • Neo-Puputan Margarana dan [WASPADA] Borjuasi Lump...
      • SUPERBIA IN CULTURA
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (68)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember (9)
    • ►  November (13)
    • ►  Oktober (15)
    • ►  September (7)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)

Copyright © 2016 bagus panuntun. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018