Nggak ada.
Berada di kampung halaman selalu
membuat saya lebih semangat untuk Jumatan.
Memang, motivasi orang untuk
beribadah selalu berbeda-beda. Ada yang beribadah untuk menambah pahala, ada
yang beribadah supaya doanya makin cepat dikabulkan Tuhan, atau ada yang sungguh-sungguh
takut akan narasi tentang neraka.
Pun dengan saya hari ini. Banyak
sekali motivasi yang membuat saya begitu bergairah untuk berangkat Jumatan.
Hari Jumat bagi saya sungguh
istimewa. Hanya di hari Jumat, saya bisa jalan kaki di siang bolong tanpa ada
seorangpun yang menganggap saya aneh. Ya, di Kampung yang sudah begitu terjamah
oleh modernisasi ini, kebanyakan orang sudah menggunakan sepeda motor untuk
melakukan segala aktivitas. Mulai dari setor arisan, belanja sayur, hingga berangkat
ngarit (mencari rumput). Maka di hari
inilah saya bersyukur bisa kembali jalan kaki dengan tenang. Memandangi
rumah-rumah yang bentuk dan warnanya sudah jauh berubah dibanding saat saya
kecil, melihat pohon-pohon rambutan yang buahnya mulai memerah, atau sekedar
memandang warung-warung jajanan yang masih menjual permen Yosan.
Menyenangkan.
Belum lagi ketika kita sudah
sampai masjid. Disanalah kita bisa bersua kembali dengan kawan-kawan seumuran,
tentu dengan gaya rambut dan style yang sudah berbeda-beda. Kami biasanya
bercakap-cakap diantara khotbah, berbincang soal pekerjaan, kuliah, atau
repotnya mengurus anak istri – bagi yang baru menikah. Obrolan yang biasanya
kami lakukan di luar masjid inilah yang membuat Qomat tak terasa telah
memanggil.
Dan yang paling syahdu adalah
suara-suara yang kita dengar ketika sholat telah dimulai. Allahuakbar... Lalu anak-anak
kecil di barisan belakang akan hahahihi mengganggu temannya yang mencoba
khusyuk sholat. Tawa yang coba ditahan itu terdengar begini: hihihihi... atau
qiqiqiqi. Mana ada “wkwkwkwkwk”? Sungguh tawa yang ditahan itu membawa saya
pada masa-masa yang akan selalu dirindukan. Masa kecil.
Dan Alhamdulillah... Berkat motivasi di atas dan sedikit niatan, saya tidak jadi mbolos tiga Jumat berurutan.
Kita tumbuh dewasa di zaman urusan bisnis harus lebih diutamakan ketimbang urusan kemanusiaan. Serba susah jadinya. Bahkan untuk urusan yang paling mendasar bagi umat manusia pun: Makan.
Dahulu, makan bolehlah dipandang sebagai aktivitas biologis semata. Tapi kini kata siapa. Makan pun kini soal bisnis, entah bisnis eksistensi atau bisnis ekonomis.
Dalam hal bisnis eksistensi, makan sudah jadi aktivitas self-identifying. Lewat makan, orang berusaha menkonstruksi identitasnya. Itu jelas mudah kita temui di Instagram atau Path yang jadi arena balapan unggah foto makan-makanan. Dengan sekali unggah gambar saja, beragam identitas baru akan segera melekat pada masing-masing individu. Bisa jadi si kaya, si trendy, si berkelas, si goblik, si asu, dan sebagainya. Makan bukan lagi soal kenyang tidak kenyang, atau enak tidak enak lagi, makan adalah konsumsi akan nilai simbol.
Tapi itu tak seberapa menakutkan lah. Yang paling paut kita khawatirkan justru karena makan sudah jadi urusan bisnis kapitalis. Bisnis kapitalis tentu tak lepas dari keserakahan para pemilik modal yang tujuannya cuma satu, akumulasi keuntungan. Urusan kemanusiaan jelas dikesampingkan. Efeknya ya seperti yang kita rasakan hari ini, mau makan pun kita jadi susah. Kita hidup di era dimana pasar menawarkan dua jenis makanan, yaitu organik dan non-organik. Yang organik memang sehat karena diolah tanpa bahan kimia, tapi harganya terlalu mahal. Sedang yang non-organik akan dengan mudah kita temukan dimana-mana, sayang makanannya rasa pestisida.
Hampir setiap tahun saya mendengar berita tentang orang mati keracunan duku, bahkan tahun lalu orang desa saya sendiri yang jadi korbannya. Saya juga mulai pesimis akan sehatnya sayur sop. Dulu kita mengimajinasikan sayur sop sebagai kesegaran yang bernutrisi, hari ini? Sayur sop berisi kentang dari Dieng yang setiap hari disiram racun serangga, selain kentang juga masih ada tomat dan wortel yang kabarnya termasuk sayuran dengan siraman pestisida terbanyak. Ngeri juga. 40 tahun kedepan, ada berapa gram ya endapan logam berat pestisida di tubuh kita?
Hampir setiap tahun saya mendengar berita tentang orang mati keracunan duku, bahkan tahun lalu orang desa saya sendiri yang jadi korbannya. Saya juga mulai pesimis akan sehatnya sayur sop. Dulu kita mengimajinasikan sayur sop sebagai kesegaran yang bernutrisi, hari ini? Sayur sop berisi kentang dari Dieng yang setiap hari disiram racun serangga, selain kentang juga masih ada tomat dan wortel yang kabarnya termasuk sayuran dengan siraman pestisida terbanyak. Ngeri juga. 40 tahun kedepan, ada berapa gram ya endapan logam berat pestisida di tubuh kita?
Saya punya beberapa teman calon sarjana yang punya cita-cita jadi petani sayur dan bunga. Ia hanya ingin hidup sederhana bersama keluarganya. Asyik juga kedengerannya. Mungkin jadi sesederhana itu malah membuat kita jauh dari pestisida. Punya rumah dengan halaman yang lumayan luas, di depannya penuh rumput jepang dan pot-pot bunga untuk menanam sayuran. Cabai, timun, kacang polong, kacang panjang, juga daun bayam yang di tumbuhkan dengan siraman air segar saja. Aih..Semuanya serba organik !
Ah, tapi kan untuk bisa seperti itu perlu modal juga?
Sungguh bagi yang miskin, cerita tentang negeri dengan ratusan jenis sayur dan buah warna-warni nan menggoda itu hanya dongeng belaka. Kita tidak sedang hidup disana kawan. Kita sedang hidup di tengah perkebunan homogen. Dari Ciwidey, Dieng sampai Bromo sana, ternyata kita dikelilingi satu model perkebunan saja. Perkebunan simalakama.
Kita konsumsi sampah Kita produksi limbah Kita konsumsi sampah Kita produksi limbah
Hijau - Efek Rumah Kaca
Ah, tapi kan untuk bisa seperti itu perlu modal juga?
Sungguh bagi yang miskin, cerita tentang negeri dengan ratusan jenis sayur dan buah warna-warni nan menggoda itu hanya dongeng belaka. Kita tidak sedang hidup disana kawan. Kita sedang hidup di tengah perkebunan homogen. Dari Ciwidey, Dieng sampai Bromo sana, ternyata kita dikelilingi satu model perkebunan saja. Perkebunan simalakama.
Kita konsumsi sampah Kita produksi limbah Kita konsumsi sampah Kita produksi limbah
Hijau - Efek Rumah Kaca
Sejak jadi temannya mas Wiartha Ardi Sutra, saya menemukan suatu kebaruan di beranda facebook saya. Jika sebelumnya beranda lebih sering diisi oleh berita-berita hot religius nan transendental macam PKX Piyungan atau VOC Islam, hari ini beranda saya jadi sering diisi oleh narasi-narasi sederhana tentang para manula (manusia lanjut usia).
Ya, Mas Wita ini entah sejak kapan suka sekali menyebarkan foto simbah-simbah yang di usia lanjutnya masih saja berjualan mencari nafkah. Terakhir ini adalah seorang kakek penjual es jeruk dari Tasikmalaya. 2 tahun sudah ia berjualan, yaitu sejak istrinya meninggal dunia. Dalam kondisinya yang sudah tak begitu sehat, tangannya mulai gemetaran tiap kali mulai memeras jeruk, kakek itu tetap saja berjualan di bawah terik matahari kota Tasik.
Tak terhitung - dan mana sempat saya ngitung - berapa foto simbah-simbah yang pernah disebarkan via berandanya. Pernah Mas Wita ini menyebarkan foto Mbah Mitro, nenek usia 80 tahun yang jualan mizone dan telur asin di alun-alun kidul Yogyakarta, foto kakek penjual shampo asal Magelang, dan foto kakek nenek lainnya. Yang jelas di usianya yang sudah lanjut itu, mereka tetap semangat bekerja melawan takdir yang mulai melemahkan fisiknya.
Saya jadi teringat dengan almarhum simbah kakung saya yang baru saja meninggal 2 hari sebelum lebaran tahun lalu. Simbah yang memang sejak mudanya adalah pedagang obat di pasar ini, hingga usia kepala tujuhnya masih saja semangat untuk berangkat berjualan. 2 hari sebelum meninggal bahkan, di tengah keadaan sakit komplikasi gula dan jantung, simbah masih saja punya rencana kalau ingin berangkat prepegan - pasar terakhir sebelum Idul Fitri tiba, biasanya dagangan sangat laris.
Gairah bekerja di usia senja sepertinya adalah hal tak terhindarkan yang dialami oleh setiap orang tua. Simbah kakung misalnya, ia bekerja bukanlah untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari. Tanpa berangkat pasar pun, anak-anaknya yang rumahnya dekat sudah pasti menjamin simbah kakung untuk bisa makan minum cukup setiap hari. Apalagi kalau demi hidup yang mewah. Mana mungkin. Simbah hanya membeli satu batik dalam setahun. Tentu saja untuk dipakai di hari lebaran. Biar terlihat gagah di depan cucu-cucunya, katanya.
Entah bagaimana dengan simbah-simbah yang ada di beranda facebook Mas Wita. Apakah gairah itu sama dengan gairah yang juga ada pada diri simbah kakung saya? Kadang dengan melihat dagangan-dagangan yang mereka jual, saya berpikir bahwa nasib mereka sepertinya tak seberuntung almarhum simbah kakung. Namun benarkah mereka berjualan hanya demi mencari uang untuk makan? Apakah benar mereka tak punya anak cucu yang seperti ibu dan bibi-bibi saya siap menjamin hidup mereka?
Entahlah..
Saya pikir mereka juga butuh bertemu dengan orang-orang. Melihat kehidupan dan bercakap-cakap dalam setiap perjumpaan.
Yang lebih mencekam dari kemiskinan adalah kesepian. Apakah mereka juga kesepian?
Sekali lagi. Entahlah...
Yang lebih mencekam dari kemiskinan adalah kesepian. Apakah mereka juga kesepian?
Sekali lagi. Entahlah...
Bagus Panuntun
Mengenang Almarhum Mbah Zaenal
Sudah rampung jadi presiden kok masih ikut-ikutan #savebonbin mz?
Saya bukan kemarxist-marxist an, tetapi ini salah satu hak kewajiban saya sedari menjadi penghuni kampus intelektual.
Saya bukan kemarxist-marxist an, tetapi ini salah satu hak kewajiban saya sedari menjadi penghuni kampus intelektual.
Kondisi sosial di sekitar kita sudah tak mungkin didiamkan saja. Manusia-manusia yang belajar sudah saatnya langsung terlibat. Pertanyaannya terlibat untuk siapa? Untuk mereka yang sudah mapan tapi tak bosan-bosan menghitung uang, atau untuk mereka yang tertindas padahal susah cari makan?
Perjuangan paling susah memang perjuangan di lingkaran demokrasi. Yang gede emoh dikerasi.
Apalagi di tengah anak-anak yang canggih. Cangkemnya cuma inggah-inggih.
Kalau mencintai berarti meletakkan sesuatu pada hakikatnya, kata Cak Nun, bukannya sudah hakikat kita yang tiap hari hidup bersama mereka, untuk ikut terlibat mendampingi para Pak Bu Kromo tersebut?
Ya itu kalau kita mencintai. Mencintai kemanusiaan. Mencintai yang menindas dan yang tertindas. Yang menindas kita sadarkan dengan mengusir iblis-iblis di kanan kiri meja empuknya, yang tertindas kita dampingi untuk setidaknya tak merasakan kecemasan karena sepi dan belum punya senjata.
Itu batu-batu yang kerasnya bukan main itu, lama-lama akan hancur juga kalau setetes demi setetes air terus menjatuhinya.
Jangan diam saja.
#savebonbin
Jangan diam saja.
#savebonbin