Perkebunan Simalakama

Kita tumbuh dewasa di zaman urusan bisnis harus lebih diutamakan ketimbang urusan kemanusiaan. Serba susah jadinya. Bahkan untuk urusan yang paling mendasar bagi umat manusia pun: Makan.

Dahulu, makan bolehlah dipandang sebagai aktivitas biologis semata. Tapi kini kata siapa. Makan pun kini soal bisnis, entah bisnis eksistensi atau bisnis ekonomis.

Dalam hal bisnis eksistensi, makan sudah jadi aktivitas self-identifying. Lewat makan, orang berusaha menkonstruksi identitasnya. Itu jelas mudah kita temui di Instagram atau Path yang jadi arena balapan unggah foto makan-makanan. Dengan sekali unggah gambar saja, beragam identitas baru akan segera melekat pada masing-masing individu. Bisa jadi si kaya, si trendy, si berkelas, si goblik, si asu, dan sebagainya. Makan bukan lagi soal kenyang tidak kenyang, atau enak tidak enak lagi, makan adalah konsumsi akan nilai simbol.

Tapi itu tak seberapa menakutkan lah. Yang paling paut kita khawatirkan justru karena makan sudah jadi urusan bisnis kapitalis. Bisnis kapitalis tentu tak lepas dari keserakahan para pemilik modal yang tujuannya cuma satu, akumulasi keuntungan. Urusan kemanusiaan jelas dikesampingkan. Efeknya ya seperti yang kita rasakan hari ini, mau makan pun kita jadi susah. Kita hidup di era dimana pasar menawarkan dua jenis makanan, yaitu organik dan non-organik. Yang organik memang sehat karena diolah tanpa bahan kimia, tapi harganya terlalu mahal. Sedang yang non-organik akan dengan mudah kita temukan dimana-mana, sayang makanannya rasa pestisida.

Hampir setiap tahun saya mendengar berita tentang orang mati keracunan duku, bahkan tahun lalu orang desa saya sendiri yang jadi korbannya. Saya juga mulai pesimis akan sehatnya sayur sop. Dulu kita mengimajinasikan sayur sop sebagai kesegaran yang bernutrisi, hari ini? Sayur sop berisi kentang dari Dieng yang setiap hari disiram racun serangga, selain kentang juga masih ada tomat dan wortel yang kabarnya termasuk sayuran dengan siraman pestisida terbanyak. Ngeri juga. 40 tahun kedepan, ada berapa gram ya endapan logam berat pestisida di tubuh kita?

Saya punya beberapa teman calon sarjana yang punya cita-cita jadi petani sayur dan bunga. Ia hanya ingin hidup sederhana bersama keluarganya. Asyik juga kedengerannya. Mungkin jadi sesederhana itu malah membuat kita jauh dari pestisida. Punya rumah dengan halaman yang lumayan luas, di depannya penuh rumput jepang dan pot-pot bunga untuk menanam sayuran. Cabai, timun, kacang polong, kacang panjang, juga daun bayam yang di tumbuhkan dengan siraman air segar saja. Aih..Semuanya serba organik !

Ah, tapi kan untuk bisa seperti itu perlu modal juga?

Sungguh bagi yang miskin, cerita tentang negeri dengan ratusan jenis sayur dan buah warna-warni nan menggoda itu hanya dongeng belaka. Kita tidak sedang hidup disana kawan. Kita sedang hidup di tengah perkebunan homogen. Dari Ciwidey, Dieng sampai Bromo sana, ternyata kita dikelilingi satu model perkebunan saja. Perkebunan simalakama.

Kita konsumsi sampah Kita produksi limbah Kita konsumsi sampah Kita produksi limbah


Hijau - Efek Rumah Kaca



Share:

0 komentar