Simbah dan Gairah Bekerja Usia Senja



Sejak jadi temannya mas Wiartha Ardi Sutra, saya menemukan suatu kebaruan di beranda facebook saya. Jika sebelumnya beranda lebih sering diisi oleh berita-berita hot religius nan transendental macam PKX Piyungan atau VOC Islam, hari ini beranda saya jadi sering diisi oleh narasi-narasi sederhana tentang para manula (manusia lanjut usia).

Ya, Mas Wita ini entah sejak kapan suka sekali menyebarkan foto simbah-simbah yang di usia lanjutnya masih saja berjualan mencari nafkah. Terakhir ini adalah seorang kakek penjual es jeruk dari Tasikmalaya. 2 tahun sudah ia berjualan, yaitu sejak istrinya meninggal dunia. Dalam kondisinya yang sudah tak begitu sehat, tangannya mulai gemetaran tiap kali mulai memeras jeruk, kakek itu tetap saja berjualan di bawah terik matahari kota Tasik.

Tak terhitung - dan mana sempat saya ngitung - berapa foto simbah-simbah yang pernah disebarkan via berandanya. Pernah Mas Wita ini menyebarkan foto Mbah Mitro, nenek usia 80 tahun yang jualan mizone dan telur asin di alun-alun kidul Yogyakarta, foto kakek penjual shampo asal Magelang, dan foto kakek nenek lainnya. Yang jelas di usianya yang sudah lanjut itu, mereka tetap semangat bekerja melawan takdir yang mulai melemahkan fisiknya.

Saya jadi teringat dengan almarhum simbah kakung saya yang baru saja meninggal 2 hari sebelum lebaran tahun lalu. Simbah yang memang sejak mudanya adalah pedagang obat di pasar ini, hingga usia kepala tujuhnya masih saja semangat untuk berangkat berjualan. 2 hari sebelum meninggal bahkan, di tengah keadaan sakit komplikasi gula dan jantung, simbah masih saja punya rencana kalau ingin berangkat prepegan - pasar terakhir sebelum Idul Fitri tiba, biasanya dagangan sangat laris.

Gairah bekerja di usia senja sepertinya adalah hal tak terhindarkan yang dialami oleh setiap orang tua. Simbah kakung misalnya, ia bekerja bukanlah untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari. Tanpa berangkat pasar pun, anak-anaknya yang rumahnya dekat sudah pasti menjamin simbah kakung untuk bisa makan minum cukup setiap hari. Apalagi kalau demi hidup yang mewah. Mana mungkin. Simbah hanya membeli satu batik dalam setahun. Tentu saja untuk dipakai di hari lebaran. Biar terlihat gagah di depan cucu-cucunya, katanya.

Entah bagaimana dengan simbah-simbah yang ada di beranda facebook Mas Wita. Apakah gairah itu sama dengan gairah yang juga ada pada diri simbah kakung saya? Kadang dengan melihat dagangan-dagangan yang mereka jual, saya berpikir bahwa nasib mereka sepertinya tak seberuntung almarhum simbah kakung. Namun benarkah mereka berjualan hanya demi mencari uang untuk makan? Apakah benar mereka tak punya anak cucu yang seperti ibu dan bibi-bibi saya siap menjamin hidup mereka?

Entahlah..

Saya pikir mereka juga butuh bertemu dengan orang-orang. Melihat kehidupan dan bercakap-cakap dalam setiap perjumpaan.

Yang lebih mencekam dari kemiskinan adalah kesepian. Apakah mereka juga kesepian?

Sekali lagi. Entahlah...


Bagus Panuntun
Mengenang Almarhum Mbah Zaenal

Share:

0 komentar