TENTANG MENGINAP DI RUMAH REKTOR, SURAT PANGGILAN ORANG TUA, DAN PERINGATAN DIPIDANAKAN - SEMACAM KLARIFIKASI
Assalamualaikum
Wr. Wb
Perkenalkan
kawan-kawan, kami Ari Bagus Panuntun (Sastra Prancis) dan Patwa Alhuda (Sastra
Nusantara), mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, salah dua
dari sekian ratus atau bahkan ribu orang yang simpati pada kasus relokasi
pedagang Bonbin UGM.
Tulisan
kami ini akan menjadi klarifikasi atas kegaduhan yang hari ini timbul.
Munculnya beragam pertanyaan terkait Kantin Bonbin, Surat Panggilan Orang Tua,
hingga persoalan Ancaman Pidana, membuat kami sepakat untuk sejenak berhenti
ngetik skripsi, lalu memilih menulis klarifikasi ini.
Mungkin
kami akan memulainya dari panggilan Dekan FIB kepada masing-masing dari kami.
Semua ini berhubungan dengan gerakan SBM (Save Bonbin Movement), yang akan
sangat panjang jika kami ceritakan disini. Silahkan add OA Line Save Bonbin
Movement: @loy0644y dan scroll puluhan tulisan dan kajian dari kami.
Bahan
bacaan:
https://drive.google.com/file/d/0B6Llhzsli3VBeDFPOWlPbVMtdE0/view?usp=sharing
http://koranyogya.com/jurang-generasi-itu-bernama-kantin-bonbin-ugm/
https://www.facebook.com/notes/dewan-mahasiswa-fisipol-ugm/rilis-di-balik-tutupnya-kantin-bonbin-sebuah-pengantar-jilid-1/854971894612236
https://www.facebook.com/notes/dewan-mahasiswa-fisipol-ugm/rilis-jilid-2-forum-hearing-bonbin/856088807833878
https://www.facebook.com/notes/dewan-mahasiswa-fisipol-ugm/rilis-jilid-3-ringkasan-pertemuan-dengan-dppa/856650071111085
http://kask.us/iecHD
(((Selanjutnya,
silahkan ceritakan kronologinya dari versi anda, Mas Bagus)))
PANGGILAN
DEKAN DAN CERITA TENTANG MENGINAP DI DEPAN RUMAH REKTOR
Perkenalkan
kawan. Saya Bagus. Saya dipanggil Pak Pujo, Dekan FIB, pada tanggal 25 April
2016 melalui whatsapp dari Mas Zam, Sekretaris Dekan.
Saya
bertemu Pak Pujo sekitar pukul 11.00 siang dan kami berdialog di area bangku
item FIB. Pertanyaan yang pertama beliau tanyakan adalah, ceritakan kronologi
tentang “Nginep di Rumah Rektor”.
Saya pun
bercerita tentang “perbuatan” sekitar 15 kawan-kawan SBM yang terpaksa harus
mendatangi rumah Rektor. Tujuan dari kedatangan kami ini sebenarnya hanya ada
satu hal: Membuka ruang dialog - terkait munculnya SP 2 kepada pedagang Bonbin.
Kedatangan
ini pun bukan serta merta tanpa sebab. Semua ini berawal dari ucapan janji
seorang Rektor itu sendiri.
Pada
tanggal 11 April 2016, Bu Rektor pernah berkata di depan 12 pedagang Bonbin
plus lebih dari 300 mahasiswa bahwa untuk persoalan Bonbin “Renovasi atau
relokasi masih ‘open’ “. Pernyataan tersebut beliau keluarkan setelah mendengar
paparan kajian ilmiah dari kawan-kawan SBM yang meliputi kajian Sejarah, Gizi,
Ekonomi, Hukum, Psikologi, dan penataan ruang. Di kesempatan tersebut, Rektor
juga sempat mendengarkan penolakan pedagang Bonbin untuk direlokasi ke Pujale.
Implikasi dari apa yang disampaikan Rektor, berarti bahwa persoalan relokasi
Bonbin masih akan dibicarakan lebih lanjut, atau secara singkat: relokasi belum
pasti.
Namun,
apa yang terjadi pada tanggal 19 April sungguh sangat mengejutkan dan
mengecewakan kami. UGM tiba-tiba mengirimkan Surat Peringatan Dua kepada
pedagang Bonbin. Dalam surat yang ditandatangani oleh Prof. Henricus selaku
Direktur DPPA UGM tersebut, tertulis bahwa jika sampai tanggal 22 April 2016
pedagang tidak menandatangani SP 2 untuk setuju direlokasi ke Pujale, maka
pedagang akan dianggap mengundurkan diri dari UGM.
Pedagang
pun panik dan merasa tertekan. Kendati tidak setuju dengan relokasi, mereka
takut jika mereka tidak membubuhkan tanda tangan, maka hilang sudah lapak
mereka, hilang sudah penghidupan mereka. Hal ini membuat pedagang meminta
mahasiswa untuk mempertemukan pedagang dengan Bu Rektor.
Tanggal
20 April 2016 kami beberapa kali mengirimkan pesan WA kepada Rektor, namun
tiada pesan itu dibalas. Merasa makin tertekan, akhirnya pada H-1 tenggat
waktu, yaitu pada tanggal 21 April 2016, kami sepakat untuk menemui Bu Rektor
di PKKH UGM. Kebetulan, waktu itu Bu Rektor baru saja mengadakan hearing
terbuka mengenai masalah UKT. Pukul 18.00 kami berusaha untuk meminta dialog
barang lima menit untuk mempertanyakan mengenai SP 2, namun Bu Rektor
mengatakan bahwa beliau sedang sibuk dan lalu pergi begitu saja dengan
Mobilnya.
Pedagang
pun tak patah semangat. Pada pukul 19.30, mahasiswa dan pedagang yang diwakili
Pak Tumino dan Mas Wisnu bersama-sama menuju gedung Rektorat untuk mencoba
menemui Rektor. Namun ternyata Bu Rektor tidak ada di tempat. Dengan waktu yang
semakin mepet dan menekan, akhirnya dengan terpaksa kami pun sepakat untuk
berkunjung langsung ke rumah Bu Rektor. Sayangnya Pak Tumino jatuh sakit,
“pusing sekali” ujarnya, sehingga beliau hanya menitipkan pesan pada Bu Rektor
yang pesan tersebut saya rekam di handphone saya.
Sekitar
15 mahasiswa pun datang ke rumah Bu Rektor, dan ternyata di tengah perjalanan
kami “slisipan” dengan Bu Rektor yang baru saja keluar dari rumahnya. Akhirnya
kami mencoba menemui warga masyarakat yang sedang ronda untuk meminta izin
mungkin sampai malam kami akan menunggu Bu Rektor untuk sejenak bertemu.
Apa yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Pukul 22.30 Bu Rektor pulang dengan mobil hitamnya. Kami pun segera minggir dan memberi jalan pada mobil Bu Rektor, namun tanpa disangka-sangka, lho lho lho lho lho... Kok mobilnya mbablas???
Aih,
ternyata Bu Rektor pergi ke rumah anaknya yang jaraknya hanya sekitar 15 meter
dari rumah pribadinya. Salah seorang kawan saya, Hikari, lalu mengejar mobil Bu
Rektor sampai kedepan rumah anak Bu Rektor, Hikari jelas melihat bahwa Bu
Rektor telah turun dari mobil, namun beliau justru masuk rumah dan menutup
rumah beliau.
Kami pun
mencoba mengucapkan salam dari luar gerbang, namun hasilnya nihil.
Kami lalu
mencoba melihat WA Bu Rektor yang saat itu masih online, dan mencoba kembali
mengucapkan salam berharap bahwa pintu akan segera terbuka.
Mungkin
kami memang terlalu naif, saya sendiri berpikir “Ah Bu Rektor kan baik, pasti
nanti beliau mau lah untuk bertemu. Mosok sudah papasan tetap nggak mau ketemu
sih?”.
Pintu tak
kunjung terbuka, salam tak jua dijawab. Sampai akhirnya kami sepakat pokoknya
kita tunggu sampai Bu Rektor bangun dan segar bugar esok pagi, lalu besok pagi
kita temui langsung sebelum beliau berangkat ke UGM – kalau kami pulang dulu,
kami khawatir besok pun di UGM Bu Rektor tak bisa ditemui.
Semuanya
sepakat. Dengan prinsip tidak akan membuat kegaduhan dan juga telah mendapat
izin dari masyarakat, kami pun menunggu sampai akhirnya sekitar pukul 01.00
dini hari, suami Bu Rektor datang menemui kami. Percapakapan dengan suami Bu
Rektor terjadi sekitar dua puluh menit, mengenai apa isinya saya kira tidak
penting untuk saya jabarkan disini. Yang jelas suami Bu Rektor meminta kami
untuk segera pulang karena Bu Rektor hendak istirahat, sedang kami meminta agar
disampaikan pada Bu Rektor bahwa mahasiswa ingin bertemu barang sepuluh atau
lima menit saja untuk bicara tentang SP 2.
Menghormati
kemauan suami Bu Rektor, kami akhirnya pulang sekitar pukul 02.00 dan menginap
di kontrakan Agung, kawan kami dari hukum, yang kontrakannya tak jauh dari
rumah Bu Rektor.
Pukul
05.00 pagi tanggal 22 April 2016 kami datang lagi ke rumah Bu Rektor. Namun
kami hanya duduk diam di depan gerbang, beberapa tiduran, dan beberapa pesan
sate ayam untuk sarapan. Kami sepakat bahwa pukul setengah 7 kami hendak mengetuk
pintu rumah Bu Rektor. Pukul setengah 7 pun kami mengetuk pintu gerbang,
memencet bel rumah, hingga menyampaikan salam “Assalamualaikum”. Namun
lagi-lagi tiada yang terjawab.
Ya
Allah.. ngelus dada ya Allah.. SKK pun berdatangan ke rumah Rektor. Saya kira
ada sekitar 8 SKK yang kala itu hadir. Menyusul kemudian Pak Sulaiman dan Pak
Gagak dari Dirmawa yang juga datang.
Sampai
disini, kami mulai gagal paham. Mengapa SKK harus dikerahkan? Bukankah kami
sudah menyampaikan melalui WA, melalui suami Bu Rektor, bahwa kami hanya ingin
berdialog dengan Bu Rektor mengenai SP 2? Mengapa ajakan dialog, ucapan salam,
justru dijawab dengan kedatangan pasukan keamanan?
Hanya Bu
Rektor yang bisa menjawab.
Namun
akhirnya pukul setengah 8 kami sepakat untuk langsung mengetuk pintu rumah.
Alhuda
dipercaya untuk berdiri paling depan menemui suami Bu Rektor, saya ada di
belakangnya. Sebagai putra jurusan Sastra Nusantara, kemampuannya berbahasa
Jawa krama inggil tak perlu dipertanyakan, pengalaman hidup 21 tahun di daerah
pedesaan Gunung Kidul membuat kami percaya bahwa kesantunannya mampu meluluhkan
siapapun sang lawan bicara.
“nyuwun
sewu pak, menika kula lan kanca-kanca nyuwun wekdal badhe pinanggih Bu Rektor”.
“Nyuwun
wekdal sedasa menapa gangsal menit kemawon mboten menapa pak?”.
“Pak,
dinten menika jatuh tempo kagem pedagang bonbin ngempalaken tapak
asma
pak".
“menika
kanca-kanca namung badhe silaturahmi pak, nyuwun pitedah bu rektor, pak”.
Namun
semua itu tetap percuma. Nihil. Dialog sekali lagi adalah barang yang sangat
langka.
Kami pun
berpamitan karena tak ingin ada warga yang penasaran lalu mulai berdatangan.
Dan
ketika kami hendak pulang, Bu Rektor pun akhirnya keluar rumah, masuk ke dalam
mobil sambil berkata pada para SKK “Matur nuwun nggih pak”...
(((Al...
jatahmu nulis Al, kesel wisan aku)))
TENTANG
SURAT PANGGILAN ORANG TUA DAN PERINGATAN PIDANA
Apa yang
saya (Alhuda) dan Bagus lakukan ternyata masuk ke rekaman CCTV rumah Bu Rektor.
Mas Pujo lalu memperingatkan bahwa perbuatan kami sudah kebablasan, bahkan
mungkin kami bisa dipidanakan dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.
“Kamu
bisa memilih tindakan, tapi tidak dengan konsekwensi”, ujar Mas Pujo.
Apa
resikonya jika kami benar dipidanakan? Ya otomatis saya dan Bagus akan di DO.
Ini turut diamini oleh Mas Pujo.
Apa kami
siap? Ya jelas siap. Siap protes !
Toh, saya
yakin bahwa di rekaman CCTV tersebut, kami pun tidak berbuat tindakan-tindakan
yang kebablasan, misalnya berteriak, memukul, atau salto.
Kami
hanya mengajak dialog secara kekeluargaan. Namun yang kami terima adalah
peringatan (semoga bukan ancaman)
Mas Pujo
kemudian juga mengirimkan surat panggilan untuk orang tua kami. Menurut Mas
Pujo, memanggil orang tua dilakukan karena anak-anak seperti kami sudah tidak
bisa lagi diatur. Surat panggilan tersebut sudah diterima oleh kami pada hari
ini, 27 April 2016.
Kami
sangat menyayangkan pemanggilan orang tua kami ini. Pertama, kami merasa ini
lucu. Tindakan ini memaksa kami untuk bernostalgia dengan masa SMA lagi. Kok
aneh ya ketika hal ini terjadi di Universitas? Apakah pemanggilan orang tua
adalah hal yang “seyogyanya”?
Kedua,
tentang alasan bahwa kami tidak bisa diatur. Kami bukan tidak bisa diatur pak,
kami tentu saja bisa dan mau diatur, namun jika aturan tersebut kami rasa
kurang baik, kami ya akan berusaha protes. Mengenai tindakan protes akan sebuah
aturan, kami ingin mengutip sebuah tulisan dari Mas Pujo Semedi dalam
tulisannya berjudul McDonaldisasi atau McMeongisasi (2002) “....Gedung-gedung
kantor dan ruang kuliah megah disegala penjuru dan mobil mewah berparkiran
disetiap halamanya. Namun sosok-sosok maharesi dan begawan yang berwibawa dan
mendunia satu persatu telah pergi dan nyaris tidak muncul penerus-penerus
perjalanannya. ....Mohon tulisan saya ini diterima sebagai ekspresi cinta
seorang warga kepada kampusnya, seorang anak kepada ibu kandung pendidikanya.
Bukan sebagai aksi subversif, jangan nanti gara-gara tulisan ini saya
dipanggil, didudukan dan dimarahi dimuka para petinggi.” (diterbitkan dalam
Kedaulatan Rakyat Rabu 6 Februari 2002). Saya pun ingin menekankan bahwa segala
yang saya lakukan dengan menulis opini hingga ikut aksi, pun merupakan ekspresi
cinta seorang warga kepada kampusnya, seorang anak kepada ibu kandung
pendidikanya. Mengapa karena protes justru didudukkan dan bahkan hingga orang
tua dilibatkan?
Mungkin
inilah sedikit klarifikasi dari kami. Semoga perbuatan kami mengunjungi rumah
Bu Rektor bukan dipahami sebagai sekedar perbuatan kurang ajar, namun lebih
dari itu, tindakan ini adalah pilihan terakhir kami atas ruang dialog yang tak
kunjung terbuka, di tengah makin kepepetnya nasib pedagang Bonbin karena SP
Dua. Kami tentu saja bersedia meminta maaf kepada Rektor jika perbuatan kami
dianggap telah mengganggu kenyamanannya. Namun, kami tetap menuntut Rektor
untuk segera mengadakan dialog terbuka dan menyelesaikan persoalan Bonbin
dengan menggunakan prinsip partisipatif.
Sebagai
penutup, saya akan mengutip quote dari Soe Hok Gus, “Guru bukan Tong Sam Cong
yang setiap perkataannya harus dituruti, dan murid bukan Cut Pat Kay yang harus
diam saat dilully diceramahi”.
Namun,
dalam hal ini, saya merasa bahwa kami bukanlah Cut Pat Kay, kami seperti Sun Go
Kong yang kalau berani protes dan nakal dikit langsung dibacakan mantra “Awas
DO, Awas DO, Awas DO, Awas DO, Awas DO”, “Awas Pidana, Awas Pidana, Awas
Pidana, Awas Pidana...”
Pantas,
kepala terasa pening.
NB: MARI
TERUS PERJUANGKAN DIALOG TERBUKA ANTARA MAHASISWA, PEDAGANG BONBIN DENGAN
REKTORAT, DAN DPPA ! SBM SUDAH MENGIRIMKAN SURAT PERMOHONAN DIALOG TERBUKA,
NAMUN BELUM JUGA DIJAWAB. MOHON DOA DAN PARTISIPASINYA.
Salam,
Bagus
Panuntun dan Patwa Alhuda, mahasiswa yang mencoba peduli pada kampusnya.
0 komentar