LOWONGAN KERJA YANG TIDAK SPORTIF

Saya benci semua hal yang tidak sportif.

5 menit lalu saya baru menemukannya. Adalah tentang berita lowongan pekerjaan.

Saya mengamati kalau 90 persen lowongan pekerjaan yg saya temukan di internet atau koran, tidak mencantumkan berapa gaji yang akan didapat oleh pekerja jika ia diterima di tempat tsb.

Menurut saya ini tidak sportif.

Perusahaan hanya menuliskan apa yang mau mereka terima, namun tidak menulis apa yang hendak mereka beri. Ini sudah tidak sportif sejak awal. Padahal hakikat relasi kerja/relasi sosial adalah adanya simbiosis mutualisme antar pihak yang bersangkutan. Hal ini akan sulit tercapai kalau sejak awal perusahaan hanya siap menerima yang terbaik, namun tidak siap memberi yang terbaik - yang ditandai dengan mlipir menyembunyikan apa yang hendak mereka beri pada pekerja.

Mungkin ya mungkin, ini karena perusahaan sadar bahwa tanpa menuliskan apa yg akan didapat pekerja pun, mereka pasti bakal mendapat banyak pendaftar kok. Lah iya, nah lowongan pekerjaan kan langka? Ya manfaatkan situasi saja. Pasti banyak lah orang kepepet yg akhirnya ndaftar dengan paradigma yang penting dapet kerja dulu, soal susah di depan ya nanti dipikir lagi.

Dalam hal bisnis ala teori maslow, ini sah. Lha bisnis kan tujuannya mencari keuntungan sebanyak2nya, dgn pengorbanan serendah2nya. Tujuannya satu: akumulasi modal.

Tapi kalau semua bab kehidupan hanya dibicarakan dari paradigma bisnis, ya makin ajur dunyane.

Perihal urusan di dunia kalau nggak soal bisnis ya soal kemanusiaan. Soal gaji yg nggak dicantumin ini memang oke dalam hal bisnis, tapi dalam hal kemanusiaan? Ini jelas menyinggung perasaan kemanusiaan kita.

Nah, sayangnya hal ini juga terjadi di ugm. Saya selalu mencoba kritis terhadap apa yang terjadi di ugm, karena saya yakin bahwa kampus adalah lembaga penjaga/pembentuk nilai kebenaran. Apa yang dianggap benar di lingkungan kampus/lingkungan intelektual, besar kemungkinan akan dianggap benar pula di luar, begitupun sebaliknya apa yang dianggap keliru disini, kemungkinan besar juga akan dianggap keliru diluar. Mungkin ini erat hubungannya dengan fakta bahwa mereka yg memegang tampuk kekuasaan, yg punya kuasa membentuk narasi kebenaran di masyarakat, sebagian besar berasal dari dunia kampus.

Nah, ugm sebagai lembaga intelektual seharusnya mulai mengubah paradigma bahwa kerja adalah hubungan vertikal antara pemilik modal dengan pekerja. Gampanganne, yang punya perusahaan pokoke bebas menentukan syarat ini itu sejak awal. Ya ini harus diubah, hubungan kerja adalah hubungan horisontal yang sejajar, yg sportif sejak awal, yang mana antara pemilik dengan pekerja sama-sama tahu apa yang bisa mereka dapat dan mereka beri. UGM harus berani memulai ini, jangan malah niru logika perusahaan2 swasta yg fokusnya akumulasi modal dan menyerap nilai lebih para pekerja saja.

Eh sek, ini kampus apa perusahaan sich?

Share:

0 komentar