Scene Rapat Dosen dan UGM Hari Ini: Refleksi Sehabis Nonton Film Cintaku di Kampus Biru



Dewan dosen memutuskan nama baik fakultas kita utamakan, persoalan saudara kita tunda sampai riset selesai. Dengan catatan pengusutan akan dilanjutkan terus sampai persoalan menjadi jelas, sejelas-jelasnya ! – Dekan

Keputusan sudah diambil. Ah bukan, ditunda tepatnya. Nasib Anton, sang aktivis tukang protes masih digantungkan oleh pak Dekan. Apakah Anton akan di DO atas tindakannya menggerakan ratusan mahasiswa untuk mendemo Bu Dosen Yusnita? Atau Anton akan tetap diizinkan merampungkan kuliahnya? Karena kendati suka protes, ia tetap mahasiswa cerdas dan berprestasi di bidang akademik.

Pak Dekan bingung. Jika Anton dipertahankan, makin susah saja ini kampus dapat suasana kondusif. Tapi kalau Anton di DO? Sudah kehilangan satu mahasiswa cerdas, kampus juga bakal kelabakan mengurus proyek penelitian. Lha iya, wong Anton ini ketua proyeknya. Misal Anton di DO, bisa-bisa ambyar lah ini proyek. Nama UGM bisa-bisa jadi buruk di depan sponsor, bisa-bisa kehormatan kita di mata universitas lain juga menurun.

Nama baik UGM lah yang akhirnya diutamakan ! Perkara Anton ini si tukang provokasi atau si cerdas, tundalah untuk dipikirkan.

Bagaimana dengan dosen-dosen lain? Kendati masing-masing punya jalan pikirnya, akhirnya semua dosen ikut saja dengan keputusan Pak Dekan. Pak Gunawan misalnya, kendati sempat memuji Anton sebagai mahasiswa cerdas dan gentleman yang sepatutnya perlu dipertahankan, pada akhirnya toh ia sepakat bahwa masalah proyek kemahasiswaan lah yang harus diutamakan. Apalagi dosen-dosen yang lain. Alih-alih mencoba berpihak berdasarkan subjektivitasnya, malah hanya menjawab “Bu Yusnita benar, tapi Pak Gunawan juga benar......”.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Penggalan cerita di atas adalah salah satu scene yang bisa kita tonton di film Cintaku di Kampus Biru, sutradara Ami Priyono. Film yang setting utamanya di kampus Gadjah Mada ini diputar di tahun 1976. Artinya 40 tahun sudah berlalu sejak film itu rilis di bioskop.

40 tahun memang sudah berlalu. Akan tetapi, sepertinya apa yang tergambarkan dari film tersebut masih mudah kita temui dalam kehidupan kita di kampus UGM hari ini. Yang saya maksud adalah bagaimana pada akhirnya para pemangku kebijakan lebih mengutamakan nama UGM dibanding nasib-nasib mahasiswanya yang sering lebih urgent. Satu hal yang masih sulit dilupakan bagi saya, dan bahkan membuat saya paitan sengit dengan rektorat yang sekarang adalah ketika UGM mengeluarkan surat izin untuk Dek Sudarmono tampil di acara Hitam Putih Trans 7. Kenapa saya sengit sama Rektorat? Hla iya, nah gara-gara masuk Hitam Putih ini, Dek Sudarmono jadi bisa duduk sebelahan sama Dek Rachel Amanda, aktris cantik umur 20 tahun yang kini jadi anak UI itu. Ya jelas, saya cemburu ! Kenapa bukan saya???

Eh, tapi intinya bukan itu ding.

Jadi gini, ketika itu surat izin dari rektorat itu tersebar di media sosial whatsupp. Isinya kurang lebih rektorat mengizinkan Sudarmono tampil di acara Hitam Putih dengan alasan akan mengangkat citra UGM sebagai kampus kerakyatan. Ya, Sudarmono pun akhirnya tampil tanggal 27 Agustus 2015 di Hitam Putih dengan judul seperti ini “SUDARMONO, ANAK TUKANG BECAK MASUK UGM”.

Saya masih ingat, Dek Sudarmono masuk di sesi 3 Talk Shownya Deddy Corbuzier ini. Setelah dibacakan sedikit profil singkatnya, Dek Sudarmono tampil di layar kaca dengan diiringi backsound lagu “Saya mau tamasya berkeliling-keliling kota, hendak melihat-lihat keramaian yang ada. Becak-becak, coba bawa saya !”. Dek Sudarmono pun mulai menjawab satu persatu pertanyaan dari Om Deddy. Dek Sudarmono yang mahasiswa baru jurusan peternakan ini lalu menarasikan dirinya bahwa ia adalah mahasiswa miskin yang berhasil masuk UGM berkat beasiswa bidik misi. Ayahnya, Pak Wagiman, juga turut hadir dalam talk show ini dengan kemeja batiknya. Beliau dengan kesederhanaan dan keluguannya bercerita tentang perjuangannya menjadi tukang becak selama 42 tahun – ya sejak tahun 1973 sampai 2015. Tak lupa di tengah sesi, Om Deddy meminta Dek Sudarmono ini untuk menghampiri Pak Wagiman dan mengucapkan terima kasih atas perjuangan beliau. Iringan tangis penonton pun merebak. Chika Jessica yang saat itu hadir juga tak kuasa menahan rasa harunya. Sedang Pak Wagiman terus memperlihatkan senyumnya yang sederhana.

Selesai menonton acara ini saya ikut menangis. Ya, saya sungguh ikut menangis. Tapi saya menangis bukan karena terharu. Saya menangis marah lihat bagaimana para Rektor - Atas obsesinya mendapatkan citra kerakyatan - mengizinkan anak didik barunya dijadikan objek untuk menaikkan rating televisi kapitalis ni. Apalagi dengan à la à la acara tali kasih, yang memanfaatkan keeksotisan Kaum Kromo sebagai suguhan utama. Sebagai sesama penerima bidik misi, saya jelas tersinggung dengan kebijakan rektorat satu ini. Mereka melakukan pencitraan tentang kerakyatan, sedang disisi lain, Rektor enggan memikirkan bagaimana nasib mahasiswa bidik misi yang beasiswanya sering telat turun sampai dua bulan. Rektorat jelas acuh terhadap nasib ribuan mahasiswa bidik misi yang sering bingung mau hutang kemana lagi waktu beasiswanya telat turun.

Mahasiswa bidik misi lapar pak │ Ya bersabar saja...

Beasiswa bidik misi sering telat pak │ Ya ini sistemnya dari Dikti Pusat mas, kami ndak bisa berbuat apa-apa.

Uang saku bidik misi tidak cukup pak untuk biaya hidup di Jogja, mbok bantu lah menyampaikan ini ke negara │Yang penting disyukuri mas, jangan lupa irit.

Eh, kok aku tetiba dadi monolog kayak Ustadz Felix Kwetiauw ki..

Ya beginilah para pemangku kebijakan di UGM. Teryata mau di dalam film mau di dunia nyata, mereka memang lebih mengutamakan citra dibanding kenyataannya. Lalu bagaimana dengan dosen-dosen selain para pimpinan yang terhormat itu?

Saya rasa hari ini pun masih cukup banyak dosen-dosen seperti yang ada di film Cintaku di Kampus Biru itu. Dosen-dosen ini, alih-alih berpihak untuk kepentingan mahasiswa atau rakyat, mereka cenderung memilih jalan aman dengan menjawab “Ya itu kan keputusan pimpinan”, “Nah sistemnya gitu e mas” atau “Itu bukan ranah saya mas”.

Pengalaman saya saat menjabat (ciyee...) setahun sebagai Presiden LEM FIB UGM setidaknya memperkenalkan saya pada permasalahan ini. Hampir setiap awal semester, menteri Advokasi LEM si Andi Chaerul Umam, selalu sambat sama saya soal susahnya memperjuangkan masalah UKT. “Fakultas udah nggak mau tahu sama yang telat bayar mas, padahal beberapa ada yang bener-bener ndak ada dana”, curhatnya. Ketika saya mencoba menanyakan hal ini langsung ke Fakultas, pun jawabannya sepele “Nah sekarang sistemnya online, kalau udah telat ya udah cuti”. Yang lebih saya heran, kenapa setiap ada permasalahan susah bayar kuliah ini, dosen-dosen di jurusan tidak pernah hadir sebagai solusi. Memberikan pinjaman pada mahasiswanya misalnya, atau malah nggratisi 100%? Haha..

Iya sih, mungkin mahasiswanya sendiri yang kurang proaktif. Tetapi, bukankah sudah semestinya dosen juga menjadi orang tua yang paling khawatir kalau-kalau anaknya sampai menderita dan tidak bisa kuliah? Bagaimana bisa ketika ada mahasiswanya yang miskin dan kesusahan, si dosen justru diam saja?

Lalu yang paling hangat ini adalah soal relokasi Bonbin. Ketika kami pernah mencoba menanyakan isu relokasi pada dekan FIB sekaligus dosen Antropologi, Mas Pudjo, beliau dengan santainya menjawab bahwa soal Bonbin ini adalah urusan Universitas, bukan urusan FIB. Pun sama persis dengan pernyataan Mas Heru, wakil dekan bidang keuangan sekaligus dosen Sastra Indonesia ini. Alih-alih menyatakan sedikit pendapatnya tentang isu Bonbin, Mas Heru cuma menegaskan kalau fakultas sih ngikut saja dengan Universitas, wong ini bukan ranahnya fakultas kok.

Ya iya sih, ini memang bukan ranah anda-anda kalau soal kebijakan mas. Tapi mosok gitu sih? Berapa puluh tahun sih njenengan ini ngampus di FIB? Puluhan tahun to? Yang artinya sudah puluhan tahun pula njenengan hidup bareng dengan pedagang-pedagang kecil itu. Hampir tiap hari melihat mereka sudah standby di Bonbin pukul 7 pagi, jam dimana njenengan (eh maksudnya saya) lagi malez-maleznya di kelas. Puluhan tahun lho njenengan melihat kaum kromo ini jualan di lapak yang seadanya, kecil, sempit, sering diprotes nggak bersih pula. Dan kini ketika rakyat kecil yang setiap hari njenengan temui itu mau digusur, njenengan cuma bilang itu bukan ranah njenengan? Kalau soal kerakyatan ini bukan ranah njenengan, njuk ranah-ranah penjenengan ini apa??? Hak mendapat parkiran yang nyaman bagi dosen? Atau hak dosen untuk jadi entrepreneur di luar perkuliahan?

Saya sungguh takut kalau para resi yang ilmunya setinggi langit ini tak lagi menjadikan nilai “kerakyatan” sebagai pondasi berpikirnya. Dosen – apalagi dosen kampus kerakyatan – sudah sepatutnya meninggalkan mindset PNS ala zaman kolonial. Para ambtenaar zaman penjajahan Belanda yang maunya hidup nyaman, dapat kehormatan, dan kerjanya hanya menuruti perintah atasan. Bukan, dosen bukanlah pegawai rektorat macam ambtenaar yang mengabdi pada gubermen. Dosen sepatutnya menganggap bahwa ia adalah pelayan rakyat, bukan pelayan rektorat. Seperti kata seorang Sarjana Sejarah, Bung Ody Dwi Cahyo, dosen pastilah magister  (guru) yang pasti punya gelar bacalaureat (ksatria). Ketika kekuasaan menjadi lalim dan Kaum Kromo tertindas, para magister dan bacaulerat harus keluar kastil dan memimpin pasukan.

Begitulah seharusnya dunia perkuliahan ini berjalan. Para resi dengan ilmu-ilmu tingkat dewa harusnya juga mau keluar kastil bersama murid-muridnya, bicara soal kerakyatan dan menyatakan keberpihakan. Bukankah kondisi sosial ekonomi dan pendidikan saat ini memang mengharuskan kita bertindak dan berpihak? Pertanyaan yang selanjutnya menjadi, berpihak untuk siapa? Yang mapan atau yang tertindas?
Jikalau sekarang masih ada pemimpin-pemimpin gila citra dan proyek macam gubermen, atau dosen-dosen yang tak ada bedanya dengan para ambtenar itu, maka jangan berharap kita menemukan artikel-artikel resi kita di website-website islam bergerak, indoprogress, atau mojok (?), apalagi berharap bisa mengukir sejarah seperti Chili. Dimana di akhir 2015 ini ribuan mahasiswa dan dosen turun bersama ke jalan memprotes sistem pendidikan yang diskriminatif dan pro-neolib. Tidak, tidak. Mana bisa.

Melihat bagaimana para bapak ibu terhormat yang demikian saya narasikan di atas – dan tentu kembali mengingat filmnya, maka justru timbullah satu pertanyaan “Masih Adakah Cinta dari dan di Kampus Biru?”

Susah menjawabnya. Toh mereka juga beragam. Ada yang piciknya macam Dokter Ehm, tapi ada juga yang kepedulian sosialnya begitu mengagumkan macam Mas Sus dosen Arkeologi, atau Mas Al Fayyadl, dosen tamu Sastra Prancis. Pun jelas, bahwa tidak semuanya begini, dan tidak semuanya begitu. Namun jika mencintai – seperti kata Cak Nun – berarti meletakkan sesuatu pada hakikatnya, maka setulus hati (asline) saya mencintai njenengan. Saya hanya ingin supaya semua bapak Ibu terhormat juga berada pada hakikatnya. Hakikat menjadi guru yang kritis, bukan jadi pebisnis. Hakikat memperjuangkan nilai kerakyatan, bukan pencitraan. Hakikat menjadi pelayan rakyat, bukan pelayan proyek korporat.

Bagus Panuntun

Yogyakarta, 8 Januari 2016

Share:

0 komentar