bagus panuntun

berubah!

Sahur ini saya makan banyak ganas babi. Dibuat keranjingan akan nikmat tak terkira ikan saus à la Mama Haji. Menu ikan saus ini adalah sajian kuliner paling enak yang sudah saya cicip selama di Anggai. Padahal menunya sederhana. Hanya ikan laut goreng yang dimasak dalam bumbu tradisional campuran minyak kelapa, jeruk nipis, cabai merah, tomat, dan bawang brambang. Lalu dimasak mirip balado, Tapi sungguh, masakan à la Mama Haji ini ajaib. Itu lho kilau campuran minyak, sambal, dan lemonnya yang begitu klenyis. Lalu begitu ia sampai di lidah, gurih-gurih pedasnya... Subhanallah...

Memang tidak salah pagi ini saya makan banyak. Meskipun ini Minggu, tapi sebentar lagi kami punya aktivitas yang padat. Pertama, sehabis sahur saya mau bertamu ke rumah Papa Sukri. Kalau bukan karena Papa Sukri, bisa jadi saya absen nonton Euro selama di Obi. Berkat papa satu ini, yang kalau sudah cerita dan diskusi bisa betah berjam-jam, mulai dari obrolan soal bola, sejarah Anggai, sampai info gadis-gadis Obi, akhirnya pagi ini saya bisa menonton partai Jerman-Itali. Sayangnya yang terjadi, partai ini jadi salah satu pertandingan paling membosankan yang pernah saya tonton. Jerman yang saya kira masih mempesona dengan permainan menyerangnya, pagi ini seperti tim yang baru latihan seminggu. Kalau bukan karena Boateng yang tampil ajaib bak Ishizaki, -berkali-berkali menyelamatkan bola yang sudah tiga senti di depan gawang - saya kira mereka lebih layak dipecundangi barisan juvenil Itali. Saya akan menyesal telah begadang, kalau saja tak ada fenomena menarik ini:

Alkisah, listrik di Obi hanya menyala selama 12 jam. Ia hidup mulai  6 malam lalu mati pukul 6 pagi. Nah, sayangnya pertandingan Jerman-Italia ini berakhir imbang dan musti diselesaikan dengan adu tos-tosan alias pinalti. Sedang waktu ternyata sudah menginjak setengah 6 lebih. Apa mau dikata, dari 10 penendang pertama, masing-masing tim hanya bisa memasukkan dua gol ke gawang lawan - dan kita mengingat pinalti paling konyol dari Zaza ! Maka, bisa kalian bayangkan, kami menyaksikan sisa babak adu tos-tosan dengan pikiran yang menegangkan "Cukimai ! Cepat selesai sebelum mati lampu !". Betapa tersiksanya pikiran ini kalau lampu sudah mati dalam keadaan belum tahu mana tim yang menang !

Ini sudah lebih dari pukul 6 !

Ah, syukurlah... Lampu baru mati setelah Matteo Darmian gagal menceploskan bola pada tendangan yang ke-sembilan. "Bet !", lampu langsung mati kurang dari 3 detik kemudian. Jerman pun menang.

Haa, dan saya pun tahu pegawai PLN juga nonton bola.

Lepas nonton bola, kegiatan kedua pun dimulai. Pagi ini jam 7, kami Baraobira Sub-Unit Anggai, akan bertandang ke Sambiki. Ikut lihat Sekolah Alam yang jadi programnya anak Biologi. Itu si Azri, pakar biologi muda yang serba tahu perihal hewan, tumbuhan, ganggang-ganggangan. Apa saja lah. Biarpun saya sering tidak yakin benar salahnya. Haha..

Waktu sudah di atas jam 7 ketika saya berangkat ke Sambiki. Pagi ini kami pinjam dua motor. Motor Papa Sudin, dan motornya Rimin, pemuda Anggai yang khas dengan bobotnya yang di atas satu kwintal itu. Dengan dua motor tersebut, kami harus nglangsir, bolak-balik jemput mereka yang belum dapat tebengan. Jarak Anggai sampai ke Tanjung Sambiki – lokasi Sekolah Alam – memang cukup jauh. 4 kilometer. Lumayan mempercepat dahaga andai harus jalan.

Siapa yang tidak semangat untuk pergi ke Tanjung Sambiki. Selain untuk berkumpul lagi dengan teman beda sub-unit, tentu saja karena pemandangannya. Saya pikir, ini adalah spot paling surgawi sepanjang pemandangan yang sudah saya temui di Obi. Di sana, di sebuah tanjung dengan dek kayu yang menjorok ke laut yang tenang. Hamparan pasir putih dan puluh pohon kelapa di sebelah barat dek menjadikan bibir lautnya begitu menawan. Belum lagi, air lautnya yang bening biru tosca. Tenang dengan ombak yang pelan-pelan genit, genit-genit pelan. Namun diantara semuanya, tentu saja yang paling ajaib adalah Pulau kecil berpasir putih yang hanya jarak 200 meter di seberang utara. Pulau Sambiki ! Pulau kecil dikelilingi pasir putih dengan rimbun pepohonan di tengah-tengahnya. Wah, kecil, putih, imut, lucu. Persis seperti Nana !


Pulau Sambiki, 200 meter saja di utara Dek Kayu
Kalau kau lihat bawah air dari atas dek kayu, ribuan ikan lodi sedang berenang dengan formasinya yang rapat tapi acak, seperti formasi awan yang indah tapi susah ditebak. Ikan yang ribuan ini berenang bersamaan, tak khawatir dengan bocah-bocah yang melongok dari atasnya. Padahal bocah-bocah ini membawa kail. Mereka melemparkan kail itu tanpa umpan. Iya, kail kosongan. Lepas kail sampai di laut si bocah menarik kembali kail itu dengan cepat. Dan tersangkutlah satu-dua dari ribuan ikan itu. Ada yang kena kail di perut, sesekali juga ada yang kena di mulut. Ironi ya. Semoga tidak begitu cara Tuhan menentukan takdir. Dilempar asal, siapa kena ya sudah, dia memang sial !

Saat saya sampai di Tanjung Sambiki, anak-anak lain sudah bersenang-senang di air laut. Bareng-bareng mereka berenang. Sambil bawa Go Pro untuk selfie-selfie. Ih, saya baru ingat. 2 minggu singgah di Obi, saya belum sekalipun bercebur di laut. Di sungai sudah, tapi di laut belum. Syukurlah, tak sia-sia saya membawa kacamata renang dan fin yang saya pinjam dari Safrin. Akhirnya kanggo juga. Terima kasih, Safrin !





Pagi ini sekolah alam sudah dimulai. Teknisnya begini: Azri akan mencari biota-biota laut dari pantai Sambiki, ia ambil bawa ke darat, lalu ia perkenalkan nama-nama ilmiahnya ke anak-anak kecil. Ada cukup banyak bocah-bocah yang ikut sekolah saat itu. Saya pikir lebih dari 20-an. Bocah-bocah yang renangnya bajingan ini nampak amat antusias mendengar penjelasan dari Azri.


Materi Sekolah Alam
Ini hasil mancing tanpa umpan. Modal kail saja sudah
 “Yang ini namanya Linkia sp”, terang Azri sambil menunjuk sebuah bintang laut merah yang jumlah kakinya enam. Ujar Azri, salah satu kakinya pernah terpotong saat kecil, jadi satu kakinya terbelah jadi dua. Dan jadilah bintang laut berkaki enam.

“Kalau yang mirip jamur ini, namanya fungia sp, Nah kalau ini coral ini namanya Tubipora”, sekali-kali Azri juga menjelaskan fungsi dari biota-biota tersebut. “Kalau terumbu karang fungsinya untuk rumah ikan adik-adik, jadi nggak boleh kalau dibuat hancur”, terangnya dengan ekspresi yang gagah. Kalau sudah bicara perihal bab-bab biologi – biarpun sering kelihatan sok tahu – Azri memang bajingan !

Ah iya, saya belum cerita. Bicara soal bajingan, orang Sambiki biasa menggunakan kata bajingan untuk menyebut sesuatu yang luar biasa. Jadi, ‘bajingan’ di Sambiki punya makna yang setara dengan “Amazing !”, “Incredible !”, “Muy bien !”, “Magnifico !”. Jadi, jangan heran kalau kau bertemu anak SD, dan mereka berkata “Kakak pe otak memang bajingan e !”.

Ah iya. Melihat sekolah alam ini, sekali-kali saya dan Danan lebih memilih menggoda Azri. Menggeluti profesi baru kami: Demotivator !

“Halah, Linkia sp, ngomong wae bintang laot !”,

“Opo opo zri? Tubipora? Tubir...tubir...tubirpora yo?”,

“Fungia sp, aku taunya fungiderm. Dah jamur”,

Beruntung Azri tak sempat bersungut-sungut pada kami.

Sejenak kemudian, saya tak sabar untuk segera menceburkan diri ke laut. Saya segera melepas pakaian untuk pada akhirnya hanya memakai kolor dan kacamata renang. Saya sempat meminjam sepatu katak pada Azri. Ini pertama kalinya seumur hidup saya pakai sepatu katak. Waktu saya hendak menceburkan diri, saya langsung ketakutan karena ternyata ia sangat berat. Wah, kalau nekat saya pakai, barangkali saya akan nampak konyol dalam satu detik ceburan.

Yay, akhirnya saya berenang di laut !

Ada sesuatu yang ajaib saat pertama mendengar bunyi riak air yang terbelah tubuh kita sendiri. Semacam perasaan bahagia yang pokoknya sangat bahagia. Ledakan perasaan yang susah ditahan-tahan. Heboh, ramai, gempar. Suasana hati yang tak memberi sedikit ruang pun pada rasa melankolis. Tempat yang memberi kebahagiaan tak ternilai. Pagi itu, di desa tetangga yang terlampau menawan. Sambiki bajingan !

3 Juni 2016


Jito, Ishizaki, Najib Kashmir, Tsubasa


KKN adalah tentang siapnya kita menjawab pertanyaan yang diulang-ulang. Kami mungkin sudah lebih dari seminggu di Anggai, namun bukan berarti kami tidak lagi bersua dengan orang-orang baru. Mereka yang jarang muncul ke permukaan, enggan mementaskan namanya ke depan panggung bicara. Para tua yang lebih memilih duduk merenung sambil menyeduh kopi di bawah pohon mangga, sengaja menjauhi hingar bingar politik desa. Atau mereka yang masih muda, namun punya lingkaran sendiri yang jauh dari arus pergaulan utama.

Malam ini sudah hampir pukul 12. Saya dan Danan kedapatan jadwal rutin mengantar pulang Nila-Rosa. Hampir setiap malam, kami memang harus mengantar mereka. Sedang Baba, Gilang, atau Haviz punya jatah mengantar Gita-Destya yang rumahnya harus masuk kompleks Rawa Jaya, komplek yang jauh dari jalan, dekat dengan perkebunan.

Sebelum berkeluh pada mimpi, kami para pria harus memastikan bahwa semua anggota wanita telah sampai dengan selamat di rumahnya masing-masing. Apalagi, tim Baraobira seringkali berkegiatan sampai pukul 23 bahkan menjelang dini hari. Bulan puasa mengharuskan kami untuk baru bisa memulai kegiatan malam selepas tarawih jam 9. Ya, meskipun sebenarnya di hari ini kami tak punya kegiatan apa-apa, kecuali menggunjing di rumah Papa Haji.

Nila-Rosa sampai juga di depan gerbang rumah Papa Sudin. Lepas berpamitan, saya dan Danan pun balik melangkah pulang. Di tengah jalan, kami berpapas dengan 4 anak muda yang sedang gitaran dan mengisap rokok di depan warung makan Lek Ti yang sudah tutup itu.

“Permisi, abang...”, sapa saya.

“Saya abang. Abang, rokok dulu abang?”, tawar mereka. Salah seorang anak muda yang paling kecil, kurus, berkaos hitam nyetrit ukuran S, mengeluarkan sebungkus Marlboro Gold dari saku kiri jeansnya. Ditawarkan sebatang rokok pada saya.

“Terima kasih, abang. Gitarnya saja ya”, jawab saya. Setiap ada gitar, saya tak akan ragu untuk duduk sejenak memainkan satu dua lagu sembari bercakap dengan mereka. Rokok atau gitar adalah jembatan persahabatan yang paling ampuh di Anggai. 

Kami mulai berkenalan. Pemuda kurus yang menawarkan Marlboro Gold ini bernama Pangki. Suaranya cempreng, gayanya slengekan cengengas cengenges khas anak gaul baru masuk SMA. Lengan kanan kirinya terus berayun bergoyang, barangkali otaknya tak bisa mempause musik dessert yang berputar di kepalanya.

“Asli mana abang?”, tanya dia. Ini contoh pertanyaan yang akan terus diulang di setiap perjumpaan.

“Jogja, Pangki ! Kalau kuliah di UGM”, jawab saya.

“Jauh sekali e, bisa sampai sini. Acara apa kah?”,

“KKN, Kuliah Kerja Nyata. Pengabdian masyarakat, Pangki !”.

Sejenak kemudian, pemuda bertopi yang ada di sebelah kiri Pangki ikut bersuara. Aih, saya pikir dia tidak lagi muda. Barangkali usianya sudah kepala tiga atau bahkan mendekati empat. Wajahnya yang penuh bekas jerawat terlihat juga setelah tersorot lampu depan warung Lek Ti. Abang ini pe nama Shahid.

“Hei Bagus, anak UGM punya kegiatan apa saja disini?”, ini pertanyaan yang juga harus sering kita jawab. Jangan bosan. Terangkan dengan tenang dan senang.

“Yang sudah jalan ada 2 abang. Kelas membaca dan kelas bahasa Inggris. Dan sekarang sedang persiapan buat pesta hari lebaran”, tukas saya sembari memetik gitar pada kunci G, kunci dasar sejuta umat.

“Wah, ada kelas bahasa Inggris e. Siapa yang mengajar?”,

“Saya dan kawan-kawan, abang”,

“Wow, That’s great, Bagus. You must speak english very well”, ujarnya. Wih, dan saya langsung terkejut begitu mendengarnya. Ia berbahasa Inggris bukan dengan logat timur, apalagi logat Jawa. Entah logat mana, yang jelas bahasa Inggrisnya terdengar baik dan lancar.

“Hehe, no mister.. You speak english better than me, actually”, balas saya berlogat Jawa gugup karena masih tak menyangka. 

Kemudian saya bertanya lagi, menuntaskan rasa penasaran yang makin membuncah. “But, mister. Where did you learn english?”,

“Long time ago, I worked in Singapore for six months and in Melbourne for one year. That’s why I can speak english, I learnt english from the street, so It’s not good”, ujarnya dengan suara serak yang tenang, sembari tersenyum juga.

Kemudian ia menyambung lagi, “Aku yo iso ngomong Jawa sethitik !”.

Saya dan Danan langsung tergelak, lepas tertawa sambil saling melihat. Dua kali kami dibuat kaget oleh Abang Shahid. Keduanya disebabkan bahasa.

Ia lalu bercerita pengalamannya bekerja di Solo. Masa mudanya ujarnya dihabiskan menjadi buruh, karyawan, atau sopir disana-sini. Ia tak segan melanglang buana dari Jawa sampai Australia demi mengumpulkan pundi rupiah untuk keluarga.

Kejutan demi kejutan memang akan selalu hadir setiap kali ada pertemuan baru. Berbicara dengan mereka bahkan sering jadi bagian terbaik dari sebuah perjalanan. Ya, meskipun akan selalu ada pertanyaan yang diulang-ulang,

“Siapa pe nama?”,

“Asli mana kah?”,

“Disini tinggal deng siapa?”,

“Bikin kegiatan apa saja?”,

Namun percayalah akan selalu ada obrolan yang mengejutkan. Mengenai petualang-petualangan yang pernah mereka jalani, gosip politik yang terjadi di sekitar sini, mitologi-mitologi nan surealis, atau sesekali rekomendasi siapa gadis yang sebaiknya kita kenal. Selama KKN, jangan pernah ragu, apalagi takut, untuk bersapa...

-------------------------------------------------------------------

Setelah cerita conversation dengan Abang Shahid tadi, entah kenapa saya jadi ingin bercerita tentang kelas bahasa Inggris. Kelas yang sedianya dikhususkan untuk anak usia SMP dan SMA ini ternyata tak berjalan sesuai rencana.

Semua dimulai dari kelas bahasa Inggris pertama yang kami laksanakan sehari setelah kelas membaca perdana. Tanpa disangka, kelas sore itu justru diserbu puluhan anak SD. Mereka minta untuk belajar lagi.

"Kaka... ajari kami bahasa Inggris, kaka.....".

Memang ada anak SMP-SMA yang datang, namun jumlahnya kurang dari 10 orang.

Oh ya, dari hasil survey yang kami dapat, kabarnya kemampuan bahasa Inggris sebagian besar anak-anak Anggai hampir nol. Penyebabnya begini: Di SD tidak ada guru bahasa Inggris. Di SMP, ada guru bahasa Inggris, tapi itu dulu sebelum dia sakit dan akhirnya tidak mengajar lagi sampai sekarang. Di SMA, lebih menyedihkan. Satu-satunya guru bahasa Inggris meninggal dunia saat belum selesai mengajarkan simple present tense. Otomatis, anak-anak ini tak punya ruang untuk mengaktualisasikan minat belajar bahasa asingnya.

Sebelum kelas dimulai, kami pun berdiskusi dulu mencari solusi permasalahan ini. Daripada mengusir anak-anak yang sudah datang, kami memutuskan untuk membuka kelas pertama untuk semua kalangan: dari SD sampai SMA. Minat mereka belajar harus kami wujudkan.

Sedang untuk kelas-kelas selanjutnya, sepertinya musti ada pemisahan. Saya pikir, akan tidak efektif seandainya satu materi disampaikan secara bersamaan di depan mereka yang tingkat usia dan nalarnya berbeda. Tentu akan membosankan terutama untuk mereka yang SMA. Disaat mereka sudah paham akan satu materi, mungkin yang SD masih proses mencerna satu kata.

Kalau bukan karena Umar, Destya dan Devina, mungkin saya akan stress sebagai penanggung jawab program pendidikan. Berkat mereka, akhirnya kelas bahasa Inggris dibagi jadi dua: Kelas untuk SD-SMP, dan kelas untuk SMA. Umar dan Destya jadi PJ untuk kelas SD-SMP. Kelas ini akan dilakanakan hari Selasa dan Kamis di waktu sore. Sedang saya dan Devina akan mengajar anak-anak SMA. Kelas anak SMA akan lebih intens. Hari Senin sampai Rabu, selepas sholat Isya.

Karena anak-anak hari itu sudah berkumpul, kelas pertama bahasa Inggris pun dimulai. Saya, Umar, Devina, dan Destya telah mempersiapkan segala materi untuk kelas ini. Materi untuk hari pertama sudah jelas: introduction alias perkenalan. Materi ini akan disampaikan dengan memperkenalkan banyak kosa kata dan percakapan.

Destya jadi yang pertama maju ke depan. Destya yang sore itu pakai kaos abu-abu, dengan rambut lurus panjangnya yang dikuncir kuda, berhasil membuat anak-anak Anggai terpesona sejak salam pertama darinya,

“Hello everyone, good afternoon...”,

“Good afternoon, miss....”, jawab anak-anak yang SMA, sedang yang SD-SMP malah ketawa cengar-cengir setiap melihat Destya berkata.

Destya kemudian mengajarkan cara memperkenalkan diri. Mulai dari mengucapkan salam, memperkenalkan nama, memberitahukan tempat tinggal, dan menyebut hobi kesukaannya. Tiap anak harus maju satu per satu, berdiri di depan kelas sambil praktik langsung di depan kawan-kawan mereka.

“Helo, god afternon....”, sapa seorang bocah perempuan berambut ikal panjang, berkaos hitam My Trip My Adventure, yang kala itu dapat giliran.

Selesai bicara god afternon, dia tak tahan menahan tawanya sendiri. Ia kaget mak jegagik mendengar kata bahasa Inggris pertama yang keluar dari mulutnya. Ia tak kuasa terpingkal, namun coba ia tahan sambil merunduk memegang perutnya.

“Hahahaa...”, anak-anak langsung tertawa melihat tingkah bocah itu di depan kelas. Saya yang berada di sebelah kanannya mencoba menenangkan dan memotivasinya supaya menyelesaikan perkenalannya.

“Ayo...lanjutkan... Gud afternun, bukan god afternon”, instruksi saya.

“Gud afternun... Mai..mai..”, dan dia sudah menahan kekehnya lagi.

“Mai...nem...is....”, tuntun saya dari sampingnya. Anak-anak di depan cengar-cengir geli.

“Mai..mai..mai nem is...........”,

"Iya..iya, hooh. Mai nem is siapa?? Ayo?",

" Mai..mai..mai...my name is Pinky !",

“Yeeeeey”, dan semua sudah memberikan tepuk tangannya sebelum Pinky selesai mengatakan alamat dan hobinya.

Kelas pertama bahasa Inggris berjalan menyenangkan. Saya, Umar, Devina, dan Destya bisa saling membantu dalam menyampaikan materi. Umar, sore itu mampu membuat anak-anak terbawa suasana oleh cara mengajarnya yang lembut. Devina secara mengejutkan mampu mengajarkan pronoun secara sempurna. Sedang Destya, sangat sabar dan tlaten dalam memperkenalkan macam kosa kata. Sisanya, saya jadi tim hore saja.

Ada sebuah kejadian yang membekas kesan buat saya. Kala itu, seperti biasanya, kami selalu mengadakan foto bersama setelah kelas usai. Pada satu sesi, seorang bocah laki-laki mengacungkan jari tengahnya menghadap kamera.

“Sopooo iki sing ngajari”, batin saya.

Namun sebelum saya sempat menasihatinya, seorang kawannya tiba-tiba menampol tangan si bocah, sambil berkata,

“Hey, dilarang Fvck You ! Pamali kalau di Inggris !”.

2 Juni 2016

Kelas Bahasa Inggris Pertama. Banyak yang Tara ikut bafoto, chii..

Caption awalnya: Khusus anak SMP-SMA, selepas kelas pertama, akhirnya diganti Terbuka untuk umum. Poster ini saya yang bikin lho. Piye-piye? Lah, memang ndilalahnya di subunit Anggai nggak ada yg bisa design. Akhirnya saya mandiri, bikin poster sendiri. Gak elek-elek banget to?



Sampai juga di catatan hari-13.

13 ! Angka yang dikenal umat sejagad sebagai sinonim kata sial. Kita mempertimbangkan untuk tidak membuat pesta makan malam di tanggal 13. Beribu bangunan sengaja melewatkan lantai 13, sehingga akan ada angka 14 setelah 12. Kebanyakan orang menghindari membeli rumah di jalan nomor 13. Apakah ada rumus ilmiah yang bisa membuat angka ini logis disebut angka sial? Tidak juga. Namun apa mau dikata, catatan hari-13 ini ternyata juga akan berbicara tentang kesialan yang terjadi hari ini. Sial !

Di Jum'at yang terik ini, sedianya Tim Baraobira akan mengadakan dua sosialisasi. Sosialisasi yang  pertama adalah sosialisasi bahaya malaria dan penyakit menular seksual. Sedangkan sosialisasi yang kedua adalah sosialisasi tentang pupuk kompos.

Sialnya, tak ada satu warga pun yang datang. Kosong !

Untuk itu, dalam catatan ini, saya mewawancarai 2 orang anggota tim Baraobira. Gita dan Tabah. Gita adalah penanggung jawab program sosialisasi bahaya malaria dan penyakit menular seksual. Sedang Tabah adalah penanggung jawab sosialisasi yang satunya. Saya kira wawancara ini cukup layak untuk dibaca – terutama bagi kalian yang belum pernah KKN. Setidaknya, akan ada beberapa pelajaran yang bisa kalian ambil dari kesialan kami.

Bagus:   Halo Gita, Halo Tabah..

Gita dan Tabah: Hai.

Bagus: Settt dah.. Gimane nih neng, sosialisasi kagak ade nyang nyamperin?

Gita: Maaf kaka, tong sedang di Timur. Tong pakai bahasa Timur saja, jangan pakai bahase betawi dah !

Bagus: Ah, saya kaka ! Saya ulang pertanyaannya e ! Chiiiii... Bagaimana ini sosialisasi tarada yang datang? Kosong.....

Gita: Iyoo.. Tara tau kaka, mungking karena tong pe warga sedang sibuk semua. Padahal su tong umumkan lewat dua masjid...

Tabah: Mbuh iki mas, kurang publikasi kayaknya.

Bagus: Chii.. kak Tabah ini, pakai bahasa medhok terus e... Lanjut sudah ke pertanyaan dua. Begini kaka, kenapa tong adakan acara sosialisasi ini di bulan puasa? Kenapa tara selesai lebaran saja?

Gita: Kan tong.... Kantong bolong...hihihi...

Bagus: Wis git... receh dah !!!

Gita: Hihihi... Kan tong su tanya sama warga. Dong (mereka) bilang waktu malam perkenalan itu, kalau program non fisik sebaiknya diselesaikan sebelum lebaran.

Tabah: Hooh yoo... Tur kan, katanya kalau pas bulan puasa warga Anggai juga belom sibuk kerja. Kegiatan di tromol/tambang juga libur. Nah katanya kalau habis lebaran, warganya habis. Pada ke kebung sama tambang semua. Piye to??

Bagus: Iii.. Pusing e.. Siapa yang salah ini? Tong anak KKN atau warga Anggai?

Gita: Bagaimana e... tong juga asal bikin program saja tapi kurang publikasi. Jadi tara banyak warga yang tau mungking..

Tabah: Yo kalau kesalahan utama ya jelasss.. ada pada kita no.. Kita kan masih kurang publikasi dan kurang tau cara paling ampuh buat undang warga.

Bagus: Memangnya, kaka-kaka ini mau sosialisasi tentang apa saja kah?

Gita: Kalau kita (saya) mau sosialisasi tentang bahaya Penyakit Menular Seksssss....sual, sama satu lagi, bahaya penyakit malaria...

Tabah: Kalau aku sih tentang pembuatan pupuk kompos, mas...

Bagus: Penting kah buat warga?

Gita: Kan ini juga warga yang dulu minta waktu tong presentasi di malam perkenalan. Dong bilang disini su ada satu orang yang positiv HIV, dan kalau tong tara kasih solusi kan bisa bahaya. Nanti banyak yang nyusul. Lalu, disini juga banyak kasus “Ku hamil duluan, sudah 3 bulan... Gara-gara pacaran sering dua-duaan”, aseek. Hihihi... Kalau yang malaria itu, karena disini kan malaria itu penyakit endemik.

Tabah: Kalau aku kan sosialisasi tentang pembuatan pupuk kompos. Yo jelas penting. Pertama, warga sini masih buang sampah di lao (laut)... Kalau warga bilang sih gini, sampah dibuang di laut kan biar kebawa arus. Kata siapa? Wong nanti sampah juga bisa balik lagi ke dara (darat) kok... Kan eman-eman lautnya rusak.. Nah jadi mau disosialisasikan: Bagaimana caranya mengelola sampah. Sampah organik kan bisa dibikin pupuk, wong disini juga belum ada budaya menanam pakai pupuk. Nah kalau yang anorganik, ya bisa dibikin kerajinan. Tapi kan tahun ini kita belum nyiapin materi ini. Ya udah, sampah anorganik lebih baik dibakar saja. Ada sih efek lingkungannya, tapi tidak separah kalau di buang di laut. Oh ya satu lagi, ini juga jadi pengantar sebelum nanti habis lebaran kita mau bikin tempat sampah masyarakat.

Bagus: Tempat sampah opo??

Tabah: Tempat Sampah Milik Masyarakat.....

Bagus: Chii... cerita klasik e.. Anak KKN bikin sosialisasi, tarada warga yang datang. Lalu, bagaimana ini solusinya kaka? Sosialisasi ini mau ditunda atau tong batalkan sudah?

Gita: Tong tunda, jangan tong batalkan ! Nah, nanti tong bisa ngakali. "Ngakalii...." Ya, maksudnya nanti tetap tong adakan selesai lebaran, tapi sosialisasinya tong adakan bersama  kegiatan Posyandu. Kalau posyandu kan banyak warga yang datang jadi nanti banyak yang ikut sosialisasi juga. Itu juga saran dari Bu Bidang Lia dan Bu Bidang Irma.

Tabah: Iya.. Tadi sih sudah bahas solusinya. Pertama, diadakan bareng posyandu. Kedua, nanti kita bikin surat buat disebar di masing-masing rumah. Biasanya kan kalau sudah ada surat, warga merasa lebih dihormati. Tur kan ini bisa jadi ajang pendekatan kita juga ke warga to. Solusi ketiga, lek perlu mubang-mubeng kampung nggowo TOA...

Bagus: Luar biasa kaka... Jadi tetap optimis sukses e??

Gita: Jelas dong...

Tabah: Yo kudu...

Ini foto Balai Desa Anggai, tempat yang sedianya hendak kami pakai untuk sosialisai.

Gita. Calon Bidan yang siap mengabdi di Somalia. Hobi Ngreceh tapi Pagopan.
Tabah. Mahasiswi Pertanian. Idola Masyarakat Anggai. Kabarnya siap jadi Mama Timur: Nganggo Masker Adem Tradisional sinambi Budidaya Bonsai Cengkih.

--------------------------------------------------------------------

Seusai wawancara singkat dengan Gita dan Tabah, saya segera berangkat Jumatan. Sorenya Tim Baraobira mengadakan program satu lagi, yaitu Taman Pengajian Al-Qur’an. Muncul sedikit kekhawatiran, jangan-jangan tak ada lagi yang datang? Apakah mitologi angka 13 masih mengintai?

Beruntunglah..mitologi tetap mitologi. Acara TPA jadi semacam hiburan, karena pada akhirnya banyak anak-anak Anggai menampakkan batang hidungnya.

Mengaji Sore telah memelantingkan ingatan saya pada masa 15 tahun lalu. Saat tubuh yang masih kecil selalu pergi ke Mushola tiap sore. Berlari cepat saat toa masjid sudah mengumumkan pengajian siap dimulai. Tiba-tiba saya mengenang Mas Syakirun, guru ngaji yang jadi idola semua bocah kampung saya. Ia yang tak pernah memegang githik (bilah bambu tipis untuk menyabet murid mbeling) saat mengajar, ia yang sabar menerangkan bedanya idgham bighunnah dan idgham billaghunah, dan ia yang tak pernah kehabisan lagu ngaji untuk ditembangkan. Salah satu lagu yang masih teringat ngelothok di kepala adalah lagu 5 rukun Islam, yang ia gubah dari lagu balonku ada lima, yang kemudian ia ubah liriknya. Lagu ini pun hari ini kembali saya nyanyikan, saya ajarkan kepada anak-anak di Anggai:

Rukun Islam yang lima,
Shahadat, sholat, puasa,
Zakat untuk si Papa,
Haji bagi yang kuasa..

Siapa tidak sholat (Hey !!)
Celaka di akhirat,
Siapa tak bayar zakat,
oleh Allah dilaknat.

Banyak dari mereka yang menyukai cara ini. Mengaji sambil menyanyi. Menyanyi sambil mengaji. Sebelum mereka bertanya, saya mencoba untuk menjelaskan apa yang sekiranya belum mereka paham,

"Adik-adik, perhatikan di lirik: Zakat untuk si papa... Si papa itu artinya orang yang miskin, orang yang hidupnya susah. Bukan papa, suaminya mama ya???".

"Adik-adik tau artinya dilaknat, tarada? Dilaknat itu artinya dihukum. Jadi dilaknat Allah itu artinya dihukum Allah, e?"

Saya cukup kaget saat sedang mengajar Al-Qur'an. Ternyata banyak dari anak-anak ini yang sudah mampu membaca Al-Qur'an dengan nada murotal, lengkap dengan cengkok-cengkoknya. Padahal sebagian besar dari mereka masih SD.

"Ih, ini lebih hebat daripada anak-anak di kampung saya", ujar saya pada teman-teman yang juga ikut mengaji.

Kalau menurut Haviz dan Umar, dua anggota Baraobira yang paling fasih dalam membaca ayat-ayat Al-Qur'an, kebanyakan anak Anggai memang sudah lancar dan indah dalam membaca Al-Qur'an, hanya saja mereka masih lemah dalam tajwidnya.

Seketika itu Baba, salah satu anggota Baraobira, ikut nyeletuk,

"Santai lah... Wong aku wae Iqra' (jilid) 3 durung lancar".

1 Juli 2016


Sosok Syaikh Umar, Mengajar Ngaji dengan Aplikasi Modern

Alhamdulillah, Jama'ah Al-Anggaiyah Ramai






Ada seteru yang tidak akan hilang. Setidaknya itu yang kita pelajari dari dunia sepakbola. Kita mengenal seteru Madrid-Barcelona, Rangers-Celtic, dan tentu saja Boca Junior-Riverplate. Satu sama lain saling mengutuk, juga memohon: "Beri penderitaan pada seteruku, Tuhan !". Kebencian itu bahkan seolah jadi bagian dari identitas mereka. Identitas yang melekat, identitas yang diakui. Ini yang membuat seorang pemain karismatik macam Juan Roman Riquelme pun tak malu berkata di depan media "Aku tidak akan pernah bangun tidur dan melihat diriku mengenakan baju warna merah dan putih", ujarnya menyinggung River Plate dan warna kebanggaannya.

Di negeri ini misalnya. Yang nasib sepakbolanya sama menyedihkan dengan nasib nenek pencuri sandal. Perseteruan abadi juga tumbuh dimana-mana. Apalagi dalam jagat dunia supporter. The Jack versus Bobotoh, Bonek versus Aremania, Supersonik versus Kapak Rimba. Mereka sama bangganya ketika mengatakan "aku benci mereka". Sedang saat kita coba mengusik gesekan itu, barangkali mereka akan berkata "Bukan urusan kalian !"

Perseteruan yang hebat dan keras ini ternyata tumbuh subur juga di tanah Obi. Sayangnya, perihal perseteruan dan fanatisme - yang bahkan menjurus pada chauvinisme ini – tak hanya kita temukan dalam jagat sepakbola saja. Dua desa tempat Tim Baraobira mengabdi: Anggai dan Sambiki, adalah seteru abadi yang selalu menunjukkan egoisme kejayaannya masing-masing. Di segala bidang. Di segala sisi.

Saya mendengar terlalu banyak cerita tentang konflik ini. Salah satunya dari Idhar Halqi, pemuda Anggai yang sedang belajar ilmu politik di Ternate. Saya bertemu Idhar Halqi di suatu malam saat saya tak berangkat sholat tarawih. Kami makan bakso bersama di Warung Bakso milik Lek Ti, perempuan usia 40-an asal Solo, yang kini jadi satu-satunya penjual bakso sapi di Airmangga-Anggai-Sambiki. Idhar Halki punya 'passion' terhadap segala jenis bir dan alkohol. Ini terlihat sejak awal pertemuan kami. Ia langsung menyinggung tentang bir lokal yang menurutnya harus kami minum di hari pertama lebaran.

“Besok kita minum bareng cap tikus e !”, katanya tepat setelah ia memperkenalkan namanya.

Saya memercayainya sebagai pemabuk berat sejak pertama bertemu. Saya melihat matanya yang cekung dan merah, bibirnya yang hitam kering, dan tubuhnya yang tinggi sekali tapi kurus kerontang. Dan ternyata benar pula, 2 tahun lalu ia mengalami overdosis wedang oplosan saat masih kuliah di Tangerang. Akibatnya, ia harus dipulangkan lagi ke Obi setelah dirawat 1 minggu di rumah sakit terbesar kedua disana.

Idhar Halqi punya kemampuan bercerita yang baik. Ia bicara terus menerus sambil sesekali menyeruput teh dan menghabiskan bakso di mangkoknya. Ia bicara tentang satu topik konflik Anggai-Sambiki. Dari satu peristiwa satu ke peristiwa lainnya. Ia memulai ceritanya dengan cerita tentang tawuran di malam lebaran, satu tahun lalu. Ujarnya, seorang anak Sambiki dihajar dan dicongkel matanya. Ia buta, tapi masih beruntung selamat setelah operasi di Surabaya.

“Sekarang matanya diganti dengan mata kucing”, ujar Idhar Halqi dengan mantap, sampai terlihat sedikit busa di kanan kiri mulutnya.

Saya tak percaya kebenaran cerita ini. Sampai akhirnya tadi pagi saya bertemu dengan ia yang dimaksud. Di pos kamling dekat Balai Desa Sambiki. Anak muda itu seumuran saya. Rambutnya jabrik seperti kebanyakan anak-anak masa kini. Ia terlihat normal jika dilihat dari sisi sebelah kiri. Namun perhatian kita akan terpaksa tertuju ke bola matanya ketika melihatnya dari sisi kanan. Mata pemuda itu memang mirip mata kucing. Pupilnya yang palsu berwarna putih kehijauan, melebar seperti meluber ke kornea matanya.

Cerita Idhar Halqi lalu lompat ke cerita tawuran malam lebaran 4 tahun sebelumnya. Kali ini giliran orang Anggai yang jadi korban. Tak tanggung-tanggung, sang korban terbunuh dengan parang di perutnya.

Setelah tragedi yang berawal dari hal sepele itu – 2 anak SMA yang mabuk dan berkelahi -, konflik antara Sambiki Anggai jadi makin memanas. Dalam lima tahun ini, sifat saling benci seringkali bukan hanya ada di lingkaran anak-anak muda. Mereka yang sudah mulai uzur pun tak jarang ikut-ikutan menyulut kebencian. Misalnya beberapa kali terdengar para mama papa membicarakan kelakuan  anak-anak muda Sambiki yang terlampau bejad.

“Disana ada genk anak muda namanya ANKER. Itu kasihan anak-anak yang KKN di Sambiki kalau keluar rumah malam-malam. Mereka suka mabuk, suka baku pukul, suka kebut-kebutan”, ujar seorang mama.

Bagi sebagian orang Anggai – mungkin khususon yang keluarganya pernah jadi korban -, pemuda Sambiki layak masuk kantung sampah. Mereka menyebut pemuda Sambiki adalah keparat yang petentang-petenteng, suka menenggak bir kemana-mana, dan sikapnya tak tau batas.

Idhar punya pandangan lain. Menurutnya pemuda Anggai dan Sambiki sama-sama busuknya. Hanya saja Anggai lebih menangan. Hahaa...

Beberapa kali saya membicarakan soal ini dengan teman KKN yang tinggal di Sambiki. Salah satunya dengan Ongri. Ongri bercerita lebih dulu,

“Cuk... Di Sambiki ternyata nggak cuma ada 1 genk. Tapi ada 3 genk. Ada ANKER Sambiki: Anak Keren Sambiki...”,

“Kok cupu namanya?” potong saya sambil terkekeh.

“Namanya cupu. Tapi yang paling disegani di Sambiki. Anak-anak ANKER malah yang paling deket sama kita”,

“Terus yang lain?”, tanya saya penasaran.

“Ada lagi yang kedua namanya BLAMID. Berani Lewat Mandi Darah. Hahaa.. Ini genk namanya paling serem tapi aslinya yang paling cupu. Terus ada lagi yang terakhir, BAMBU: Biarkan Aku Mabuk Bukan Urusanmu. Hahaa...”, dan saya langsung ikut tergelak.

Menurut Ongri, masyarakat Sambiki pun setali tiga uang. Banyak diantara mereka melihat Anggai, khususnya pemudanya, seperti  tikus-tikus berkudis: suka bergerombol, liar, dan sebaiknya tidak didekati kalau tak mau ketularan (biadabnya).

Masing-masing mengutarakan kebencian dengan narasi versinya. Ada yang benar, ada yang ditambah-tambahi. Tapi jelas, ini tidak baik-baik saja.

-------------------------------------------------------------------

Petang ini cerah sekali. Telah lama saya memimpikan malam yang dipenuhi deretan rasi bintang seperti ini. Sangat disayangkan saya sudah ada janji. Kalau tidak, barangkali saya akan mengajak Baba pergi ke Konter, melepas status fakir signal lalu saya akan menelfon Ririshwari. Bercerita padanya kalau saya sedang menatap hamparan milky way.

Malam ini kami mengadakan rapat besar bersama IPMA – Ikatan Pelajar Mahasiswa Anggai. Rapat ini terlaksana juga, setelah sehari sebelumnya - saat kami mengecat masjid - kami membicarakan perihal upaya membangun kebersamaan antar mahasiswa UGM dan pemuda Anggai.

"Kebetulan IPMA juga su ada rencana mau bakumpul bahas pesta rakyat buat lebaran. Mahasiswa UGM ikut saja, supaya kita baku kenal dan makin akrab", ujar Bang Al-Khadrin sehari sebelumnya.

Agenda rapat malam ini sebenarnya sederhana: membahas acara di malam dan hari lebaran – yang tinggal seminggu lagi ! Namun, malam yang sepertinya tak akan panjang ini, ternyata harus jadi berlarut-larut. Ini sejak ada Bung Arman. Pemuda Marxist Anggai, yang bicara terus menerus tentang konflik Anggai-Sambiki.

“Tong pe acara ini harus mampu meresolusi kongflik yang sudah terjadi antara Anggai dan Sambiki. Tong pe generasi kan harus mengubah paradigma berpikir, supaya kita pe paradigma bisa berpikir secara nasional untuk persatuan. Supaya tong bisa membangun relasi. Ini kan supaya sesuai dengan konstitusi 1950 Bung Karno, to?”. Ujarnya keras. Setiap kali ia bicara, saya sedikit jengkel juga. Bagaimana mungkin ia selalu menekankan diksi-diksi 'pergerakan' yang sebagian besar anak UGM pun saya yakin kurang paham. 

Bung Arman tak bisa tidak keras setiap kali mengutarakan opini. Baik tangan kanan, maupun tangan kiri, akan bergerak kesana kemari untuk ikut memberikan penekanan. Sayang, gerakan tangannya sering kelewat tempo. Tangan kirinya sudah terangkat ke atas padahal ia masih bicara prolog. Diksinya sering membuat orang jadi antipati. Salah satunya adalah Bang Yamin yang menimpal tegas pendapat Bung Arman.

“Pertama, terimakasih kepada moderator yang telah memberi kesempatan pada saya....”. Rapat di Anggai selalu berlangsung lama. Ini karena masing-masing orang yang hendak berpendapat musti mengucapkan terima kasih pada moderator. “Kedua. Terima kasih kepada mahasiswa Anggai dan Mahasiswa UGM yang bersedia hadir malam ini”. Kadang-kadang mereka masih menambahkan ucapan terima kasih kepada pihak diluar moderator. “Menurut saya begini. Kita musti fokus saja untuk membicarakan acara apa yang ada di hari lebaran. Terutama di hari pertama yang hampir setiap tahun ada baku hantam. Kita fokus solusi ! Bagaimana supaya anak-anak Anggai tidak pergi ke Tanjung Sambiki. Saran saya adalah kita adakan acara budaya, seperti Tari Toga, Cakalele, Basisi. Ini supaya selain menghindari kongflik, tong juga mengingat budaya leluhur adat Tobelo Galela”, ujar Bang Yamin mencoba mengarahkan pada hal teknis.

Bung Arman sesegera mungkin mengacungkan tangannya lagi, memberi tanggapan pada pendapat Bang Yamin.

“Terima kasih untuk yang kesekian kalinya kepada moderator atas kesempatan yang diberikan. Iya, saya pribadi sepakat kalau besok ada lomba Cakalele dan Basisi. Tapi yang lebih penting adalah supaya paradigma berpikir generasi muda, bisa tidak lagi ada kongflik antara Anggai dengan Sambiki. Salah satu saran saya adalah adakan meja debat ! Tong adakan diskusi supaya semua bisa kasih pendapat. Ini supaya ada pertukaran paradigma. Kalau kata Hegel: ada thesis, ada antithesis.”.

Lagi-lagi sejurus kemudian Bang Yamin langsung mendebat Bung Arman. Bisa ditebak arah sanggahannya. Ia tidak sepakat pada acara debat terbuka. Hal ini turut diamini anak IPMA yang lain,

"Ada debat, malah baku hantam sekalian !",

Saya pikir acara ini memang hampir mustahil. Tak bisa dibayangkan, bagaimana membuat acara semacam Indonesia Lawyers Club di tengah situasi rawan konflik Anggai-Sambiki.

Di tengah perdebatan anak IPMA yang terus diperulang balikkan, "Woo.. bianglala", kalau kata Gita. Saya pun tak kuasa untuk ikut bersuara,

“Pertama, terima kasih kepada moderator yang telah memberi kesempatan pada saya untuk bicara. Kedua, saya hendak langsung berpendapat bahwa kita masih belum punya tujuan acara yang jelas. Bagaimana tujuan acara yang sebenarnya: Kita ingin meresolusi kongflik Anggai-Sambiki, atau ingin sekadar menghindari kongflik Anggai-Sambiki? Karena sejujurnya saya bingung. Bung Arman ingin resolusi kongflik. Tetapi yang lain ingin menghindari kongflik dengan membuat lomba supaya anak-anak tara pergi ke Tanjung Sambiki. Ini jelas dua hal berbeda yang akan berpengaruh ke teknis dan konsep acara”.

Saya sebenarnya mencoba mengarahkan peserta lain supaya sepakat akan saran Bung Arman: Resolusi Konflik Anggai Sambiki. Entah bagaimana caranya. Kendati saya agak risih dengan cara bicara dan diksinya, namun secara pribadi saya menganggap ide Bung Arman adalah ide yang revolusioner. Ide yang hadir karena adanya kesadaran kelas, "tong sama-sama miskin kenapa baku hantam", ujarnya.

“Misalnya kalau memang tujuan kita adalah resolusi kongflik, berarti kita perlu bekerjasama. Membuat acara bersama dengan pemuda Sambiki. Artinya, perdamaian dimulai dari lingkaran kita dulu, yang sudah punya kesadaran kalau konflik tidak ada gunanya. Nanti kita bisa berkordinasi dengan pemuda Sambiki dan juga teman-teman KKN UGM yang ada disana”, pancing saya. Berharap yang lain ikut mengiyakan saran ini.

Apa mau dikata, rapat malam ini berakhir dengan antiklimaks. Sebagian besar pemuda Anggai lebih sepakat kalau tujuan acara lebaran adalah jelas: menghindari konflik Anggai-Sambiki. Selain itu, kami tim Baraobira juga tidak banyak bersuara. Sebagai orang yang belum tahu banyak kondisi lapangan, kami sadar untuk tidak melangkahkan kaki di depan mereka yang sudah makan asam garam. Acara di hari lebaran kemudian difokuskan untuk 3 tujuan utama saja: menghindari konflik Anggai-Sambiki, memberikan hiburan pada masyarakat, dan melestarikan budaya adat Tobelo Galela.

Bung Arman terlihat kecewa, tapi ia hanya diam saja. Saya ikut getun, sebenarnya. Sampai Bang Al kemudian menjelaskan:

"Tidak mungkin kalau kita bikin acara bersama. Anggai-Sambiki, budayanya saja sudah beda. Anggai mayoritas Tobelo-Galela, kalau Sambiki kebanyakan Manado, Bugis, Makian. Bagaimana bisa dipertemukan? Sudah, yang penting tahun ini tidak ada yang tawuran saja sudah bagus", jelasnya. 

"Percuma mas. Dari kita belum lahir, sampai besok kiamat, Anggai-Sambiki susah untuk akur. Kita realistis saja: yang penting tahun ini tidak ada korban", ujar Idhar Halqi.

Angka sudah menunjuk pukul satu. Dini hari telah datang dengan anginnya yang kencang. Semua peserta rapat sudah berat menahan sadarnya. Devina bahkan sudah sejak tadi memejam mata. Tidur sambil duduk, lalu terkantuk-kantuk. Mulutnya mlompong seolah siap dimasuki kunang-kunang. Rapat pun dibubarkan, kami pulang dengan sempoyongan.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ►  2019 (17)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
  • ▼  2016 (36)
    • ►  November (4)
    • ▼  September (4)
      • Catatan Baraobira hari-15, SAMBIKI BAJINGAN !
      • Catatan Baraobira hari-14, PADA SUATU MALAM YANG B...
      • Catatan Baraobira hari-13, TENTANG SOSIALISASI YAN...
      • Catatan Baraobira Hari-12, RESOLUSI KONFLIK ANGGAI...
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2015 (42)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (68)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember (9)
    • ►  November (13)
    • ►  Oktober (15)
    • ►  September (7)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)

Copyright © 2016 bagus panuntun. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018