Sahur ini saya makan banyak ganas
babi. Dibuat keranjingan akan nikmat tak terkira ikan saus à la Mama Haji. Menu
ikan saus ini adalah sajian kuliner paling enak yang sudah saya cicip selama di
Anggai. Padahal menunya sederhana. Hanya ikan laut goreng yang dimasak dalam
bumbu tradisional campuran minyak kelapa, jeruk nipis, cabai merah, tomat, dan
bawang brambang. Lalu dimasak mirip balado, Tapi sungguh, masakan à la Mama
Haji ini ajaib. Itu lho kilau campuran minyak, sambal, dan lemonnya yang begitu
klenyis. Lalu begitu ia sampai di lidah, gurih-gurih pedasnya... Subhanallah...
Memang tidak salah pagi ini saya
makan banyak. Meskipun ini Minggu, tapi sebentar lagi kami punya aktivitas yang
padat. Pertama, sehabis sahur saya mau bertamu ke rumah Papa Sukri. Kalau bukan
karena Papa Sukri, bisa jadi saya absen nonton Euro selama di Obi. Berkat papa satu ini,
yang kalau sudah cerita dan diskusi bisa betah berjam-jam, mulai dari obrolan
soal bola, sejarah Anggai, sampai info gadis-gadis Obi, akhirnya pagi ini saya
bisa menonton partai Jerman-Itali. Sayangnya yang terjadi, partai ini jadi salah satu pertandingan paling membosankan yang pernah saya tonton. Jerman yang saya kira masih mempesona dengan permainan menyerangnya, pagi ini seperti tim yang baru latihan seminggu. Kalau bukan karena Boateng yang tampil ajaib bak Ishizaki, -berkali-berkali menyelamatkan bola yang sudah tiga senti di depan gawang - saya kira mereka lebih layak dipecundangi barisan juvenil Itali. Saya akan menyesal telah begadang, kalau saja tak ada fenomena menarik ini:
Alkisah, listrik di Obi hanya menyala selama 12 jam. Ia hidup mulai 6 malam lalu mati pukul 6 pagi. Nah, sayangnya pertandingan Jerman-Italia ini berakhir imbang dan musti diselesaikan dengan adu tos-tosan alias pinalti. Sedang waktu ternyata sudah menginjak setengah 6 lebih. Apa mau dikata, dari 10 penendang pertama, masing-masing tim hanya bisa memasukkan dua gol ke gawang lawan - dan kita mengingat pinalti paling konyol dari Zaza ! Maka, bisa kalian bayangkan, kami menyaksikan sisa babak adu tos-tosan dengan pikiran yang menegangkan "Cukimai ! Cepat selesai sebelum mati lampu !". Betapa tersiksanya pikiran ini kalau lampu sudah mati dalam keadaan belum tahu mana tim yang menang !
Ini sudah lebih dari pukul 6 !
Ah, syukurlah... Lampu baru mati setelah Matteo Darmian gagal menceploskan bola pada tendangan yang ke-sembilan. "Bet !", lampu langsung mati kurang dari 3 detik kemudian. Jerman pun menang.
Haa, dan saya pun tahu pegawai PLN juga nonton bola.
Alkisah, listrik di Obi hanya menyala selama 12 jam. Ia hidup mulai 6 malam lalu mati pukul 6 pagi. Nah, sayangnya pertandingan Jerman-Italia ini berakhir imbang dan musti diselesaikan dengan adu tos-tosan alias pinalti. Sedang waktu ternyata sudah menginjak setengah 6 lebih. Apa mau dikata, dari 10 penendang pertama, masing-masing tim hanya bisa memasukkan dua gol ke gawang lawan - dan kita mengingat pinalti paling konyol dari Zaza ! Maka, bisa kalian bayangkan, kami menyaksikan sisa babak adu tos-tosan dengan pikiran yang menegangkan "Cukimai ! Cepat selesai sebelum mati lampu !". Betapa tersiksanya pikiran ini kalau lampu sudah mati dalam keadaan belum tahu mana tim yang menang !
Ini sudah lebih dari pukul 6 !
Ah, syukurlah... Lampu baru mati setelah Matteo Darmian gagal menceploskan bola pada tendangan yang ke-sembilan. "Bet !", lampu langsung mati kurang dari 3 detik kemudian. Jerman pun menang.
Haa, dan saya pun tahu pegawai PLN juga nonton bola.
Lepas nonton bola, kegiatan kedua pun dimulai. Pagi ini jam 7,
kami Baraobira Sub-Unit Anggai, akan bertandang ke Sambiki. Ikut lihat Sekolah
Alam yang jadi programnya anak Biologi. Itu si Azri, pakar biologi muda yang
serba tahu perihal hewan, tumbuhan, ganggang-ganggangan. Apa saja lah. Biarpun
saya sering tidak yakin benar salahnya. Haha..
Waktu sudah di atas jam 7 ketika
saya berangkat ke Sambiki. Pagi ini kami pinjam dua motor. Motor Papa Sudin,
dan motornya Rimin, pemuda Anggai yang khas dengan bobotnya yang di atas satu
kwintal itu. Dengan dua motor tersebut, kami harus nglangsir, bolak-balik
jemput mereka yang belum dapat tebengan. Jarak Anggai sampai ke Tanjung Sambiki
– lokasi Sekolah Alam – memang cukup jauh. 4 kilometer. Lumayan mempercepat
dahaga andai harus jalan.
Siapa yang tidak semangat untuk
pergi ke Tanjung Sambiki. Selain untuk berkumpul lagi dengan teman beda
sub-unit, tentu saja karena pemandangannya. Saya pikir, ini adalah spot paling
surgawi sepanjang pemandangan yang sudah saya temui di Obi. Di sana, di sebuah
tanjung dengan dek kayu yang menjorok ke laut yang tenang. Hamparan pasir putih
dan puluh pohon kelapa di sebelah barat dek menjadikan bibir lautnya begitu menawan. Belum lagi, air lautnya yang bening biru tosca. Tenang dengan ombak
yang pelan-pelan genit, genit-genit pelan. Namun diantara semuanya, tentu saja
yang paling ajaib adalah Pulau kecil berpasir putih yang hanya jarak 200 meter
di seberang utara. Pulau Sambiki ! Pulau kecil dikelilingi pasir putih dengan
rimbun pepohonan di tengah-tengahnya. Wah, kecil, putih, imut, lucu. Persis
seperti Nana !
Pulau Sambiki, 200 meter saja di utara Dek Kayu |
Kalau kau lihat bawah air dari
atas dek kayu, ribuan ikan lodi sedang berenang dengan formasinya yang rapat
tapi acak, seperti formasi awan yang indah tapi susah ditebak. Ikan yang ribuan
ini berenang bersamaan, tak khawatir dengan bocah-bocah yang melongok dari
atasnya. Padahal bocah-bocah ini membawa kail. Mereka melemparkan kail itu
tanpa umpan. Iya, kail kosongan. Lepas kail sampai di laut si bocah menarik kembali
kail itu dengan cepat. Dan tersangkutlah satu-dua dari ribuan ikan itu. Ada
yang kena kail di perut, sesekali juga ada yang kena di mulut. Ironi ya. Semoga
tidak begitu cara Tuhan menentukan takdir. Dilempar asal, siapa kena ya sudah,
dia memang sial !
Saat saya sampai di Tanjung Sambiki,
anak-anak lain sudah bersenang-senang di air laut. Bareng-bareng mereka
berenang. Sambil bawa Go Pro untuk selfie-selfie. Ih, saya baru ingat. 2 minggu
singgah di Obi, saya belum sekalipun bercebur di laut. Di sungai sudah, tapi di
laut belum. Syukurlah, tak sia-sia saya membawa kacamata renang dan fin yang saya pinjam dari Safrin. Akhirnya kanggo juga. Terima kasih, Safrin !
Pagi ini sekolah alam sudah
dimulai. Teknisnya begini: Azri akan mencari biota-biota laut dari pantai Sambiki,
ia ambil bawa ke darat, lalu ia perkenalkan nama-nama ilmiahnya ke anak-anak
kecil. Ada cukup banyak bocah-bocah yang ikut sekolah saat itu. Saya pikir lebih
dari 20-an. Bocah-bocah yang renangnya bajingan ini nampak amat antusias
mendengar penjelasan dari Azri.
“Yang ini namanya Linkia sp”, terang Azri sambil menunjuk
sebuah bintang laut merah yang jumlah kakinya enam. Ujar Azri, salah satu
kakinya pernah terpotong saat kecil, jadi satu kakinya terbelah jadi dua. Dan
jadilah bintang laut berkaki enam.
Materi Sekolah Alam |
Ini hasil mancing tanpa umpan. Modal kail saja sudah |
“Kalau yang mirip jamur ini,
namanya fungia sp, Nah kalau ini
coral ini namanya Tubipora”,
sekali-kali Azri juga menjelaskan fungsi dari biota-biota
tersebut. “Kalau terumbu karang fungsinya untuk rumah ikan adik-adik, jadi
nggak boleh kalau dibuat hancur”, terangnya dengan ekspresi yang gagah. Kalau sudah
bicara perihal bab-bab biologi – biarpun sering kelihatan sok tahu – Azri memang bajingan
!
Ah iya, saya belum cerita. Bicara
soal bajingan, orang Sambiki biasa menggunakan kata bajingan untuk menyebut
sesuatu yang luar biasa. Jadi, ‘bajingan’ di Sambiki punya makna yang setara
dengan “Amazing !”, “Incredible !”, “Muy bien !”, “Magnifico !”. Jadi, jangan
heran kalau kau bertemu anak SD, dan mereka berkata “Kakak pe otak memang bajingan e !”.
Ah iya. Melihat sekolah alam ini,
sekali-kali saya dan Danan lebih memilih menggoda Azri. Menggeluti profesi
baru kami: Demotivator !
“Halah, Linkia sp, ngomong wae bintang laot !”,
“Opo opo zri? Tubipora? Tubir...tubir...tubirpora yo?”,
“Fungia sp, aku taunya fungiderm. Dah jamur”,
Beruntung Azri tak sempat bersungut-sungut pada kami.
Sejenak kemudian, saya tak sabar untuk segera
menceburkan diri ke laut. Saya segera melepas pakaian untuk pada akhirnya hanya
memakai kolor dan kacamata renang. Saya sempat meminjam sepatu katak pada Azri.
Ini pertama kalinya seumur hidup saya pakai sepatu katak. Waktu saya hendak
menceburkan diri, saya langsung ketakutan karena ternyata ia sangat berat. Wah,
kalau nekat saya pakai, barangkali saya akan nampak konyol dalam satu detik
ceburan.
Yay, akhirnya saya berenang di
laut !
Ada sesuatu yang ajaib saat
pertama mendengar bunyi riak air yang terbelah tubuh kita sendiri. Semacam
perasaan bahagia yang pokoknya sangat bahagia. Ledakan perasaan yang susah
ditahan-tahan. Heboh, ramai, gempar. Suasana hati yang tak memberi sedikit
ruang pun pada rasa melankolis. Tempat yang memberi kebahagiaan tak ternilai.
Pagi itu, di desa tetangga yang terlampau menawan. Sambiki bajingan !
3 Juni 2016
3 Juni 2016
Jito, Ishizaki, Najib Kashmir, Tsubasa |