Catatan Baraobira hari-14, PADA SUATU MALAM YANG BIASA SAJA DAN SEDIKIT CERITA DARI KELAS BAHASA INGGRIS, MISALNYA MENGAPA KITA DILARANG FVCK YOU

KKN adalah tentang siapnya kita menjawab pertanyaan yang diulang-ulang. Kami mungkin sudah lebih dari seminggu di Anggai, namun bukan berarti kami tidak lagi bersua dengan orang-orang baru. Mereka yang jarang muncul ke permukaan, enggan mementaskan namanya ke depan panggung bicara. Para tua yang lebih memilih duduk merenung sambil menyeduh kopi di bawah pohon mangga, sengaja menjauhi hingar bingar politik desa. Atau mereka yang masih muda, namun punya lingkaran sendiri yang jauh dari arus pergaulan utama.

Malam ini sudah hampir pukul 12. Saya dan Danan kedapatan jadwal rutin mengantar pulang Nila-Rosa. Hampir setiap malam, kami memang harus mengantar mereka. Sedang Baba, Gilang, atau Haviz punya jatah mengantar Gita-Destya yang rumahnya harus masuk kompleks Rawa Jaya, komplek yang jauh dari jalan, dekat dengan perkebunan.

Sebelum berkeluh pada mimpi, kami para pria harus memastikan bahwa semua anggota wanita telah sampai dengan selamat di rumahnya masing-masing. Apalagi, tim Baraobira seringkali berkegiatan sampai pukul 23 bahkan menjelang dini hari. Bulan puasa mengharuskan kami untuk baru bisa memulai kegiatan malam selepas tarawih jam 9. Ya, meskipun sebenarnya di hari ini kami tak punya kegiatan apa-apa, kecuali menggunjing di rumah Papa Haji.

Nila-Rosa sampai juga di depan gerbang rumah Papa Sudin. Lepas berpamitan, saya dan Danan pun balik melangkah pulang. Di tengah jalan, kami berpapas dengan 4 anak muda yang sedang gitaran dan mengisap rokok di depan warung makan Lek Ti yang sudah tutup itu.

“Permisi, abang...”, sapa saya.

“Saya abang. Abang, rokok dulu abang?”, tawar mereka. Salah seorang anak muda yang paling kecil, kurus, berkaos hitam nyetrit ukuran S, mengeluarkan sebungkus Marlboro Gold dari saku kiri jeansnya. Ditawarkan sebatang rokok pada saya.

“Terima kasih, abang. Gitarnya saja ya”, jawab saya. Setiap ada gitar, saya tak akan ragu untuk duduk sejenak memainkan satu dua lagu sembari bercakap dengan mereka. Rokok atau gitar adalah jembatan persahabatan yang paling ampuh di Anggai. 

Kami mulai berkenalan. Pemuda kurus yang menawarkan Marlboro Gold ini bernama Pangki. Suaranya cempreng, gayanya slengekan cengengas cengenges khas anak gaul baru masuk SMA. Lengan kanan kirinya terus berayun bergoyang, barangkali otaknya tak bisa mempause musik dessert yang berputar di kepalanya.

“Asli mana abang?”, tanya dia. Ini contoh pertanyaan yang akan terus diulang di setiap perjumpaan.

“Jogja, Pangki ! Kalau kuliah di UGM”, jawab saya.

“Jauh sekali e, bisa sampai sini. Acara apa kah?”,

“KKN, Kuliah Kerja Nyata. Pengabdian masyarakat, Pangki !”.

Sejenak kemudian, pemuda bertopi yang ada di sebelah kiri Pangki ikut bersuara. Aih, saya pikir dia tidak lagi muda. Barangkali usianya sudah kepala tiga atau bahkan mendekati empat. Wajahnya yang penuh bekas jerawat terlihat juga setelah tersorot lampu depan warung Lek Ti. Abang ini pe nama Shahid.

“Hei Bagus, anak UGM punya kegiatan apa saja disini?”, ini pertanyaan yang juga harus sering kita jawab. Jangan bosan. Terangkan dengan tenang dan senang.

“Yang sudah jalan ada 2 abang. Kelas membaca dan kelas bahasa Inggris. Dan sekarang sedang persiapan buat pesta hari lebaran”, tukas saya sembari memetik gitar pada kunci G, kunci dasar sejuta umat.

“Wah, ada kelas bahasa Inggris e. Siapa yang mengajar?”,

“Saya dan kawan-kawan, abang”,

Wow, That’s great, Bagus. You must speak english very well”, ujarnya. Wih, dan saya langsung terkejut begitu mendengarnya. Ia berbahasa Inggris bukan dengan logat timur, apalagi logat Jawa. Entah logat mana, yang jelas bahasa Inggrisnya terdengar baik dan lancar.

Hehe, no mister.. You speak english better than me, actually”, balas saya berlogat Jawa gugup karena masih tak menyangka. 

Kemudian saya bertanya lagi, menuntaskan rasa penasaran yang makin membuncah. “But, mister. Where did you learn english?”,

“Long time ago, I worked in Singapore for six months and in Melbourne for one year. That’s why I can speak english, I learnt english from the street, so It’s not good”, ujarnya dengan suara serak yang tenang, sembari tersenyum juga.

Kemudian ia menyambung lagi, “Aku yo iso ngomong Jawa sethitik !”.

Saya dan Danan langsung tergelak, lepas tertawa sambil saling melihat. Dua kali kami dibuat kaget oleh Abang Shahid. Keduanya disebabkan bahasa.

Ia lalu bercerita pengalamannya bekerja di Solo. Masa mudanya ujarnya dihabiskan menjadi buruh, karyawan, atau sopir disana-sini. Ia tak segan melanglang buana dari Jawa sampai Australia demi mengumpulkan pundi rupiah untuk keluarga.

Kejutan demi kejutan memang akan selalu hadir setiap kali ada pertemuan baru. Berbicara dengan mereka bahkan sering jadi bagian terbaik dari sebuah perjalanan. Ya, meskipun akan selalu ada pertanyaan yang diulang-ulang,

“Siapa pe nama?”,

“Asli mana kah?”,

“Disini tinggal deng siapa?”,

“Bikin kegiatan apa saja?”,

Namun percayalah akan selalu ada obrolan yang mengejutkan. Mengenai petualang-petualangan yang pernah mereka jalani, gosip politik yang terjadi di sekitar sini, mitologi-mitologi nan surealis, atau sesekali rekomendasi siapa gadis yang sebaiknya kita kenal. Selama KKN, jangan pernah ragu, apalagi takut, untuk bersapa...

-------------------------------------------------------------------

Setelah cerita conversation dengan Abang Shahid tadi, entah kenapa saya jadi ingin bercerita tentang kelas bahasa Inggris. Kelas yang sedianya dikhususkan untuk anak usia SMP dan SMA ini ternyata tak berjalan sesuai rencana.

Semua dimulai dari kelas bahasa Inggris pertama yang kami laksanakan sehari setelah kelas membaca perdana. Tanpa disangka, kelas sore itu justru diserbu puluhan anak SD. Mereka minta untuk belajar lagi.

"Kaka... ajari kami bahasa Inggris, kaka.....".

Memang ada anak SMP-SMA yang datang, namun jumlahnya kurang dari 10 orang.

Oh ya, dari hasil survey yang kami dapat, kabarnya kemampuan bahasa Inggris sebagian besar anak-anak Anggai hampir nol. Penyebabnya begini: Di SD tidak ada guru bahasa Inggris. Di SMP, ada guru bahasa Inggris, tapi itu dulu sebelum dia sakit dan akhirnya tidak mengajar lagi sampai sekarang. Di SMA, lebih menyedihkan. Satu-satunya guru bahasa Inggris meninggal dunia saat belum selesai mengajarkan simple present tense. Otomatis, anak-anak ini tak punya ruang untuk mengaktualisasikan minat belajar bahasa asingnya.

Sebelum kelas dimulai, kami pun berdiskusi dulu mencari solusi permasalahan ini. Daripada mengusir anak-anak yang sudah datang, kami memutuskan untuk membuka kelas pertama untuk semua kalangan: dari SD sampai SMA. Minat mereka belajar harus kami wujudkan.

Sedang untuk kelas-kelas selanjutnya, sepertinya musti ada pemisahan. Saya pikir, akan tidak efektif seandainya satu materi disampaikan secara bersamaan di depan mereka yang tingkat usia dan nalarnya berbeda. Tentu akan membosankan terutama untuk mereka yang SMA. Disaat mereka sudah paham akan satu materi, mungkin yang SD masih proses mencerna satu kata.

Kalau bukan karena Umar, Destya dan Devina, mungkin saya akan stress sebagai penanggung jawab program pendidikan. Berkat mereka, akhirnya kelas bahasa Inggris dibagi jadi dua: Kelas untuk SD-SMP, dan kelas untuk SMA. Umar dan Destya jadi PJ untuk kelas SD-SMP. Kelas ini akan dilakanakan hari Selasa dan Kamis di waktu sore. Sedang saya dan Devina akan mengajar anak-anak SMA. Kelas anak SMA akan lebih intens. Hari Senin sampai Rabu, selepas sholat Isya.

Karena anak-anak hari itu sudah berkumpul, kelas pertama bahasa Inggris pun dimulai. Saya, Umar, Devina, dan Destya telah mempersiapkan segala materi untuk kelas ini. Materi untuk hari pertama sudah jelas: introduction alias perkenalan. Materi ini akan disampaikan dengan memperkenalkan banyak kosa kata dan percakapan.

Destya jadi yang pertama maju ke depan. Destya yang sore itu pakai kaos abu-abu, dengan rambut lurus panjangnya yang dikuncir kuda, berhasil membuat anak-anak Anggai terpesona sejak salam pertama darinya,

“Hello everyone, good afternoon...”,

“Good afternoon, miss....”, jawab anak-anak yang SMA, sedang yang SD-SMP malah ketawa cengar-cengir setiap melihat Destya berkata.

Destya kemudian mengajarkan cara memperkenalkan diri. Mulai dari mengucapkan salam, memperkenalkan nama, memberitahukan tempat tinggal, dan menyebut hobi kesukaannya. Tiap anak harus maju satu per satu, berdiri di depan kelas sambil praktik langsung di depan kawan-kawan mereka.

Helo, god afternon....”, sapa seorang bocah perempuan berambut ikal panjang, berkaos hitam My Trip My Adventure, yang kala itu dapat giliran.

Selesai bicara god afternon, dia tak tahan menahan tawanya sendiri. Ia kaget mak jegagik mendengar kata bahasa Inggris pertama yang keluar dari mulutnya. Ia tak kuasa terpingkal, namun coba ia tahan sambil merunduk memegang perutnya.

“Hahahaa...”, anak-anak langsung tertawa melihat tingkah bocah itu di depan kelas. Saya yang berada di sebelah kanannya mencoba menenangkan dan memotivasinya supaya menyelesaikan perkenalannya.

“Ayo...lanjutkan... Gud afternun, bukan god afternon”, instruksi saya.

Gud afternun... Mai..mai..”, dan dia sudah menahan kekehnya lagi.

Mai...nem...is....”, tuntun saya dari sampingnya. Anak-anak di depan cengar-cengir geli.

“Mai..mai..mai nem is...........”,

"Iya..iya, hooh. Mai nem is siapa?? Ayo?",

" Mai..mai..mai...my name is Pinky !",

“Yeeeeey”, dan semua sudah memberikan tepuk tangannya sebelum Pinky selesai mengatakan alamat dan hobinya.

Kelas pertama bahasa Inggris berjalan menyenangkan. Saya, Umar, Devina, dan Destya bisa saling membantu dalam menyampaikan materi. Umar, sore itu mampu membuat anak-anak terbawa suasana oleh cara mengajarnya yang lembut. Devina secara mengejutkan mampu mengajarkan pronoun secara sempurna. Sedang Destya, sangat sabar dan tlaten dalam memperkenalkan macam kosa kata. Sisanya, saya jadi tim hore saja.

Ada sebuah kejadian yang membekas kesan buat saya. Kala itu, seperti biasanya, kami selalu mengadakan foto bersama setelah kelas usai. Pada satu sesi, seorang bocah laki-laki mengacungkan jari tengahnya menghadap kamera.

“Sopooo iki sing ngajari”, batin saya.

Namun sebelum saya sempat menasihatinya, seorang kawannya tiba-tiba menampol tangan si bocah, sambil berkata,

“Hey, dilarang Fvck You ! Pamali kalau di Inggris !”.

2 Juni 2016

Kelas Bahasa Inggris Pertama. Banyak yang Tara ikut bafoto, chii..

Caption awalnya: Khusus anak SMP-SMA, selepas kelas pertama, akhirnya diganti Terbuka untuk umum. Poster ini saya yang bikin lho. Piye-piye? Lah, memang ndilalahnya di subunit Anggai nggak ada yg bisa design. Akhirnya saya mandiri, bikin poster sendiri. Gak elek-elek banget to?



Share:

1 komentar