Catatan Baraobira Hari-12, RESOLUSI KONFLIK ANGGAI-SAMBIKI (?)



Ada seteru yang tidak akan hilang. Setidaknya itu yang kita pelajari dari dunia sepakbola. Kita mengenal seteru Madrid-Barcelona, Rangers-Celtic, dan tentu saja Boca Junior-Riverplate. Satu sama lain saling mengutuk, juga memohon: "Beri penderitaan pada seteruku, Tuhan !". Kebencian itu bahkan seolah jadi bagian dari identitas mereka. Identitas yang melekat, identitas yang diakui. Ini yang membuat seorang pemain karismatik macam Juan Roman Riquelme pun tak malu berkata di depan media "Aku tidak akan pernah bangun tidur dan melihat diriku mengenakan baju warna merah dan putih", ujarnya menyinggung River Plate dan warna kebanggaannya.

Di negeri ini misalnya. Yang nasib sepakbolanya sama menyedihkan dengan nasib nenek pencuri sandal. Perseteruan abadi juga tumbuh dimana-mana. Apalagi dalam jagat dunia supporter. The Jack versus Bobotoh, Bonek versus Aremania, Supersonik versus Kapak Rimba. Mereka sama bangganya ketika mengatakan "aku benci mereka". Sedang saat kita coba mengusik gesekan itu, barangkali mereka akan berkata "Bukan urusan kalian !"

Perseteruan yang hebat dan keras ini ternyata tumbuh subur juga di tanah Obi. Sayangnya, perihal perseteruan dan fanatisme - yang bahkan menjurus pada chauvinisme ini – tak hanya kita temukan dalam jagat sepakbola saja. Dua desa tempat Tim Baraobira mengabdi: Anggai dan Sambiki, adalah seteru abadi yang selalu menunjukkan egoisme kejayaannya masing-masing. Di segala bidang. Di segala sisi.

Saya mendengar terlalu banyak cerita tentang konflik ini. Salah satunya dari Idhar Halqi, pemuda Anggai yang sedang belajar ilmu politik di Ternate. Saya bertemu Idhar Halqi di suatu malam saat saya tak berangkat sholat tarawih. Kami makan bakso bersama di Warung Bakso milik Lek Ti, perempuan usia 40-an asal Solo, yang kini jadi satu-satunya penjual bakso sapi di Airmangga-Anggai-Sambiki. Idhar Halki punya 'passion' terhadap segala jenis bir dan alkohol. Ini terlihat sejak awal pertemuan kami. Ia langsung menyinggung tentang bir lokal yang menurutnya harus kami minum di hari pertama lebaran.

“Besok kita minum bareng cap tikus e !”, katanya tepat setelah ia memperkenalkan namanya.

Saya memercayainya sebagai pemabuk berat sejak pertama bertemu. Saya melihat matanya yang cekung dan merah, bibirnya yang hitam kering, dan tubuhnya yang tinggi sekali tapi kurus kerontang. Dan ternyata benar pula, 2 tahun lalu ia mengalami overdosis wedang oplosan saat masih kuliah di Tangerang. Akibatnya, ia harus dipulangkan lagi ke Obi setelah dirawat 1 minggu di rumah sakit terbesar kedua disana.

Idhar Halqi punya kemampuan bercerita yang baik. Ia bicara terus menerus sambil sesekali menyeruput teh dan menghabiskan bakso di mangkoknya. Ia bicara tentang satu topik konflik Anggai-Sambiki. Dari satu peristiwa satu ke peristiwa lainnya. Ia memulai ceritanya dengan cerita tentang tawuran di malam lebaran, satu tahun lalu. Ujarnya, seorang anak Sambiki dihajar dan dicongkel matanya. Ia buta, tapi masih beruntung selamat setelah operasi di Surabaya.

“Sekarang matanya diganti dengan mata kucing”, ujar Idhar Halqi dengan mantap, sampai terlihat sedikit busa di kanan kiri mulutnya.

Saya tak percaya kebenaran cerita ini. Sampai akhirnya tadi pagi saya bertemu dengan ia yang dimaksud. Di pos kamling dekat Balai Desa Sambiki. Anak muda itu seumuran saya. Rambutnya jabrik seperti kebanyakan anak-anak masa kini. Ia terlihat normal jika dilihat dari sisi sebelah kiri. Namun perhatian kita akan terpaksa tertuju ke bola matanya ketika melihatnya dari sisi kanan. Mata pemuda itu memang mirip mata kucing. Pupilnya yang palsu berwarna putih kehijauan, melebar seperti meluber ke kornea matanya.

Cerita Idhar Halqi lalu lompat ke cerita tawuran malam lebaran 4 tahun sebelumnya. Kali ini giliran orang Anggai yang jadi korban. Tak tanggung-tanggung, sang korban terbunuh dengan parang di perutnya.

Setelah tragedi yang berawal dari hal sepele itu – 2 anak SMA yang mabuk dan berkelahi -, konflik antara Sambiki Anggai jadi makin memanas. Dalam lima tahun ini, sifat saling benci seringkali bukan hanya ada di lingkaran anak-anak muda. Mereka yang sudah mulai uzur pun tak jarang ikut-ikutan menyulut kebencian. Misalnya beberapa kali terdengar para mama papa membicarakan kelakuan  anak-anak muda Sambiki yang terlampau bejad.

“Disana ada genk anak muda namanya ANKER. Itu kasihan anak-anak yang KKN di Sambiki kalau keluar rumah malam-malam. Mereka suka mabuk, suka baku pukul, suka kebut-kebutan”, ujar seorang mama.

Bagi sebagian orang Anggai – mungkin khususon yang keluarganya pernah jadi korban -, pemuda Sambiki layak masuk kantung sampah. Mereka menyebut pemuda Sambiki adalah keparat yang petentang-petenteng, suka menenggak bir kemana-mana, dan sikapnya tak tau batas.

Idhar punya pandangan lain. Menurutnya pemuda Anggai dan Sambiki sama-sama busuknya. Hanya saja Anggai lebih menangan. Hahaa...

Beberapa kali saya membicarakan soal ini dengan teman KKN yang tinggal di Sambiki. Salah satunya dengan Ongri. Ongri bercerita lebih dulu,

“Cuk... Di Sambiki ternyata nggak cuma ada 1 genk. Tapi ada 3 genk. Ada ANKER Sambiki: Anak Keren Sambiki...”,

“Kok cupu namanya?” potong saya sambil terkekeh.

“Namanya cupu. Tapi yang paling disegani di Sambiki. Anak-anak ANKER malah yang paling deket sama kita”,

“Terus yang lain?”, tanya saya penasaran.

“Ada lagi yang kedua namanya BLAMID. Berani Lewat Mandi Darah. Hahaa.. Ini genk namanya paling serem tapi aslinya yang paling cupu. Terus ada lagi yang terakhir, BAMBU: Biarkan Aku Mabuk Bukan Urusanmu. Hahaa...”, dan saya langsung ikut tergelak.

Menurut Ongri, masyarakat Sambiki pun setali tiga uang. Banyak diantara mereka melihat Anggai, khususnya pemudanya, seperti  tikus-tikus berkudis: suka bergerombol, liar, dan sebaiknya tidak didekati kalau tak mau ketularan (biadabnya).

Masing-masing mengutarakan kebencian dengan narasi versinya. Ada yang benar, ada yang ditambah-tambahi. Tapi jelas, ini tidak baik-baik saja.

-------------------------------------------------------------------

Petang ini cerah sekali. Telah lama saya memimpikan malam yang dipenuhi deretan rasi bintang seperti ini. Sangat disayangkan saya sudah ada janji. Kalau tidak, barangkali saya akan mengajak Baba pergi ke Konter, melepas status fakir signal lalu saya akan menelfon Ririshwari. Bercerita padanya kalau saya sedang menatap hamparan milky way.

Malam ini kami mengadakan rapat besar bersama IPMA – Ikatan Pelajar Mahasiswa Anggai. Rapat ini terlaksana juga, setelah sehari sebelumnya - saat kami mengecat masjid - kami membicarakan perihal upaya membangun kebersamaan antar mahasiswa UGM dan pemuda Anggai.

"Kebetulan IPMA juga su ada rencana mau bakumpul bahas pesta rakyat buat lebaran. Mahasiswa UGM ikut saja, supaya kita baku kenal dan makin akrab", ujar Bang Al-Khadrin sehari sebelumnya.

Agenda rapat malam ini sebenarnya sederhana: membahas acara di malam dan hari lebaran – yang tinggal seminggu lagi ! Namun, malam yang sepertinya tak akan panjang ini, ternyata harus jadi berlarut-larut. Ini sejak ada Bung Arman. Pemuda Marxist Anggai, yang bicara terus menerus tentang konflik Anggai-Sambiki.

“Tong pe acara ini harus mampu meresolusi kongflik yang sudah terjadi antara Anggai dan Sambiki. Tong pe generasi kan harus mengubah paradigma berpikir, supaya kita pe paradigma bisa berpikir secara nasional untuk persatuan. Supaya tong bisa membangun relasi. Ini kan supaya sesuai dengan konstitusi 1950 Bung Karno, to?”. Ujarnya keras. Setiap kali ia bicara, saya sedikit jengkel juga. Bagaimana mungkin ia selalu menekankan diksi-diksi 'pergerakan' yang sebagian besar anak UGM pun saya yakin kurang paham. 

Bung Arman tak bisa tidak keras setiap kali mengutarakan opini. Baik tangan kanan, maupun tangan kiri, akan bergerak kesana kemari untuk ikut memberikan penekanan. Sayang, gerakan tangannya sering kelewat tempo. Tangan kirinya sudah terangkat ke atas padahal ia masih bicara prolog. Diksinya sering membuat orang jadi antipati. Salah satunya adalah Bang Yamin yang menimpal tegas pendapat Bung Arman.

“Pertama, terimakasih kepada moderator yang telah memberi kesempatan pada saya....”. Rapat di Anggai selalu berlangsung lama. Ini karena masing-masing orang yang hendak berpendapat musti mengucapkan terima kasih pada moderator. “Kedua. Terima kasih kepada mahasiswa Anggai dan Mahasiswa UGM yang bersedia hadir malam ini”. Kadang-kadang mereka masih menambahkan ucapan terima kasih kepada pihak diluar moderator. “Menurut saya begini. Kita musti fokus saja untuk membicarakan acara apa yang ada di hari lebaran. Terutama di hari pertama yang hampir setiap tahun ada baku hantam. Kita fokus solusi ! Bagaimana supaya anak-anak Anggai tidak pergi ke Tanjung Sambiki. Saran saya adalah kita adakan acara budaya, seperti Tari Toga, Cakalele, Basisi. Ini supaya selain menghindari kongflik, tong juga mengingat budaya leluhur adat Tobelo Galela”, ujar Bang Yamin mencoba mengarahkan pada hal teknis.

Bung Arman sesegera mungkin mengacungkan tangannya lagi, memberi tanggapan pada pendapat Bang Yamin.

“Terima kasih untuk yang kesekian kalinya kepada moderator atas kesempatan yang diberikan. Iya, saya pribadi sepakat kalau besok ada lomba Cakalele dan Basisi. Tapi yang lebih penting adalah supaya paradigma berpikir generasi muda, bisa tidak lagi ada kongflik antara Anggai dengan Sambiki. Salah satu saran saya adalah adakan meja debat ! Tong adakan diskusi supaya semua bisa kasih pendapat. Ini supaya ada pertukaran paradigma. Kalau kata Hegel: ada thesis, ada antithesis.”.

Lagi-lagi sejurus kemudian Bang Yamin langsung mendebat Bung Arman. Bisa ditebak arah sanggahannya. Ia tidak sepakat pada acara debat terbuka. Hal ini turut diamini anak IPMA yang lain,

"Ada debat, malah baku hantam sekalian !",

Saya pikir acara ini memang hampir mustahil. Tak bisa dibayangkan, bagaimana membuat acara semacam Indonesia Lawyers Club di tengah situasi rawan konflik Anggai-Sambiki.

Di tengah perdebatan anak IPMA yang terus diperulang balikkan, "Woo.. bianglala", kalau kata Gita. Saya pun tak kuasa untuk ikut bersuara,

“Pertama, terima kasih kepada moderator yang telah memberi kesempatan pada saya untuk bicara. Kedua, saya hendak langsung berpendapat bahwa kita masih belum punya tujuan acara yang jelas. Bagaimana tujuan acara yang sebenarnya: Kita ingin meresolusi kongflik Anggai-Sambiki, atau ingin sekadar menghindari kongflik Anggai-Sambiki? Karena sejujurnya saya bingung. Bung Arman ingin resolusi kongflik. Tetapi yang lain ingin menghindari kongflik dengan membuat lomba supaya anak-anak tara pergi ke Tanjung Sambiki. Ini jelas dua hal berbeda yang akan berpengaruh ke teknis dan konsep acara”.

Saya sebenarnya mencoba mengarahkan peserta lain supaya sepakat akan saran Bung Arman: Resolusi Konflik Anggai Sambiki. Entah bagaimana caranya. Kendati saya agak risih dengan cara bicara dan diksinya, namun secara pribadi saya menganggap ide Bung Arman adalah ide yang revolusioner. Ide yang hadir karena adanya kesadaran kelas, "tong sama-sama miskin kenapa baku hantam", ujarnya.

“Misalnya kalau memang tujuan kita adalah resolusi kongflik, berarti kita perlu bekerjasama. Membuat acara bersama dengan pemuda Sambiki. Artinya, perdamaian dimulai dari lingkaran kita dulu, yang sudah punya kesadaran kalau konflik tidak ada gunanya. Nanti kita bisa berkordinasi dengan pemuda Sambiki dan juga teman-teman KKN UGM yang ada disana”, pancing saya. Berharap yang lain ikut mengiyakan saran ini.

Apa mau dikata, rapat malam ini berakhir dengan antiklimaks. Sebagian besar pemuda Anggai lebih sepakat kalau tujuan acara lebaran adalah jelas: menghindari konflik Anggai-Sambiki. Selain itu, kami tim Baraobira juga tidak banyak bersuara. Sebagai orang yang belum tahu banyak kondisi lapangan, kami sadar untuk tidak melangkahkan kaki di depan mereka yang sudah makan asam garam. Acara di hari lebaran kemudian difokuskan untuk 3 tujuan utama saja: menghindari konflik Anggai-Sambiki, memberikan hiburan pada masyarakat, dan melestarikan budaya adat Tobelo Galela.

Bung Arman terlihat kecewa, tapi ia hanya diam saja. Saya ikut getun, sebenarnya. Sampai Bang Al kemudian menjelaskan:

"Tidak mungkin kalau kita bikin acara bersama. Anggai-Sambiki, budayanya saja sudah beda. Anggai mayoritas Tobelo-Galela, kalau Sambiki kebanyakan Manado, Bugis, Makian. Bagaimana bisa dipertemukan? Sudah, yang penting tahun ini tidak ada yang tawuran saja sudah bagus", jelasnya. 

"Percuma mas. Dari kita belum lahir, sampai besok kiamat, Anggai-Sambiki susah untuk akur. Kita realistis saja: yang penting tahun ini tidak ada korban", ujar Idhar Halqi.

Angka sudah menunjuk pukul satu. Dini hari telah datang dengan anginnya yang kencang. Semua peserta rapat sudah berat menahan sadarnya. Devina bahkan sudah sejak tadi memejam mata. Tidur sambil duduk, lalu terkantuk-kantuk. Mulutnya mlompong seolah siap dimasuki kunang-kunang. Rapat pun dibubarkan, kami pulang dengan sempoyongan.

Share:

0 komentar